Gadis


Lima belas tahun lalu di Semarang, aku tinggal di sebuah kos campur di daerah Sampangan. Kompleks kos ini seperti rumah susun, berbentuk huruf U dan terdiri dari kamar-kamar berukuran 3x4 meter dengan kamar mandi di dalam. Boleh pasang AC, tapi kena biaya tambahan. Aku tinggal di sana sejak semester tiga sampai sebelas. Di kos aku berteman akrab dengan Gadis (bukan nama sebenarnya), seorang mahasiswi merangkap pemandu karaoke.

Kamar kami berhadapan--Gadis di nomor 18 dan aku 31. Kamar Gadis rapi, apik, dan berbau campuran lotion ("hembodi", kata Pak Kirin si penjaga kos), cairan aseton penghapus cat kuku, parfum Estee Lauder dan kopi instan murahan. Gadis melapisi lantai kamar dengan karpet bulu coklat muda dan mengganti penerangan dengan lampu kecil-kecil yang bersinar redup kekuningan. Di sepanjang dinding kamar, dia memasang poster-poster kutipan motivasi berbingkai cerah. "Don't stop believing"; "Dreams don't work unless you do"; dan sejenisnya. 

Tepat di sebelah kanan pintu, ada meja tulis. Isinya buku-buku yang ditumpuk rapi, kaleng bekas rokok yang dijadikan tempat pinsil, dan satu keranjang plastik berisi pernak-pernik. Gadis berganti minat sesuka hati. Sekali waktu ia hobi mengisi teka-teki silang, lain waktu koleksi kerang, membuat kerajinan dari kayu, mencampur jus buah, membuat sketsa, bermain harmonika, menjahit, dan yang terakhir bikin boneka dari kain. 

Ada lemari kayu dengan pintu geser yang isinya dibagi dua: sebelah kiri baju, sebelah kanan buku-buku dan peralatan make-up. Sebagai cewek yang cuma kenal bedak dan lipstik, aku mengagumi perangkat dandan Gadis yang berjejer rapi. "Tuntutan profesi," katanya  setiap kali aku memandanginya memoles wajah dengan keahlian luar biasa.

Di bagian bawah lemari ada sisa tempat yang digunakan untuk meletakkan microwave. Benda ini sebenarnya ilegal di kos kami karena watt-nya besar tapi Gadis selalu bisa menyembunyikannya dari pandangan Pak Kirin. Benda ini andalan kalau kami kelaparan tengah malam dan malas masak: sosis dipotong jadi tiga atau empat bagian, dikerat, ditaruh di atas nasi putih, kadang ditambah potongan tomat atau jamur, ditaburi sedikit garam dan lada, ... dua menit dalam microwave, beres sudah. Gadis sering memotong kentang kecil-kecil, menaburinya dengan garam, memasukkannya dalam microwave selama enam-tujuh menit, lalu dimakan begitu saja, kadang pakai saus barbeque kalau kepingin. Aku menyebutnya menu Unit Lapar Darurat.

Gadis bertubuh tinggi semampai, berambut hitam lurus panjang yang dicat kemerahan, dengan kulit coklat dan mata mungil seperti manik-manik. Saat pertama kali berkenalan, aku tidak yakin kami bisa berteman karena sepertinya kami tidak punya banyak kesamaan. Tapi Gadis ternyata tidak masuk ke kotak stereotype "mbak-mbak-pemandu karaoke-jago dandan-berpakaian ketat" di dalam kepalaku. Setiap kali bulan Ramadan tiba, Gadis memesankanku makanan katering, membangunkanku setiap sahur, dan memastikan aku tidak absen tarawih. Dari Gadis kupinjam novel Hemingway pertamaku, "The Old Man and The Sea" yang sampai sekarang belum kukembalikan. Dan setiap kali menantangnya bertanding catur, aku kalah dengan mengenaskan.

Berusia empat tahun lebih tua dan seratus kali lebih berpengalaman dengan pria, Gadis kunobatkan menjadi penasihat ideal bagi kisah cintaku yang seringkali ruwet. Dia juga akrab dengan berbagai kesulitan hidup. Aku mendengarkan dengan asyik setiap dia bercerita tentang berbagai pekerjaan yang pernah dia jalani untuk membayar uang kuliah. Tidak pernah sekali pun Gadis menyebut tentang orang tuanya dan aku juga tidak pernah bertanya karena aku tahu, bagi beberapa orang, keluarga bukan topik yang menyenangkan.

Sore itu aku terbangun karena suara teriakan. Asalnya dari kamar Gadis. Saat aku keluar, kulihat Pak Kirin dan beberapa penghuni kos merubung dan menggedor-gedor pintu kamar Gadis. Sejurus kemudian Gadis membuka pintu, tampak malu karena di dalam ada pacarnya, seorang lelaki tinggi tampan yang selalu mengenakan jaket kulit di tengah panggangan matahari kota Semarang. Sepatu si pacar dimasukkan ke dalam, sebuah trik kuno mahasiswa agar bisa pacaran di kos dengan aman. Pak Kirin memelototi pacar Gadis dan laki-laki itu meminta maaf telah membuat keributan.

Tak berapa lama, pacar Gadis pulang dan aku menghampiri kamarnya. Kuketuk pintu dan terdengar suara Gadis menangis tersedu-sedu. Aku menunggu. Rasanya lama sekali sampai terdengar suara 'klik'. Saat aku masuk, Gadis sedang duduk di atas karpet bulu. Rambutnya yang lepek oleh keringat dan air mata, terbelah dengan aneh dari puncak kepala bagian kiri ke sisi kanan, menutupi pipi. Kusibak perlahan dan terlihat darah kering di sudut mulutnya yang mulai membengkak. Aku memandangnya penuh tanya. Gadis menggeleng. Aku lalu pergi membelikannya makanan tapi Gadis tidak keluar lagi sampai pagi. Lalu hari berikutnya. Dan hari berikutnya.

Ketika akhirnya pintu kamar Gadis terbuka, dia hanya melambaikan tangan padaku sekilas sambil tersenyum lemah. Aku ingin menghampirinya. Aku ingin tahu apa yang terjadi padanya. Aku ingin dengar mengapa gadis secantik dan setangguh dia membiarkan diri dipukul laki-laki. Tapi aku dan Gadis sudah berhenti bicara. Semua SMS yang kukirim tidak pernah dia balas. Dari balkon kamar kulihat setiap malam dia duduk menghadap meja tulis. Pintu kamarnya separuh terbuka dan Gadis selalu sibuk menulis, menggambar, menggunting atau menempel sesuatu.

Beberapa minggu setelah peristiwa itu, Pak Kirin berdiri berkacak pinggang di depan pintu kamar Gadis. Saat itu jam sembilan pagi dan aku sedang bersiap berangkat ke kampus. Tempat tidur Gadis seperti biasa selalu rapi. Karpet bulu masih terpasang. Lemari kosong. Barang-barang di meja tulisnya—kertas, buku, pena, senter, boneka gingerbread dari kain flanel, minyak angin, kabel charger ponsel, tisu, kalender meja, lem kayu—berserakan. Semalam aku masih melihat separuh wajah Gadis yang bersinar terkena lampu baca. ***


Foto oleh Alexandra Gorn di Unsplash.

1 comment