Orde Kekacauan


Bre Redana bilang, kita hidup di Orde Air Mata, sebuah orde di mana masyarakatnya cengeng, suka hal-hal yang melankolis, dan senang bersedih. Hal ini bisa jadi benar. Namun, coba perhatikan televisi kita. Di situ kita akan temukan bahwa ternyata tak hanya air mata, masyarakat kita juga senang hal-hal yang serba kacau balau.
Sebagai tandanya, acara-acara baru yang serba dramatis terus bermunculan. Kacau, Tamu Tak Diundang, Ups Salah, Bukan Sinetron, Jujur Apa Nggak Seech, dan Orang Ketiga hanyalah beberapa di antaranya. Sementara acara-acara lain yang sebenarnya tidak menjual kekacauan dan kebalauan pun ikutan-ikutan.
Ambil contoh On The Spot yang tayang di Trans 7. Seperti kita tahu, ini adalah acara musik yang intinya memutar video klip sambil kirim-kiriman salam. Tidak perlu ada kekacauan dan kebalauan di situ. Maka terngangalah kita ketika Omesh sang host tiba-tiba harus melerai sepasang kekasih yang bertengkar di pusat jajan sebuah mal.
“Tenang dulu, tenang dulu! Pacar kamu mau minta maaf, setidaknya kamu harus beri dia kesempatan. Dia menyesali kesalahannya, dan ingin memperbaiki semuanya..” Omesh yang biasanya ceria kali ini terpaksa harus tampil agak serius.
Si perempuan akhirnya mau juga mendengarkan si lelaki yang sudah setengah putus asa. Lalu muncullah Ian Kasela dari grup musik Radja. O, ternyata si perempuan penggemar berat Radja, dan celah ini yang dimanfaatkan pacarnya dengan meminta bantuan On The Spot untuk mendatangkan sang vokalis. Acara ditutup dengan manis oleh Ian yang memanggil pasangan kekasih ini ke atas panggung saat Radja manggung.
“Lagu berikut ini untuk kalian berdua.” kata Ian Kasela pada pasangan yang baru saja berbaikan itu. Lagu Tulus pun segera mengalun. Si lelaki dan si perempuan tersenyum-senyum sambil berpegangan tangan di atas panggung, sementara Omesh mengedipkan mata, puas karena tugasnya mendamaikan pasangan kekasih itu berhasil.
Dramatis memang, namun buat saya ini sungguh memuakkan. Maksud hati mau menikmati video klip, malah disuguhi orang nangis dan marah-marah. Susah sekali mencari acara yang damai di saluran televisi kita. Dari stasiun teve ke stasiun teve lain isinya melulu sama: kekacauan dan kebalauan yang bukan main palsunya.
Begitu menggejalanya kegandrungan orang pada kekacauan, sehingga kita tiap hari seperti disuguhi konteks kacau-kacauan. Seolah kita hidup di sebuah negara di mana orang tidak bisa menyelesaikan masalahnya sendiri dengan kepala dingin, melainkan harus minta tolong pada acara televisi yang justru dengan begitu leluasa merekam dan mengeksploitasi air mata dan amarah mereka, untuk kemudian dipertontonkan pada sesamanya. Semua atas nama hiburan!
Pertanyaannya, kok bisa masyarakat kita terhibur dengan air mata, amarah, dan teriakan? Jujur saja, sebenarnya kita sulit membayangkan masyarakat yang menjadikan kekacauan sebagai arena relaksasi. Seolah-olah hidup mereka sendiri berjalan begitu datar dan membosankan, sehingga harus sejenak mengintip kekacauan hidup orang lain demi sebuah kenikmatan.
Dalam ilmu per-penonton-an, ada istilah the flight from reality yang berarti penonton menikmati media sebagai sarana untuk melarikan diri dari realitas kehidupan yang dialaminya. Karena bosan dengan rutinitas, atau pusing memikirkan biaya hidup yang tinggi, penonton kemudian mengalihkan perhatiannya pada sajian media.
Sinema elektronik (sinetron) adalah contoh paling popular dalam perbincangan ini. Kita tentu banyak menjumpai orang-orang yang begitu getol mengikuti Cinta Fitri, ikut bersorak jika Mischa ditampar Oma, atau ikut gela ketika Farrel dimaki-maki Mami. Padahal, ia tidak punya kepentingan apapun terhadap tokoh-tokoh fiktif tersebut, atau terhadap jalan cerita yang pastinya juga cuma ngibul. Inilah bentuk melarikan diri yang dimaksud.
Namun, ternyata bagi masyarakat kita sinetron saja tidak cukup. Meskipun pemainnya ganteng dan cantik, mereka tetap fiktif. Apa yang terjadi pada mereka juga tergantung skenario. Kurang seru. Masyarakat kita suka dikageti. Mereka ingin sesuatu yang lebih spontan, alami, natural, tapi tetap tidak kehilangan unsur kacau balau sebagai bumbu penantang adrenalin.
Reality show mampu menjawab ini semua, maka dibikinlah acara-acara yang makin lama makin tak logis namun makin dramatis. Yang lain pun ikut-ikutan menyisipkan drama dalam agenda sajiannya. Tinggal kita gigit jari karena kehilangan acara teve yang bisa tetap rendah hati tanpa menjual pertengkaran.
Di sini kita boleh merasa ngeri membayangkan tatanan sosial macam apa yang bisa menciptakan masyarakat yang doyan air mata, amarah, dan teriakan. Lebih mengerikan lagi karena kita semua berada di dalamnya, dan jangan-jangan ikut andil dalam menciptakan Orde Kekacauan ini.
Sungguh, sebagai masyarakat, kita ini patut dikasihani. Hidup di negara yang serba kacau, lalu menonton acara televisi yang juga menjual kekacauan. Melarikan diri dari kekacauan di dunia nyata dengan menikmati kekacauan di layar kaca yang (pura-puranya) nyata. Demikianlah kekacauan sudah menjadi candu yang menyihir kita untuk berputar-putar di dalamnya.

(dimuat di Suara Merdeka edisi Minggu, 29 Maret 2009)

2 comments

  1. Oksimoron, itulah bangsa ini.

    ReplyDelete
  2. Mari kita berupaya melawan kebodohan. Trims sudah mampir baca :)

    ReplyDelete