Menulismu



Photo by 
Joanna Kosinska on Unsplash


Kau adalah karakter dalam sebuah novel. Empat orang penulis berkumpul untuk menuliskan ceritamu. Mereka duduk di meja bundar dengan minuman dan makanan ringan, serta pensil dan kertas di tangan, di sebuah kafe di ujung jalan sebuah kota yang konon romantis. Dan album Kind of Blue dari Miles Davis mengalun dari seberang ruangan.

"Aku akan menuliskan bab pertamanya," kata seseorang yang paling tampan di antara mereka. Wajahnya lebar, rambut berombak dan kulitnya cokelat. Ia membawa-bawa selaras senapan, seperti pemburu hewan liar. "Aku akan buat dia jadi seorang pemuda yang kuat, tegap, suka petualangan, dan wanita-wanita cantik. Ah, ya, kujadikan saja dia seorang bull-fighter!"

Penulis kedua, satu-satunya perempuan, langsung mengangkat tangan tanda protes. "Ah, Ernest, kenapa sih tokoh lelaki dalam ceritamu selalu tipikal? Lagipula, kenapa pula dia harus laki-laki? Kenapa tidak perempuan?"

Ernest tersenyum, lalu mengulurkan tangannya, menepuk-nepuk punggung tangan penulis perempuan. "Sylvia, jangan tersinggung, kalau kau yang menuliskan karakter ini, ia hanya akan jadi perempuan yang mati bunuh diri atau masuk rumah sakit jiwa. Dia akan mengalami kesulitan membedakan fantasi dengan kenyataan, tidak bisa bergaul dengan lingkungan, paranoid, dan selalu butuh obat penenang. Apapun yang terjadi dengan kehidupannya, tokohmu pasti merasa tidak bahagia. Tidak menarik, ah."

"Lihat siapa yang bicara," Sylvia menjulurkan lidah. "Jangan kaukira aku tidak tahu senapan itu untuk apa. Sakit tidak, kepalamu waktu tertembus peluru itu?"

"Sakit tidak, menghirup karbon monoksida sambil kepalamu ada di oven?"

Penulis ketiga, lelaki yang matanya paling sipit dan kulitnya paling pucat di antara mereka semua, berusaha meredakan suasana. "Hei, hei, sudahlah, jangan bertengkar. Kurasa aku yang paling pantas menuliskan bab pertamanya. Aku bisa menuliskan karakter sebagai manusia, terlepas dia perempuan atau laki-laki."

"Haruki, jadi menurutmu aku tidak bisa?"

"Jangan tersinggung, Ernest, tapi Sylvia ada benarnya. Karakter perempuan dalam ceritamu selalu standar. Lebih tepatnya, mereka tak punya karakter. Mereka selalu cantik tapi bodoh dan membingungkan. Lihat saja Lady Brett Ashley di The Sun Also Rises. Kau buat mereka diinginkan karena cantik, tapi tidak bisa berpikir. Brett mencintai Jake, tapi selalu kabur dengan lelaki lain nyaris tanpa berpikir, seperti Romero yang usianya belum lagi dua puluh. Itu penghinaan terhadap intelektualitas perempuan, Ernest. Kau memberi kesan perempuan tak bisa menggunakan logika, hanya menuruti perasaan."

"Tapi Jake tetap mencintainya. Bukankah itu berarti ia lebih bodoh dari Brett?"

"Kalau begitu, kau menulis untuk menertawakan manusia."

"Aku menulis untuk menertawakan diriku sendiri."

Suasana senyap sebentar. Sylvia melupakan permusuhannya dengan Ernest. Dia menepuk-nepuk bahu lelaki itu. Bagaimanapun ada solidaritas sesama pembunuh-diri di antara mereka.

Haruki memasang kacamatanya, bersiap mencoret-coret kertas. "Jadi, kubikin tokoh kita perempuan. Berusia 27 tahun, lajang, memiliki obsesi terhadap kucing.."

"Stop! Kenapa kucing, sih?" Penulis keempat protes. Ia memakai topi pet dan tampangnya baik seperti kakak pembina pramuka.

"Kenapa tidak, Putu?"

"Kau selalu terobsesi pada kucing. Nanti pasti tahu-tahu si kucing bisa bicara."

Haruki malu-malu. "Kok, tahu?"

"Ya, tahu saja. Kucing itu nanti pasti bisa bicara, terus hilang, terus separuh buku dihabiskan untuk menceritakan si tokoh utama mencari-cari kucing itu. Terus nanti di tengah jalan ketemu Kolonel Sanders beneran, atau anak muda namanya Kafka, terus mereka bercinta diiringi musik jazz, kalau perlu bertiga. Dan semua orang dalam ceritamu membaca novel sastra klasik, mendengarkan jazz, dan tahu Bach. Keterlaluan. Masak nggak ada tokoh yang ndeso dan tak berpendidikan di ceritamu?"

Telak sekali. Ernest dan Sylvia tertawa-tawa. Haruki cemberut saja. "Ya sudah, kalau kau merasa paling pintar, kau saja yang menulis bab pertamanya."

Putu meraih kertas dan pena Haruki. "Tokohnya perempuan, deh, mengikuti plotmu. Umurnya 27 tahun. Suatu kali, ia bangun pagi dan menyadari kepalanya hilang. Dia lalu pergi ke mana-mana mencari kepala itu. Naik pesawat terbang, naik kereta, naik kapal, naik bus. Dia bertanya pada semua orang, tapi tidak ada yang melihat kepalanya.."

"Stop, stop! Kan, dia tidak punya kepala, bagaimana cara dia ngomong?" Ernest memotong.

"Lho, ini sastra, Nest! Sastra! Masak sastra harus logis?"

"Setidaknya logis dalam semestanya sendiri," Haruki menimpali.

"Alah, kau ngomong kayak ceritamu logis saja. Mana ada Orang Kecil yang keluar dari kepompong?"

Sylvia mendesah keras. "Kayaknya aku perlu kopi, deh."

"Pokoknya kepalanya hilang," Putu berkeras. "Lalu dia ketemu seorang lelaki yang akan jadi pacarnya. Mereka keliling dunia cari kepala sialan itu. Terus.."

"Terus ternyata lelaki itu tidak pernah ada. Sebenarnya cuma bayangan tokoh kita saja, kan? Lalu di bab berikutnya kau pasti mau menuliskan, tokoh kita memanjat tiang untuk mencari kepalanya, dan orang-orang berteriak-teriak dari bawah, mencegah supaya tokoh kita itu tidak lompat. Padahal dia tidak mau lompat, dia hanya mau mencari kepalanya yang hilang. Di bab berikutnya, tokoh itu terbangun dan semua itu sebenarnya cuma mimpi. Huuu.." Haruki mengambil kesempatan untuk menyikat Putu, yang kini tertawa-tawa malu.

Aku lalu mencolek bahumu. Kasihan sekali kau, nasibmu ditentukan oleh segerombolan penulis yang kelihatannya saja kreatif, tapi sesungguhnya hanya mengulang-ulang kisah dan karakter tipikal dalam cerita-cerita mereka.. Tapi kau lalu bertanya, apa menurutku Tuhan juga seperti itu? Mengulang-ulang plot hidup manusia? Itukah alasannya manusia sering merasa hidup mereka begitu-begitu saja? Aku tidak berani menjawab. Dan keempat pengarang itu masih saja berdebat.

3 comments

  1. Duh, kukira bagian Haruki sudah habis-habisan diejek, bagian Putu lebih lagi, hehe.

    ReplyDelete
  2. Wendy: Duh, jangan marah yaa, aku mencintai mereka semua. Ini cuma iseng-iseng aja kok :))

    ReplyDelete
  3. Menyimak dulu. Baru mengikuti jejak-jejaknya Mbak Andina.
    Tapi pada akhirnya mungkin seperti bermain dengan pintu putar 4 bilah...

    Menghadap sisi yang berbeda tapi tujuannya selalu sama: Masuk, atau Keluar.

    ReplyDelete