Selo

Pagi tadi saat berjalan di trotoar Wahid Hasyim, aku melintasi seorang bapak bule yang sedang asyik nongkrong di pinggir jalan. Dia duduk di atas bangku plastik--sudah reyot sehingga harus ditumpuk--milik pedagang rokok kaki lima. Bangku itu aslinya berwarna hijau tapi pudar dimakan usia, kontras dengan penampilan Si Bapak Bule yang cukup necis dengan kemeja kotak-kotak kuning lembut dan celana coklat muda.

Bapak Bule duduk membelakangi jalanan. Ia asyik membaca koran The Jakarta Post. Di antara telunjuk dan jari tengah tangan kanannya terselip sebatang rokok. Segelas kopi hitam di dalam wadah plastik bekas Aqua diletakkan di dekat kaki, sedikit tersembunyi agar tak tertendang. Sekali waktu, ia meraih gelas plastik itu dan menghirup isinya dengan berisik. Pedagang rokok tak mempedulikan--ia sedang sibuk main catur-tiga-langkah dengan seorang kawan.

Seperti orang-orang lain di Jakarta hari itu, aku melangkah lekas-lekas di trotoar. Ini hari Senin. Semua orang takut terlambat sampai di kantor. Takut kena surat peringatan. Takut hasil evaluasi karyawan tak memuaskan. Takut kehujanan. Takut ini dan takut itu. Bapak Bule yang baca koran sambil ngopi santai bagaikan Tuan Demang dan pedagang rokok kaki lima yang pagi-pagi sudah berkutat dengan strategi percaturan, seperti sebuah ornamen janggal dalam hidup kami yang selalu terburu-buru dan membosankan.

Langit masih gelap. Jalanan basah oleh sisa hujan yang turun sejak pagi.

Aku ingat salah satu dialog tokoh Yusuf (Nicholas Saputra) di film 3 Hari Untuk Selamanya:

"Pas lo umur 29, posisi Bumi sama planet Saturnus itu balik lagi ke posisi yang sama waktu lo lahir. Nah, planet Saturnus itu, planet yang mempengaruhi alam bawah sadar lo. Naluri alamiah lo keluar semua. Meledak. Itu tuh kayak, kaki lo diangkat, kepala lo di bawah, terus lo dikocok-kocok sampai isi perut lo keluar semua. Terus lo liatin tuh, isi perut lo. Terus lo balikin lagi."

Entah dari mana Yusuf mendapat teori-umur-29 itu. Tapi dengan hati yang rawan, harus kuakui teori itu bisa jadi benar. Meski masih ada 8 bulan sampai aku benar-benar berumur 29 tahun, tanda-tanda meledak sudah bisa kurasakan sejak sekarang.

Siapa sih, yang dulu bikin peraturan kalau jadi orang tuh harus punya pencapaian? Siapa sih, yang bilang kita harus jadi seseorang? Kalau dengan baca koran di pinggir jalan atau main catur-tiga-langkah seharian saja kita sudah bahagia, mau bilang apa? Apa iya harus jadi profesor, begawan sastra, menteri, staf ahli, atau pakar terkenal, baru hidup kita ada artinya?

Hidup memang selalu sebuah tanda tanya besar. Bedanya, sekarang aku mulai berpikir bahwa mungkin tanda tanya itu tak akan pernah bisa, dan memang tak perlu, dijawab.

Kita cenderung gelisah dan merasa tak berarti karena televisi dan orang-orang suci (atau, gabungan keduanya: orang-orang suci yang tampil di televisi) sering memberi  kita ilusi. Biasanya mereka menyederhanakan masalah dengan  mengutip kalimat motivasi. Favorit semua orang: "When life gives you lemons, make lemonade." Kira-kira sepadan dengan: "Nasi telah menjadi bubur, tapi masih bisa dibikin bubur ayam."

Apa iya, hal-hal menyebalkan dalam hidup ini bisa diperbaiki semudah bikin lemonade atau bubur ayam?

Mampus lw, hhe..

Hidup bukan seperti ngetik di Microsoft Word yang bisa di-Undo. Setiap keputusan harus kita tanggung konsekuensinya entah sampai di mana sampai kapan. Dan, percayalah, masyarakat akan selalu punya sesuatu untuk dituntut dari kamu. Selamanya kamu akan kelimpungan memikirkan target-target sosial yang tak akan pernah selesai.

Dan pada akhir hari, kamu akan merasa ditinggalkan dengan kekosongan. Segala pencapaian yang kamu kejar sampai terkencing-kencing dan terkentut-kentut itu, ternyata tak penting-penting amat. Kamu akan mati dan dikubur, sama seperti orang-orang yang sejak awal tahu hidup selo lebih berarti, seperti Bapak Bule dan pedagang rokok kaki lima yang kuceritakan tadi.

6 comments

  1. Aku mau kasih soundtrack untuk tulisan ini, kali ini dari Monty Phyton - Always Look on the Bright Side of Life https://www.youtube.com/watch?v=jHPOzQzk9Qo.

    The best partnya adalah, "Life's a piece of shit when you look at it."

    Eh btw, aku juga sering kalau melakukan kesalahan langsung berpikir coba kalau bisa di CTRL+Z alias di-undo. Atau kalau kesulitan mencari sesuatu langsung yang kepikiran coba kalau bisa di-miskol. Ini keracunan teknologi.

    Just my one cent, hidup memang bisa lebih selo kalau kita tidak merasa harus meng-impress siapa pun baik keluarga, sodara atau siapa pun dengan pencapaian kita. Tapi dalam zaman edan produce-consume tingkat dewa ini keterasingan itu bisa muncul dimana-mana. Selo aja.

    Anon1

    ReplyDelete
  2. @Anon1: Aku suka video klipnya hahaha.. dan versi orkestranya keren. My favorite piece, You know, you come from nothing
    - you're going back to nothing. What have you lost?

    Jangan-jangan, keterasingan itu inheren dalam peradaban kita.

    ReplyDelete
  3. Sebenarnya aku juga setuju itu bagian terbaiknya. Tapi itu menunjukkan betapa tragiknya hidup itu. Seperti grafik gelombang, hidup berawal dari nothing 0, lalu hidup 1, dan kembali ke nothing 0. Hanya satu fluks gelombang. Yang kita tahu hanya hidup itu, apa sebelumnya dan sesudahnya hanya teori, teks book, iman, keyakinan blablabla. Dan itu membuat gundah, sebenarnya apa arti sesungguhnya? Seperti semua aspek kehidupan yang berjalan dalam perulangan, siang-malam, hari ganti hari, minggu, bulan, musim ganti musim, dan tahun silih berulang, apakah hidup kita itu hanya satu fluks dan tidak berulang?
    Mungkin saja Oma Jaya benar tentang suaminya dan Sobron.

    Ketika hati damai tenang sudahlah simpulkan saja hanya cinta artinya dan yang berarti. Tapi Eric Liddel dengan sarkastik menyimpulkan tragiknya hidup itu just a piece of shit.

    Setuju juga kalau kamu bilang keterasingan itu menjadi inheren dalam peradaban kita sebagai manusia. Krn keterasingan itu adalah side effect dari pencapaian manusia itu sendiri, melalui ilmu pengetahuannya. Manusia itu menjadi korban dari penemuannya sendiri.

    Dimana ya aku dapat referensi, pengen membaca buku One Dimensioanl Man-nya Herbert Marcuse. Punya gak buku itu? Ada gak terjemahan bahasa lokalnya, aku pandai baca Inggris tapi gak pandai mengartikannya. Hahaha.. jadi kemana-mana.

    Anon1

    ReplyDelete
  4. @Anon1: Aku pernah baca di salah satu buku Milan Kundera (lupa yang mana), kita memang akan selalu "kalah" dalam hidup ini karena setiap detik yang kita alami adalah baru. Mustahil kita bisa "belajar dari pengalaman", soalnya setiap pengalaman itu enggak ada yang sama. Karena itu, segala hal dalam hidup ini akan selalu jadi "pengalaman pertama".

    Btw ini link unduh buku One-Dimensional Man: https://www.marxists.org/reference/archive/marcuse/works/one-dimensional-man/one-dimensional-man.pdf

    ReplyDelete