Menantang Makna Cantik


Ada anggapan bahwa kecantikan adalah ‘senjata’ kaum perempuan. Ingat aforisma ‘beauty kills’? Dengan kecantikan, seorang perempuan diandaikan akan dapat memperoleh apapun yang diinginkannya.

Mulai dari hal yang sederhana seperti dipandangi kaum lelaki dengan penuh kekaguman, sampai sesuatu yang lebih kompleks sifatnya macam meraih cita-cita atau impian, kecantikan bagi perempuan selalu menjadi andalan. Ini dibuktikan, contohnya, melalui banyaknya iklan pemutih wajah dengan storyline yang seragam.

Iklan Pond’s Flawless White yang sukses di pasaran, misalnya. Ia menceritakan bagaimana seorang perempuan dapat meraih cinta sejatinya karena ia tampak lebih putih dalam waktu sekian hari. Pesona kulit putihnya membuat sang lelaki terpana, kemudian meninggalkan tunangannya (yang sebenarnya tak kalah putih). Produk yang sama juga pernah menceritakan kisah seorang gadis desa yang berhasil mewujudkan cita-citanya menjadi balerina setelah memakai krim pemutih wajah.

Terlepas dari apa itu konstruksi tentang kecantikan, apakah ia berarti kulit putih, rambut hitam lurus panjang, tubuh langsing, dan lain-lain, tampaknya konsensus bahwa kecantikan selalu produktif bagi perempuan perlu diberi definisi ulang. Apakah benar kecantikan selalu membawa kebaikan?

Untuk menjawabnya, film Prom Night barangkali bisa membantu. Remake dari film berjudul serupa (1980), Prom Night yang dirilis Mei lalu di seluruh dunia memperoleh sukses yang luar biasa. Ia sukses menembus top sepuluh film box office dan meraup keuntungan sampai 46 juta dolar lebih. Di mana kekuatannya?

Prom Night mengisahkan tentang seorang gadis cantik bernama Donna Keppel (Brittany Snow) yang menjadi bintang sekolah di SMU-nya. Kecantikan Donna membuat seorang guru, Richard Fenton (Johnathon Schaech), terpesona berat. Saking terpesonanya, Fenton menjadi terobsesi pada Donna. Obsesi ini seperti biasa berubah menjadi sebuah hasrat psikosis untuk memiliki Donna yang kemudian diterjemahkan sebagai keinginan untuk membunuh.

Ayah, ibu, dan kakak Donna dihabisi oleh Fenton di depan mata sang gadis hingga membuatnya trauma. Fenton pun masuk bui. Tiga tahun kemudian saat Donna siap lulus dari SMU, sang pembunuh kabur dari penjara tepat tiga hari sebelum malam prom dihelat. Ia berencana untuk menghabisi teman-teman Donna, dan sang gadis itu sendiri. Pemikiran Fenton sederhana, bahkan nyaris klasik: jika ia tak bisa memiliki Donna, maka yang lain juga tidak. Kejar mengejar terjadi. Lingkaran sahabat Donna tumbang satu per satu di tangan Fenton. Bahkan pacar Donna, Bobby (Scott Porter) juga ikut dihabisi oleh sang pembunuh.

Fenton memang pada akhirnya tertangkap. Ia tewas di pelatuk pistol Detektif Winn (Idris Elba) tepat saat ia sedang akan membunuh gadis idamannya. Namun, trauma yang dialami Donna tidak dapat dihapuskan semudah peluru Detektif Winn mengakhiri hidup Fenton. Andaikata hal seperti ini benar-benar terjadi, bisa dipastikan ketakutan yang dialami Donna akan terus dialaminya seumur hidup, dan hal itu pasti berpengaruh terhadap perkembangannya sebagai seorang individu.

Pada titik ini, masihkah kita yakin bahwa kecantikan tidak pernah kontra produktif terhadap hidup seorang perempuan? Di kehidupan nyata, kita masih ingat kisah seorang anak perempuan di Amerika yang memenangkan kontes putri-putrian cilik. Wajahnya cantik mirip boneka Barbie. Pintar, imut-imut, dan menggemaskan, ia berakhir di tangan seorang pembunuh yang menghabisi nyawanya setelah menyekapnya di sebuah gudang berhari-hari. Semua karena kekaguman buta.

Kejadian seperti ini tidak hanya bisa dilakukan oleh orang-orang dengan kondisi kejiwaan yang sakit. Sebuah majalah remaja memuat artikel berisi curahan hati seorang remaja putri yang di-bully oleh kawan-kawan sekolah karena kecantikannya. Ia memperoleh teror secara verbal dalam bentuk labeling yang tak nyaman didengar, sampai perlakuan fisik seperti ditampar, ditendang, dan dipukuli. Menurut sang remaja putri, pihak sekolah tidak memperhatikan kasusnya dengan serius karena menilai apa yang dialaminya hanya perilaku gencetan biasa. Di akhir ceritanya, sang remaja bertanya dalam nada retoris, apakah salah menjadi cantik?

Jawabannya, tentu tidak. Yang salah adalah apa yang kita pikirkan tentang kecantikan itu sendiri. Apakah kecantikan itu? Apakah ia atribut semata? Apakah ia menempati posisi yang demikian krusial sehingga harus dipuja di luar nalar, atau malah memicu rasa iri berlebihan yang menyebabkan kita tak lagi bisa menghargai si cantik sebagai individu, melainkan sebuah kanvas yang dilukis indah?

Tak perlu diragukan, sikap menghargai seseorang apa adanya mutlak diperlukan. Permasalahannya mungkinkah hal ini dilakukan di tengah terpaan media yang mengatakan sebaliknya? Mungkinkah kaum perempuan melakukan resistensi dengan tidak mematuhi konstruksi tentang kecantikan, sementara jelas ada sebentuk kemudahan bagi mereka yang menyatakan ‘ya’ pada standar baku tersebut? Perempuan cantik lebih mudah menarik perhatian, sementara lelaki tampan lebih mudah menggaet apa yang mereka inginkan. Inilah adagium yang seolah tak mau lepas dari otak para pembuat iklan dan audiens penikmat komersial. Meminjam aforisme Descartes dengan sedikit gubahan: aku cantik, maka aku ada. I am beautiful , therefore I exist.

Lewat media (iklan, film, sinetron) dunia seolah tampil lebih ramah bagi mereka yang ‘cantik’ . Masuk akal karena bagaimanapun penampilan adalah benteng pertama seseorang. Tetapi perlu diingat, kecantikan juga bagai pedang bermata dua. Ia bisa menguntungkan, juga membahayakan. Ia bisa membahagiakan, tapi juga mengancam. Mana yang kita pilih menggambarkan kedewasaan kita dalam memandang keindahan, dalam bentuknya yang paling purba sekalipun.

(dimuat di Suara Merdeka edisi Minggu, 15 Juni 2008)

2 comments