Perempuan


Photo by Edu Lauton on Unsplash



Ini wacana lawas tapi masih sering muncul ke permukaan, bikin tidur gelisah dan hati tak tenteram (tapi tetap enak makan).

Semasa kuliah, saya berkenalan dengan aneka Teori Feminisme, pandangan Strukturalisme, psikoanalisis, dan aneka isme-isme lain yang berkenaan dengan perempuan sebagai the second sex. Pada masa itu, dunia yang tadinya baik-baik saja mulai terasa seperti pelanggengan kejam dari kelas yang berkuasa, dalam hal ini laki-laki. Pola pikir waktu itu sangatlah strukturalistis. Saya menganggap pria sebagai makhluk yang sangat menikmati posisi mereka yang "terataskan" oleh ideologi patriarki (didukung oleh sistem sosial budaya dan, terutama, agama), dan dengan itu secara sadar "membawahkan" para perempuan.

Sampai kemudian, saya menemukan bahwa sesungguhnya perempuan dan laki-laki sekadar objek dari strukturalisme gender itu sendiri. Keduanya terbingkai. Saya menulis sebuah esai tentang itu sebagai tugas akhir mata kuliah Komunikasi Gender dengan film Billy Elliott sebagai contoh kasus. Esai itu bisa diintip di sini dan di sini. Lelaki dan perempuan  menanggung tuntutan dari struktur sosial masing-masing, yang kadang-kadang (meminjam istilah Feuerbach) membuatnya terasing dari bakat dan gagasannya yang sejati.

Jadi, untuk sementara, kegelisahan tentang the second sex dapat terdamaikan.

Namun, bagaikan debu yang saya sapu ke bawah karpet, problematika gender tidak hilang. Ia timbul lagi sekarang. Pemicunya barangkali adalah usia yang terus bertambah. Semakin tua seorang perempuan, semakin banyak tuntutan yang harus ia hadapi, dan semakin banyak di antara tuntutan-tuntutan tersebut yang dasarnya adalah "karena kamu perempuan".

Familiar dengan kalimat-kalimat berikut ini?

"Harus cepat menikah, jangan lewat umur 25. Kenapa? Karena kamu perempuan. Perempuan kan usia biologisnya terbatas. Laki-laki beda, bisa terus punya anak kapan saja. Lagipula laki-laki biar menabung dulu. Nanti kalau sudah punya modal cukup, perempuan datang sendiri, nggak usah dicari."

"Nanti kalau sudah menikah, harus jadi teman terbaik bagi suami. Kalau suaminya pindah-pindah tugas dari pulau ke pulau, ya harus ikut. Jangan sampai sudah menikah tapi masih berjauhan. Mau pertahanin karier? Ah, karier kamu sehebat apa sih? Laki-laki kan pencari nafkah utama keluarga. Tugas istri, ya, mendukung."

"Harus bisa masak, lho. Kalau nggak, nanti suami lari ke wanita lain."

"Laki-laki selingkuh itu wajar, soalnya kan lagi puber kedua."

"Mau tetap bekerja? Silakan. Tapi ingat, anak-anak harus tetap terurus, harus tetap masak buat suami, rumah harus tetap bersih, dan seterusnya. Kenapa? Karena itu KODRAT perempuan."

"God invented woman because beer can't give you blowjob--and wash your dishes."

Dan seterusnya, dan seterusnya. Mengerikan jadi perempuan. Dan yang lebih mengerikan lagi, kebanyakan perempuan (dan laki-laki) tidak menyadarinya. Kita menjalani dunia sesuai yang baik menurut kita, tetapi lupa sama sekali bahwa itu semua struktur, bukan sesuatu yang terberi begitu saja tanpa harus dipertanyakan lagi. Saya kira banyak sekali perempuan di dunia ini yang merasa bahagia sekadar jadi pendamping bagi suaminya, menganggap bahwa itulah satu-satunya tugas kita di dunia. Dan dengan melakukannya, kita sempurna.

Lelaki juga begitu. Mereka menuntut macam-macam dari perempuan, sebab merasa bahwa untuk itulah perempuan diciptakan. Ideologi ini didukung oleh bermacam-macam media. Iklan televisi selalu memvisualisasikan ibu membikin kopi untuk bapak yang sedang baca koran, dan tidak pernah sebaliknya. Lagu Father and Son menyuruh anak lelaki untuk ".. find a girl, and settle down..", yang berarti laki-laki mencari dan perempuan menunggu ditemukan.

Fungsi perempuan dalam pernikahan pun tak jauh beda; untuk mendukung lelaki: memasakkan makanan, membersihkan rumah, menyetrika baju, pokoknya apa pun agar suami segar kembali setelah seharian beraktivitas di luar. Perempuan tidak perlu pintar, yang penting cantik dan badannya bagus, agar laki-laki senang memandangnya. Dipandang dan ditiduri: apa bedanya dengan manekin? Istri yang hanya cantik tetapi tidak pintar tentu akan membosankan.

Dalam seks juga begitu. Lelaki dipandang sebagai tokoh utama dalam seks, si protagonis yang harus terpuaskan, sedangkan perempuan tidak. Freud bahkan mengatakan bahwa perempuan dewasa HARUS mencapai orgasme vaginal sebagai bentuk dependensi seksualnya terhadap lelaki, padahal kita tahu orgasme klitoral lebih  mudah dicapai. Berapa banyak perempuan yang merasa disfungsional ketika belum mampu mencapai orgasme vaginal?

Tadinya saya kira semua itu adalah gambaran prasejarah dalam dunia pascamodernisme yang semakin abu-abu, tapi teryata saya salah. Semua itu masih terjadi, bahkan dijalani dengan senang hati oleh banyak pasangan di seluruh dunia. Nah, karena usia yang semakin dewasa, mau tak mau saya harus mulai memikirkan konsep rumah tangga seperti apa yang akan saya jalankan nantinya.

Sementara ini sih, konsep yang ada di pikiran saya masih konsep ala Smack Down, yakni tag team. Perempuan dan lelaki yang memutuskan untuk bersama dalam sebuah hubungan jangka panjang dan saling berkomitmen satu sama lain, haruslah setara. Pembagian kerja rumah tangga secara seksual sebaiknya tidak ada. Memang, ada pekerjaan-pekerjaan yang tidak bisa dialihkan, seperti hamil, melahirkan, dan menyusui. Tetapi, di luar itu, semua pekerjaan harus ditanggung bersama dengan pembagian kerja yang situasional dan penuh kasih sayang. Apa salahnya bergantian mencuci piring dan membuatkan kopi untuk pasangan? Apa salahnya saling mendukung untuk pendidikan yang lebih baik? Apa salahnya maju bersama? Apa salahnya cerdas bersama?

7 comments

  1. orgasme klitoral, noted.

    melenceng jauh dr topik :p

    ReplyDelete
  2. Ya ampun, ada apa sih dengan kalian para lelaki? Bersama komentar kamu ada beberapa komentar lagi dari para cowok, dan tetap yang jadi fokus adalah soal orgasme klitoral. Hahaha... Justru bukan poinnya :)

    ReplyDelete
  3. Dan, by the way, beberapa komentar tersebut nggak saya publish karena sangat seksis :)

    ReplyDelete
  4. Bahasan yang menarik, suatu yang sy suka dan praktekkan. Hanya dalam lingkungan masyarakat feodal yg mana urusan domestik biasanya diurusi pembantu maksimal diurus istri ini, prinsip bagi kerja spt ini harus dijalani dengan keberanian dan semangat tampil beda.

    Kebetulan disamping tidak sanggup bayar pembantu, juga tidak suka anak atau rumah malah diurus oleh orang lain.

    Persis spt kamu tulis, kerja yg tidak bisa dibagi hanya melahirkan dan menyusui, selebihnya bisa dibagi. Tetapi sebagai suami, contohnya ketika bagian memberi makan dengan menggendong, harus tahan malu dengan tetangga atau orang lain yg melihat. Membersihkan kotoran, cebok, ganti celana/baju, memandikan, menidurkan, memasak, cuci, setrika semua harusnya bisa dilakukan baik suami maupun istri.

    Justru menurut saya, orang2 yang tidak berpendidikan, orang-orang yang manja, orang yg berbudaya feodal yang mengganggap ini (urusan domestik) sebagai semata pekerjaan istri.


    Anon1

    ReplyDelete
  5. @Anon1 Saya tertarik mengomentari masalah budaya feodal. Ideologi patriarki memang memperoleh pendukungnya yang paling setia di sini. Masalahnya, feodalisme berselubungkan nilai-nilai (sok) agung dan sok (luhur) sehingga diterima tanpa dipertanyakan lagi. Bahkan beberapa orang menjalankannya dengan rasa bangga dan puas diri. Dan, oh, agama! :D

    Btw, senang mendengar diskursus ini sudah Anda wujudkan dalam praktik. Keluarga bahagia :)

    ReplyDelete
  6. Ironis memang. Bersekolah atau kuliah pun belum tentu berhasil membuat pribadi bebas dari sikap dan sifat feodal. Sikap yang bisa memanusiakan manusia. Pekerjaan apa pun jika mampu dilakukan harusnya tidak dipakai merendahkan si pelaku. Seperti mencuci pakaian, setrika, pel lantai hanya oleh babu. Beres-beres tanaman, cabut rumput oleh tukang kebun. Berapa kali saya pengalaman ditegur tetangga "rajin, tidak suruh orang aja pak" hanya karena mencabut rumput liar di depan rumah sendiri.
    Itu masih mending, lebih sering malah dipandang sebelah mata seakan berkata "dasar miskin, bayar orang untuk kerjakan itu saja tidak sanggup!"
    Mungkin saja memang kita tidak sanggup membayar, tapi kalau saya poinnya adalah jika sanggup kerjakan sendiri, kerjakan sendiri.

    Tapi, jangan salah! Itu bukan jaminan keluarga bahagia. Maksud saya, dalam mencari pasangan kita jangan ngotot dengan standar ideal itu, berharap kalau ketemu pasti bahagia. Belum selalu tentu.

    Anon1

    ReplyDelete
  7. Iya, setuju banget. Feodalisme dan patriarki tidak berkorelasi dengan tingkat kepandaian. Kayaknya lebih ke pola didik kultural, deh. Tapi sebenernya rada mengecewakan juga lihat orang sekolah tinggi-tinggi, eh perilakunya masih diskriminatif. Percuma kan belajar teori kritis macam-macam tapi nggak dipraktikkan dalam kehidupannya sendiri.

    Soal jaminan keluarga bahagia, hehe, maaf maaf, ini yang ngomong belum berpengalaman berkeluarga. Tapi dari dulu memang kebayang banget punya pasangan yang bisa diajak kerjasama dalam segala hal. Kayaknya kalo udah kayak gitu, hidup dengan segala pahit manisnya ini bisa dijalani dengan lebih menyenangkan. CMIIW :)

    ReplyDelete