Dear Amanina..

Anakku sayang,

Muhammad Ali meninggal dunia, Britania Raya dan Brebes sama-sama menghebohkan dunia dengan Brexit-nya, dan Portugal jadi juara Piala Eropa, ketika Ibu menulis surat ini untukmu. Itu hanya tiga dari sekian banyak peristiwa besar di muka bumi ini, tapi tentu kamu belum paham di mana pentingnya. Sebagai bayi umur tiga bulan, tugasmu memang cuma menyusu, kencing, pup, dan tidur dengan menggemaskan.

Nak, terus terang Ibu tidak pernah menyangka suatu saat akan memilikimu. Kamu lahir di tahun keempat pernikahanku dan bapakmu, dan selama itu pula Ibu bertanya-tanya tentang apa perlunya punya anak. Jangan salah paham: Ibu cuma nggak pingin menghadirkan satu jiwa baru di dunia yang serbakacau ini, sekadar biar nggak ditanya-tanya keluarga pas Lebaran (inget ya Nak, "kok belum hamil?" itu pertanyaan paling annoying yang pernah ada--pertama, belum tentu yang ditanya beneran pingin hamil, dan kedua, ngana pikir tiket hamil bisa dibeli di Indomaret?). Ibu ingin mencari alasan logis, sekaligus tak egois, tentang mengapa anak perlu hadir dalam pernikahan.

Apakah alasan itu berhasil Ibu temukan? Nanti kita akan sampai ke sana.

Amanina,

Engkau lahir sebagai perempuan. Itulah yang pertama-tama menggerakkan Ibu menulis catatan ini untukmu. Kau harus tahu Nak, jadi perempuan tidaklah mudah. Sejak dalam kandungan kita sudah menjadi warga kelas dua. Di India, ibu yang melahirkan bayi perempuan digratiskan dari biaya rumah sakit, sedangkan yang melahirkan bayi laki-laki cuma dikasih permen. Kenapa? Karena, sedihnya, sekitar 12 juta janin perempuan digugurkan di India selama tiga dekade terakhir. Dan itu survey jebot lima tahun lalu. Narendra Modi sampai harus membuat gerakan nasional untuk para bapak foto bersama bayi perempuan mereka, kemudian mengunggahnya di media sosial--mungkin dengan tagar #SelfieBersamaBapak. Para orangtua India enggak excited punya anak perempuan. Itulah mengapa pemeriksaan jenis kelamin janin di sana dinyatakan ilegal sejak 1994. Pemerintahnya enggak mau lebih banyak lagi janin yang dibunuh hanya karena mereka punya vagina dan bukan penis.

Di Indonesia kita enggak seekstrim itu. Tapi tetap saja: untuk anak pertama, orang-orang lebih suka bayi laki-laki. Ini semua karena kepercayaan bahwa kodrat laki-laki adalah melindungi dan mengayomi. Alangkah bangganya punya anak pertama laki-laki. Dialah yang akan jadi tempat bersandar adik-adiknya. Dia juga pasti akan jadi orang berhasil. Si Sulung yang sukses, panutan adik-adiknya, kesayangan orangtua dan lingkungan. Sempurna, bukan? Ketika tahu Ibu mengandungmu, reaksi kebanyakan orang adalah berkata "nggak apa-apa, laki-perempuan sama saja", seolah-olah di muka Ibu ada papan lampu neon besar bertuliskan KECEWA NGGAK DAPAT ANAK LAKI. Padahal, tahu kamu hadir di perut Ibu saja sudah membuat Ibu mau meledak saking bahagianya. Ibu bahkan masih menyimpan rapi testpack dengan dua strip yang mengabarkan kehadiranmu di usia kandungan lima minggu. Testpack yang dengan penuh air mata bahagia Ibu tunjukkan ke Bapak, tapi disambut cengiran clueless sebab yang bersangkutan enggak tahu dua strip itu artinya apa. Duh.

Entah ada berapa banyak orang di Indonesia yang berpikir bahwa anak perempuan idealnya lahir sebagai anak kedua. Dilindungi abangnya, disayang ibunya, tak lupa jadi daddy's little girl. Imut dan menggemaskan. Kamu lihat Nak, untuk sekadar lahir saja kita perempuan harus rela jadi nomor dua. Apa namanya kalau bukan termarjinalkan sejak masih dalam kandungan? Belum lagi pemikiran bahwa punya anak perempuan itu semacam "sia-sia" karena nanti kalau sudah besar akan dibawa pergi suaminya dan sangat mungkin "hanya" jadi ibu rumah tangga padahal sudah disekolahin mahal-mahal.

Tapi Ibu tidak sedang mengajarimu bersedih atau memaki dunia. Justru sebaliknya: Ibu ingin mengajakmu berbahagia terlahir sebagai perempuan. Karena itulah pesan Ibu yang pertama dan terutama adalah, jadilah tangguh. Bukan berarti kamu ke mana-mana pakai sepatu lars dan bawa granat, ya.


Bukan tangguh yang kayak gini juga ya Nak..

Tangguh yang Ibu maksud adalah  tahu apa yang kamu inginkan dalam hidup, berikut cara-cara mencapainya. Nanti kamu akan tahu, Sayang, bahwa masyarakat tidak terlalu ramah sama perempuan yang punya cita-cita lain selain "membesarkan anak" atau "mengabdi pada suami" atau "menjadi istri shalihah dalam sebuah keluarga sakinah mawadah wa rohmah jamaah ya jamaah alhamduuuu..lillah". Perempuan rentan dibilang "keblinger" atau "melawan kodrat" ketika punya target profesional di ruang publik, bukan privat. Seolah-olah urusan sosial, politik, hukum, ekonomi, budaya, adalah ranah laki-laki. Seolah-olah mengurus rumah dan membesarkan anak adalah tugas utama ibu, dengan bapak sebagai additional player atau malah sekadar cheerleader. Jangan pernah membiarkan hal ini melemahkan semangatmu, Amanina. Kenalilah dirimu dan kejarlah cita-citamu.

Pesan yang kedua, dan ini masih berkaitan dengan yang pertama, temukan keseimbangan. Kalau kamu mengejar cita-cita dengan mengorbankan orang-orang yang kamu sayang, kamu akan menderita, sebesar apapun prestasimu. Kalau kamu bekerja demikian semangat tapi nggak pernah olahraga, kamu bakalan kena bermacam-macam penyakit dalam waktu singkat. Bacalah banyak buku, tapi dandan juga perlu. Ibu nggak mau kamu jadi perempuan berotak kosong dengan bulu mata setebal punya Syahrini, tapi Ibu juga nggak mau kamu jadi perempuan berotak tajam yang pakai lipstik saja alergi. Prinsip keseimbangan ini juga berlaku dalam hubunganmu dengan pasangan nanti. Jangan merendahkan diri, tapi tidak perlu juga melebihi.

Terakhir, banyaklah tertawa. Hidup tidak akan selalu memperlakukanmu dengan manis. Ada kalanya kamu akan gagal, frustrasi, sedih, dan marah. Ibu beri tahu satu trik: dengan menertawakan nasib sial atau kegagalan atau apapun itu yang membuatmu down, kamu sudah menang satu angka. Dan tubuh kita biasanya patuh. Tawa akan 'mengalihkan' otakmu dari emosi negatif, dan akhirnya kamu sungguh-sungguh merasa lebih baik. Itulah mengapa ada istilah 'fake it until you make it'. Ibu sudah beberapa kali mencobanya, dan berhasil.

Amanina,

Menjawab pertanyaan tentang mengapa orang perlu punya anak, rupanya Ibu gagal menemukan alasan yang logis dan tak egois. Dulu Ibu pernah nonton film (lupa judulnya) yang tokoh utamanya bilang, "I think having children is pure narcissism." Mungkin itu ada benarnya, apalagi kalau si orangtua menjadikan anak miniatur dirinya. Tenang, Ibu tidak akan memaksamu menyukai hal yang Ibu suka. Ibu juga nggak punya dendam-kesumat atau cita-cita nggak kesampaian yang memaksamu menuntaskannya. Ibu memutuskan memilikimu karena Ibu ingin tahu apa rasanya mencintai seseorang tanpa syarat. Syukur-syukur bisa membuat dunia ini sedikit lebih baik dengan keberadaanmu di dalamnya. ***

13 comments

  1. Bagus sekali #SuratUntukAmanina -nya, Bu Andina. Penuh nasehat, juga semangat, diselingi canda manja agar tidak tegang urat. :)

    ReplyDelete
  2. @Riska Amaliah: Terima kasih sudah mampir baca, ya! :)

    ReplyDelete
  3. Ndiiinn.. Bagus bangett.. So inspiring.. Sukses terus ya, ndin... 😘😘

    ReplyDelete
  4. @Andhita: Trims Dhita! Eh, kamu apa kabar? Si kecil umur berapa sekarang?

    ReplyDelete
  5. It's Across the Universe. Thumb up for the letter anyway.

    Anon1

    ReplyDelete
  6. baru balik baca blog andin lagi setelah 2,3tahun berlalu. sang orhan pamuk mencari inspirasi di sini lagi.

    btw hehe selamat sudah ada debay.

    ReplyDelete
  7. @Agus Fitrianto: Terima kasih dan selamat datang kembali :)

    ReplyDelete
  8. Gilaaa, terharu bacanya..
    Bgs bgt surat untuk Amaninanya.. :')
    Semangat trus kak, salam buat Amanina..

    ReplyDelete
  9. Lama-lama saya ngefans sama kak Andina :D :D

    ReplyDelete
  10. Mba Andin, aku sukak part "termarjinalkan sejak masih dalam kandungan".

    ReplyDelete