Hujan


Photo by Wenniel Lun on Unsplash


Suatu sore di Semanggi, hujan deras turun tanpa pertanda, tanpa aba-aba, seperti cinta.

Aku keluar karena ingin melihat derainya. Seorang kolega dosen berkata, aku aneh. Buat apa melihat air turun dari langit? Aku hanya bisa nyengir. Kupikir inilah tak enaknya menjadi orang dewasa. Segala perilaku kita harus rasional, mangkus dan sangkil. Waktu adalah uang karena itu tidak boleh dibuang-buang--apalagi cuma buat ngelihatin hujan.

Ketika kanak-kanak, kita bebas memandangi hujan bahkan berbasah-basah dengan bahagia. Aku dulu senang hujan-hujanan karena kuanggap diriku sedang dimandikan alam semesta. Ketika besar, orang akan menganggap aneh kalau kita melakukan hal serupa. Kita bisa dikira gila. Mungkin ada masalah di rumah atau di kantor, begitu kata mereka, seolah-olah urusan orang dewasa hanyalah rumah tangga dan bekerja.

Padahal, aku memandangi hujan karena aku menyukainya, meskipun kekasihku pernah berkata, "Hujan hanya menyenangkan selama kamu enggak kehujanan." Pragmatis.

Di belakang ruang dosen, ada pintu menuju tangga darurat. Aku berdiri di situ, dengan kedua tangan di saku, memperhatikan bagaimana derai hujan bergelombang karena ditiup oleh angin kencang, membuat tetes-tetes air itu seperti ombak.
Titik-titik air menampar wajahku. Daun-daun dan batang pohon basah berkilat. Orang-orang berjalan dengan payung terkembang; dari atas mereka kelihatan seperti cendawan-cendawan besar. 

Lalu aku teringat salah satu puisi Sapardi, Maka pada suatu pagi hari ia ingin sekali menangis sambil berjalan tunduk sepanjang lorong itu. Ia ingin pagi itu hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi agar ia bisa berjalan sendiri saja sambil menangis dan tak ada orang bertanya kenapa.."

Mengapa banyak puisi dan cerita sedih yang terinspirasi oleh hujan? Mungkin karena saat hujan turun, kita bersimpati pada langit yang tampak berduka. Atau barangkali, derai hujan itu mirip tangis dan titik-titiknya serupa air mata. Atau memang hujan selalu membuat kita terkenang pada kisah-kisah yang tak berakhir bahagia.

8 comments

  1. ya orang dewasa selalu tergesa-gesa, banyak melewati hal-hal indah yang sepele. Nice.

    ReplyDelete
  2. @Tian: Alangkah indahnya kalau bisa menjadi dewasa tanpa kehilangan kekaguman pada hal-hal kecil. Thanks sudah mampir :)

    ReplyDelete
  3. mampir ka ke tianpanji.blogspot.com, terimakasih.

    ReplyDelete
  4. @Tian: Baru saja berkunjung. Terus menulis ya!

    ReplyDelete
  5. Teguh Budiono03 July, 2015 09:03

    Mungkin memang ada energi romantis dalam titik-titik hujan,... energi untuk membuka ulang laci kenangan... dan setiap kenangan terasa indah meskipun mungkin sebenarnya menyakitkan pada saat peristiwanya sendiri berlangsung.

    Nice...
    Selalu menyenangkan menjadi anak kecil, dan menyenangkan juga bagi seorang bapak untuk mebiarkan anaknya menikmati masa kecilnya dengan menyenangkan...

    [Suka banget tulisan mbak Andina, meski (maaf), awalnya saya search di google utk cari nama sahabat saya, Andina yang lain... Belum baca Semusim, tapi insyaallah akan baca setelah lebaran..]

    ReplyDelete
  6. @Teguh: Kalau kata band kesukaan saya Tahiti 80, "Why anything bad or good seems better, once it has passed?" Salam kenal ya Mas, semoga senang membaca tulisan-tulisan saya :)

    ReplyDelete
  7. Teguh Budiono08 July, 2015 10:49

    Demikianlah... Mbak Andina di usia 30-an, ya...? Akan ada masanya, ketika menginjak 40-an, makin asyik rasanya membongkar ulang laci kenangan, di usia2 anak SMA-lah kira-kira... Menjadi seru (setidaknya dari kesimpulan yg saya tarik dari ngobrol 'ngalor ngidul' dengan teman-teman SMA..) untuk bernostalgia, meski tentu perlu akal sehat untuk membiarkan masa lalu menempati posisinya sendiri, tidak bijak kalau harus membawanya ke masa kini.. Hujan... membantu dengan baik hadirnya masa-masa iyu..

    Salam kenal juga.. Saya yakin akan suka membaca tulisan-tulisan mbak Andina..

    ReplyDelete