Nashar Oleh Saya


Photo by 
Dimitar Belchev on Unsplash


Kawanku Nashar,

Aku tengah melongok buku-buku di lapak Yos Rizal di Taman Ismail Marzuki, Cikini, ketika sebuah pesan singkat masuk ke ponselku. Dari seorang kawan. Ia mengingatkanku membeli bukumu, yang berjudul Nashar oleh Nashar (Jogjakarta: Bentang, 2002). Kawanku ini seorang sastrawan besar, dan sebagai anak yang sedang belajar menulis, aku selalu memperhatikan buku-buku yang ia baca, lagu-lagu yang ia dengar, dan cara-cara ia bekerja, sebagai masukan untuk pengalamanku sendiri.

"Bacalah buku itu," kata kawanku. "Dan engkau akan tahu apa artinya memilih jalan hidup berkesenian."

Jalan hidup berkesenian--bukan main, indah sekali kata-kata itu kedengarannya! Dalam hidupku yang semakin mekanistis akhir-akhir ini, kalimat itu makin lama makin kehilangan artinya. Aku sudah lupa bahwa sejak kecil aku tak punya cita-cita lain kecuali jadi penulis. Tapi, karena orang dewasa selalu bilang penulis itu bukan pekerjaan, maka kubilang aku mau jadi wartawan (yang pekerjaannya menulis juga). Dan sekarang, aku sungguh-sungguh jadi wartawan.


Kawanku Nashar,

Kutemukan bukumu yang berdebu di rak depan kedai itu. Harganya empat puluh ribu. Aku tidak menawar karena sedang buru-buru. Dengan tak sabar, kubuka buku itu dan tenggelamlah aku dalam pemikiran-pemikiranmu. Dunia yang kita geluti memang berbeda. Kau melukis dan aku menulis. Kau menjelma tokoh besar sedangkan aku baru mulai belajar berjalan. Sungguh pun demikian, aku amat tersentuh oleh apa yang kau rasakan, kau katakan, dan kau pikirkan. Utamanya soal jalan hidup yang kaupilih.

Mengikuti kata Affandi, kau serahkan seluruh hidupmu untuk seni lukis. Kau kabur dari rumah dalam usia muda untuk memutus tali cengkeraman dominasi ayahmu, dan sejak itu kau hidup dari dan untuk seni lukis. Kelak setelah punya keluarga, kau tinggalkan pula istri dan anak-anakmu. Kau hidup di Balai Budaya, melukis tak putus-putus. Aku tidak akan bilang hal itu benar atau salah. Tapi, kukagumi konsistensimu.


Kawanku Nashar,

Ketika kutulis ini, kau sudah lama mati. Aku berumur 25 tahun. Ketika kau tengah merintis jalan jadi pelukis, Indonesia menghadapi satu musuh bersama: penjajah Belanda. Kubaca soal kau turut menandatangani Manisfesto Kebudayaan bersama H.B. Jassin, Trisno Soemardjo, Wiratmo Soekito, dan lain-lain. Kubaca soal kau menentang para seniman Lekra yang berpendapat politik adalah panglima seni.

Sekarang aku hidup di dunia yang sangat berbeda dengan masamu. Indonesia sudah berpuluh-puluh tahun merdeka. Tak ada lagi musuh tunggal yang nyata. Tapi, yang kuhadapi sekarang jauh lebih mengerikan, setidaknya menurut hematku.

Kau bilang bahwa yang penting dalam melukis adalah hadirnya rasa. Kupikir, dalam menulis juga seperti itu. Tapi tahukah kau, Kawan, orang-orang sekarang tak peduli lagi soal rasa. Buku-buku yang mereka gemari sekarang ada dua jenis, yakni yang cengeng dan motivasional. Mereka suka cerita tentang patah hati dan air mata yang dituturkan dengan cara melodramatis. Mereka gemar cerita tentang anak-anak dari kampung terpencil yang bisa bersekolah hingga ke Paris atau ke Inggris.

Nah, jika kupilih jalan hidup berkesenian, Nashar, bisa-bisa aku tak sanggup makan sebab aku tak suka menulis cerita cengeng dan motivasional. Pikiran ini sempat meruntuhkan semangatku. Tapi, sesudah membaca bukumu, aku berpikir-pikir. Kubayangkan, jika kau hidup di zamanku sekarang, katakanlah kita sama-sama berusia 25, kukira kau akan tetap memilih jalan hidup berkesenian juga.

Sebab yang penting bagimu bukanlah laku-tak laku. Bukan selera pasar. Bukan pula kata kritikus. Tapi rasa, yang menjelma kebahagiaan ketika tuntas tertumpahkan dalam bentuk lukisan (atau tulisan, dalam kasusku). Aku jadi agak bersemangat. Aku memang belum seratus persen menjadi seorang penulis dan tiada lain selain penulis, tapi sedikit-sedikit aku memperoleh gambaran tentang apa yang akan terjadi kelak jika aku memilih jalan sepertimu.

Aku belajar untuk tidak pernah merasa puas dan cukup dengan pengetahuan yang ada padaku. Dan sekarang aku tahu, hidup berkesenian hanya punya satu tujuan: mencari tahu sejauh mana kapasitas kita sebagai seniman, entah itu lukis atau tulis. Setiap karya punya jiwa, katamu, dan kau menyebutnya dengan istilah 'sesuatu'. Aku sangat setuju, meski pada zamanku kata 'sesuatu' itu lebih identik dengan penyanyi pop bernama Syahrini.


Kawanku Nashar,

Terima kasih sudah berbagi. Pandangan hidupmu memperkaya pengetahuanku, dan sepertimu yang melukis dan terus melukis, aku pun akan menulis dan terus menulis.


Salam,


Andina

(kawanmu yang tak kau kenal)

2 comments

  1. Hahahaaa....
    Menurutku kamu punya selera humor yang bagus.

    Anon1

    ReplyDelete
  2. Tapi pasti masih kalah sama Basiyo almarhum.

    ReplyDelete