The Problem that Has No Name: Sastra dan Identitas Keseharian Perempuan

 



Seperti ibu-ibu milenial pada umumnya, begitu testpack menunjukkan dua garis, saya langsung Googling hal-hal yang berkaitan dengan kehamilan dan perawatan bayi. Asyik sekali mengobrol di forum-forum diskusi online dan membaca tulisan para mommy bloggers tentang tips lancar menyusui dan penanganan anak saat demam, sambil membayangkan kegembiraan sekaligus kerepotan apa yang akan saya alami nanti.

Sampailah saya di sebuah blog. Seseorang bercerita tentang kawan perempuannya yang hamil pada usia 42 tahun. Hal ini membuat si kawan cemas. Dia takut susah melahirkan, tidak kuat begadang, tidak punya cukup uang untuk membiayai si anak sampai dewasa, dan seterusnya. Kecemasan ini tidak dia ceritakan kepada siapa pun karena terasa tak pantas: bukankah semua ibu di dunia ini seharusnya senang menyambut anaknya?

Lalu, lahirlah si bayi. Gemuk, sehat, dan lucu, tapi tetap tidak bisa menyelesaikan kecemasan di hati ibunya. Si kawan mulai mendengar suara-suara di kepala, menghina dan meremehkan kemampuannya sebagai ibu. Pada suatu siang, dia membawa si bayi ke lantai dua rumah mereka, menelpon sang suami untuk mengabarkan dirinya tidak sanggup membesarkan si bayi, dan karenanya, si bayi sebaiknya dilempar saja dari atas balkon.

(Jangan khawatir, kisah ini happy ending. Si suami meminta tolong tetangga mereka untuk menyelamatkan si bayi dan ibunya, dan sekarang anak itu sudah SD.)

Tulisan itu menempel sekali di ingatan saya, bahkan bertahun-tahun setelah saya sendiri melahirkan. Seorang ibu nyaris membunuh bayinya karena tidak memiliki teman berbagi cerita! Tadinya saya pikir hal ini agak ekstrim, tapi ternyata banyak peristiwa yang lebih gawat. Seorang ibu di Ende, Nusa Tenggara Timur, menusuk bayinya karena stres masalah ekonomi. Ibu lain di Bandung, juga sama, menghabisi nyawa anaknya dengan pisau karena tidak tahan terus-terusan dibilang tidak becus mengurus bayi. Saat itulah saya sadar, memiliki support system yang kuat ternyata adalah sebuah privilege bagi banyak ibu. Inilah yang menjadi tema utama saya ketika menulis novel kedua.

*

Karakter perempuan dalam cerita-cerita fiksi biasanya cenderung dikotomis: antara perempuan lajang yang berani hidup menentang norma dan konstruksi sosial, atau justru perempuan yang dengan senang hati mengglorifikasi nilai-nilai patriarki yang dibebankan kepadanya. Saya ingin menolak dikotomi ini. Saya tidak ingin meneguhkan stereotype perempuan kuat biasanya tidak menikah atau membenci laki-laki, sementara ibu rumah tangga biasanya lemah karena hidupnya tergantung suami.

Bukankah banyak perempuan yang mengambil pilihan-pilihan sesuai konstruksi sosial, seperti menikah dan punya anak, tetapi memiliki nilai-nilai sendiri yang tidak selalu sesuai dengan sistem patriarki. Siapa tahu itu adalah upaya perlawanan pribadi mereka terhadap konstruksi sosial yang merugikan.

Amara, tokoh utama novel saya, “Lebih Senyap dari Bisikan” (2021), adalah bagian dari mereka. Dia mandiri, berpendidikan, dan menikah karena cinta, bukan dijodohkan atau dipaksa. Baron, suaminya, memperlakukan Amara dengan baik dan setara. Mereka saling berbagi pekerjaan rumah tangga, memiliki hobi masing-masing, dan saling mendukung dalam perkembangan karier.

Konflik mulai muncul saat Amara dan Baron memutuskan untuk punya anak. Ketika kehamilan yang ditunggu-tunggu tidak kunjung datang, Amara mulai mempertanyakan alasan di balik keputusan itu.

 

“Karena itukah aku ingin punya anak? Agar aku bisa bilang bahwa aku sudah menjalankan peran utamaku sebagai perempuan? Agar aku bisa menggenapkan tugas tubuhku yang dirancang untuk  melanjutkan kehidupan? Agar aku bisa pergi ke acara keluarga atau reunian tanpa merasa tersakiti lantaran terus-terusan ditanya ‘kapan?’, ‘kapan?’)”

(Lebih Senyap dari Bisikan, halaman 15)


Lewat refleksi Amara, saya mau menampilkan perempuan dan dilema mereka: tercabik antara menjadi modern dan menghormati nilai-nilai lawas, antara mau melesat mengikuti arus zaman atau justru melambat untuk menemukan apa yang berharga, dan antara ingin merdeka menikmati kebebasan atau menuruti ikatan aturan dan norma.

Dalam bukunya “The Feminine Mystique”, aktivis Betty Friedan bicara soal ‘masalah yang tak bernama’ atau ‘the problem that has no name’. Istilah ini mengacu pada gambaran ideal perempuan sebagai ibu rumah tangga yang diam di rumah, bahagia mengasuh anak dan mengurus suami, yang dipasarkan sedemikian rupa oleh budaya pop (cerita-cerita roman, film, lagu) seolah memang begitulah seharusnya peran terbaik perempuan. Tetapi, bahkan ketika mereka berhasil menjalani peran sebagai ibu, istri, dan pengurus rumah tangga, tetap saja perempuan tidak berbahagia.

Tokoh Amara dalam novel saya juga mengalami hal tersebut. Dia melepaskan segalanya demi punya anak. Dia melakukan tes kesuburan, program kehamilan, dan bahkan berhenti bekerja agar bisa mencapai gambaran ideal (istri/ibu/pengurus rumah tangga). Ketika akhirnya Amara berhasil, dia tetap merasakan kekosongan, yang dengan cepat berubah menjadi kesulitan luar biasa ketika musibah melanda keluarganya.

*

Selama menulis novel kedua, saya banyak terpengaruh oleh Elena Ferrante (“The Lost Daughter”), Chitra Banerjee Dhivakaruni (“Arranged Marriage”), dan Alice Munro (“Dear Life”). Secara konsisten mereka menampilkan hidup perempuan dengan segala kompleksitasnya. Sama seperti Amara, tokoh-tokoh dalam buku mereka tidak selalu lepas dari macam-macam konstruksi sosial, tapi mereka menjalaninya dengan pikiran yang tajam dan keberanian untuk menggugat.

Dengan agak malu harus saya akui, bahwa pada awal-awal karier kepengarangan, saya kurang sekali membaca karya pengarang perempuan. Pada saat itu saya merasa tema-tema “domestik” tidak keren; saya harus membuat novel-novel yang ambisius, yang berkisah tentang perang, politik, sejarah, dan tema-tema hebat lainnya. Elena Ferrante, Chitra Banerjee Dhivakaruni, Alice Munro, (juga Jhumpa Lahiri dalam “Interpreter of Maladies” dan Chimamanda Ngozi Adichie dalam “The Thing Around Your Neck”) mengubah segalanya. Lewat cerita-cerita mereka, saya belajar bahwa tema-tema keseharian pun jika dituliskan dengan apik dapat menggugah. Dan, yang lebih penting, jika bukan pengarang perempuan sendiri yang menuliskannya, siapa lagi?

Di novel ini saya banyak menyertakan penggambaran-penggambaran yang brutal dan jujur, misalnya tentang melahirkan. Bukannya meromantisasi kehamilan dan melahirkan, saya memilih untuk menceritakannya seakurat mungkin. Seorang kawan, kebetulan laki-laki, mengaku menangis tersedu-sedu ketika membaca adegan Amara melahirkan. Dia merasa ngilu dan linu. Baru disadarinya, melahirkan ternyata proses yang menyakitkan dan berantakan. Bagi saya, ini sebuah kemenangan kecil.

Beberapa reviews dan komentar di Goodreads, blog, dan media sosial, juga serupa. Mereka merasa buku ini membuka mata tentang realita pernikahan, kehamilan, melahirkan, dan menjadi orang tua. Saya harap, buku ini dapat ikut serta meramaikan diskursus tentang sastra dan identitas keseharian perempuan dalam menemukan apa yang berharga. ***

           

 

*Makalah untuk Konferensi Internasional Thai and Indonesian Writing in an Era of Conservative Redux, 6-7 Agustus, di School of Political and Laws, Walailak University.    


Photo by Katerina Pavlyuchkova on Unsplash

1 comment