Mengajar Tanpa Power Point

Pembimbing tesisku punya guyonan yang garing-garing gemes. Menurut beliau, dosen yang sudah pensiun tidak akan terkena Post Power Syndrome seperti para pejabat. "Soalnya, pensiunan dosen itu kenanya penyakit Post Power Point," kata beliau, terkekeh.

Ehe ehe ehe ehe~

Belakangan, setelah lima tahun menggeluti profesi dosen, aku baru menyadari jangan-jangan guyonan itu ada benarnya. Kami para dosen memang amat tergantung pada Power Point (PPT) dalam mengajar. Ada kolega dosen yang biasa merancang ratusan slides PPT selama libur untuk bekal sepanjang semester, ada juga yang go with the flow bikin PPT baru setiap minggu. Aku bahkan pernah menyaksikan seorang dosen yang menemani anak lelakinya melamar seorang gadis, dan saat sesi perkenalan keluarga, alih-alih ngobrol santai kayak orang normal, dosen tersebut menggunakan slides PPT lengkap dengan proyektornya..

Lalu aku membaca artikel ini di laman The Conversation. Artikel karya Bent Meier Sorensen, seorang profesor dari Copenhagen itu menyebutkan, penggunaan PPT di ruang-ruang kelas sebaiknya dihentikan karena hanya bikin dosen membosankan dan mahasiswa makin bodoh!


Mak dheggg akutu..

Gara-gara artikel itu, aku jadi tertantang untuk enggak terlalu bergantung pada PPT saat mengajar. Awalnya sih, terasa aneh masuk kelas tanpa bekal slides PPT. Rasanya bagaikan koboi masuk arena pertempuran tanpa bawa pistol. Tapi setelah 1-2 kali pertemuan, aku mulai terbiasa dan rasanya (ternyata) lebih asyik.

Kok bisa? Ya karena tanpa PPT, dosen jadi mengandalkan umpan balik (feedback) dari mahasiswa. Dan proses memancing umpan balik inilah yang menjadikan kelas lebih hidup. Misalnya, di kelas Jurnalisme Digital ada satu pertemuan membahas tentang feature di media daring. Dulu ketika masih menggunakan PPT, aku pasti akan mulai dengan slide definisi feature, contoh-contoh feature di media daring, karakteristik feature, dan seterusnya.

Tanpa PPT, yang bisa kulakukan hanya satu: BERTANYA. Sebelumnya, aku minta mahasiswa untuk riset kecil-kecilan tentang feature di media daring. Mereka membuat semacam resensi tiga feature yang mereka temukan di media daring. Berbekal resensi itulah aku memancing mereka dengan beragam pertanyaan.

"Menurut kalian, feature itu apa sih? Apa yang membedakan dengan straight news?"
"Apa feature favorit kalian? Kenapa kalian suka itu?"
"Apa yang kalian rasakan ketika membaca feature? Bosan nggak, baca tulisan panjang?"
"Tema-tema feature apa yang menurut kalian paling sering muncul?"
dst.

Kelas jadi jauh lebih hidup dibandingkan ketika aku masih bersenjatakan PPT. Mahasiswa lebih berani untuk bicara karena mereka merasa dimintai pendapat. Dan aku mencatat semua jawaban yang masuk (supaya mereka merasa pikirannya dihargai), untuk kemudian dirangkum dan dibandingkan dengan definisi dari buku teks. Memang sih, prosesnya akan lebih panjang dan lama, tapi sepadan kok dengan hasil yang didapat.

Dengan metode ini pula, aku jadi bisa mengajar lebih lama. Biasanya aku hanya akan mengajar 50-60 menit. Capek bos, ngomong lebih dari satu jam! Tapi karena sekarang bukan aku yang banyak ngomong, aku bisa mengajar hingga dua jam. Dan enggak kerasa! Mahasiswa pun jadi lebih terlibat dan otomatis lebih menyimak.

Karena ikut "mikir", pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari mahasiswa pun semakin kritis dan beragam. Misalnya, di kelas yang membahas feature tadi, ada mahasiswaku yang bertanya kenapa media cenderung terjebak dalam stereotype "kesedihan si miskin" saat menulis feature tentang golongan masyarakat menengah ke bawah. Untuk menjawab pertanyaan itu, aku menantang kelas mengusulkan ide tulisan tentang masyarakat miskin, tanpa terjebak jadi mengharu-biru dan justru melakukan dobel marjinalisasi ala reality show "Tolong" atau "Jika Aku Menjadi".

Ada yang usul tulisan tentang tukang kopi Starling alias Starbuck Keliling dan para konsumennya. Itu lho, abang-abang naik sepeda dengan termos dan kopi renceng yang sering beroperasi di trotoar dan taman-taman. Saat minum kopi murah di gelas plastik (yang kadang didobel biar tangan enggak kelewat panas), sebatang rokok ketengan harga dua ribuan, duduk menikmati angin berembus tanpa AC dan pewangi mewah, perasaan kita toh senang juga, enggak beda dengan yang duduk di kafe-kafe mahal di pusat perbelanjaan. Bahwa kopi artisan mbuh apa namanya yang dibikin dengan metode pour over, V60, manual brew, french press, endebre endebre, tidak otomatis memberi jaminan kebahagiaan dibandingkan ketika minum Kapal Api yang ampasnya harus ditunggu turun dulu sembari ditiup-tiup syahdu. Kita tidak harus kasihan kepada mereka yang hanya mampu minum kopi sachet sembari duduk di pinggir jalan, seperti kita juga tidak harus mengagumi mereka yang perutnya cuma bisa menerima kopi single origin yang diseduh dengan cara tertentu. Keduanya bisa menikmati kopi itu dengan kebahagiaan yang sama.

"Jadi stereotype haru-biru terhadap kaum menengah ke bawah itu muncul karena kita menggunakan tolok ukur kebahagiaan yang berbeda saat menilai mereka ya kak," simpul salah seorang mahasiswaku.

Itu sudah.

No comments