Hal-hal yang Hanya Bisa Ditulis oleh Pengarang Perempuan

"Kayak apa sih, rasanya melahirkan?" tanya Yusi Avianto Pareanom kepadaku. Waktu itu kami sedang minum-minum di sebuah restoran di Wahid Hasyim.

Aku berpikir sebentar sambil meneguk bir. "Hmm, mungkin kayak patah tulang. Tapi yang patah 30 tulang sekaligus."

"Tulangku pernah patah parah," Yusi menunjuk lengannya. "Sampai sekarang masih terasa sakit. Apa seperti itu?"

"Seperti itu, tapi dikali seribu. Eh, sejuta deh."

Yusi menatapku. "Melahirkan itu satu dari sekian hal yang enggak akan pernah bisa kutulis. Setidaknya, enggak akan sebaik bila pengarang perempuan yang menuliskannya."

Percakapan ini tiba-tiba melintas di kepalaku setelah menamatkan "To Reach Japan", cerita pendek pertama dalam buku "Dear Life" oleh Alice Munro, peraih Nobel Sastra 2013. "To Reach Japan" ngomongin tentang seorang ibu muda yang ngeseks dengan orang asing dalam perjalanan kereta. Si ibu muda ini meninggalkan anaknya yang sedang tidur siang untuk ena-ena dengan si orang asing. Begitu balik, eh, anaknya hilang.

Membaca adegan ini membuat dadaku berdentam-dentam. Aku seperti bisa merasakan kepanikan si ibu saat mendapati anaknya enggak ada di ranjang. Tempo hari aku makan bareng keluarga di sebuah mal. Saat hendak membayar di kasir, aku bertanya pada Ayah kenapa dia tidak bersama Nina. Ayah memasang tampang bingung dan balik bertanya bukankah Nina bersamaku.

Mendengar itu, duniaku seakan runtuh. Napasku pendek-pendek dan keringat dingin keluar. Aku merasa kepalaku berputar-putar. Aku bahkan harus berpegangan pada railing kaca agar tidak jatuh. Aku melawan dorongan untuk meneriakkan nama Nina sekuat tenaga. Aku bahkan bisa mendengar suara napasku sendiri, ngik ngik ngik kayak orang kena asma.

(Ternyata Nina dibawa jalan oleh adikku alias tantenya. Tapi aku enggak akan pernah lupa bagaimana rasanya ketika--kupikir--anakku hilang. Rasanya lebih dari sekadar kepingin mati. Anehnya, bapaknya--alias suamiku--tidak sebegitu lebay-nya. Dia masih bisa bersikap tenang dan berkata ringan: mungkin Nina pergi dengan tante atau neneknya. Atau kalaupun jalan sendiri, enggak akan bisa jauh-jauh. Atau kalaupun jauh-jauh, pasti ditemukan Satpam. Sementara otakku sudah berkeliaran ke adegan penculikan anak, bayi terjepit eskalator, jatuh dari tangga, dst, dst.)

Terkait percakapan dengan Mas Yusi, aku jadi berpikir, mungkin memang ada hal-hal yang hanya bisa ditulis oleh pengarang perempuan, misalnya bagaimana rasa sakitnya melahirkan, penuh perjuangannya menyusui, atau perasaan sayang yang hampir-hampir enggak masuk akal dari seorang ibu untuk anaknya.

Menulis tentang ukuran paha yang berlipat ganda *sigh*

Dan ini, menurutku, hebatnya Munro. Dia bisa berkisah tentang kehidupan perempuan yang "biasa-biasa saja". Para perempuan dalam cerita Munro bukanlah mereka yang memperjuangkan ekspresi identitas seksual, atau menyerukan perlawanan terhadap monogami dan pernikahan. Perempuan-perempuan Munro hidup "di dalam sistem"--toh mereka tetap punya konfliknya sendiri.

Membaca Munro membuatku sadar, hidup perempuan itu tidak harus nyeleneh dulu, baru menarik untuk diceritakan. Hidup perempuan yang sepintas terlihat normal pun memiliki beraneka celah dan beragam masalah untuk dikulik. Dan ini adalah antitesis terhadap anggapan "perempuan pemberontak sebagai premis cerita yang menarik".

Tentu saja, aku juga tidak suka cerita yang menampilkan perempuan sebagai makhluk berpayudara yang sekadar enak dipandang.  Tapi, tidak perlu lantas terjebak membuat dikotomi "perempuan tidak berdaya vs perempuan jalang". Buku puisi "Ibu Mendulang Anak Berlari" karya Cyntha Hariadi adalah salah satu contoh yang baik. Buku ini mendapat pujian dari dewan juri sayembara puisi DKJ karena ".. berhasil memotret kekompleksan sebuah pengalaman menjadi ibu dengan menyulap detail-detail banal kehidupan domestik menjadi sesuatu yang menakjubkan dan hampir sureal."

Kuharap semakin banyak pengarang perempuan yang berani menuliskan tema-tema seperti ini di cerita atau puisinya (dan ini harapan bagi diriku sendiri juga!). Kita butuh keluasan tema. Supaya adil, kurasa ada juga hal-hal yang hanya bisa ditulis oleh pengarang laki-laki. Misalnya, seperti apa rasanya ejakulasi dan/atau pipis sambil berdiri. :)))

2 comments