Di Balik Layar "Perempuan Berpayung Hitam"




Pada 20 Februari lalu, saya dan beberapa kawan meluncurkan PanaJournal, sebuah blog berisi kisah-kisah nyata yang dituturkan seasyik cerita. Untuk edisi perdana, saya kebagian menulis tentang penembakan BR Norma Irawan, mahasiswa Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta, pada 13 November 1998. Narasumber utama artikel tersebut adalah ibu Wawan, Maria Sumarsih.

Seumur-umur menulis feature, baru kali ini saya merasa sangat emosional. Mendengarkan Ibu Sumarsih bercerita tentang kenangannya akan Wawan membuat dada saya sesak. Bukan hanya karena persoalan politik masih melingkupi kasus itu dan membuatnya tak terselesaikan, tapi juga karena saya jadi paham bagaimana wajah manusia berhadapan dengan penderitaan.

Tiga jam saya dan Aulia Latif ngobrol di rumah Ibu Sumarsih, sampai dimasakkan makan siang yang sedap. Beliau sendiri tidak ikut makan, karena sejak Wawan meninggal beliau berhenti makan nasi dan lebih sering minum air putih hangat. Bu Marsih juga lebih sering berpuasa. Mungkin karena itu, badannya justru makin kuat untuk terus memperjuangkan keadilan untuk anaknya.

"Saya selalu mengatakan, diri saya tergelincir ke tengah kekejaman kekerasan politik," itulah kalimat Bu Marsih yang paling membekas selama wawancara, yang kemudian saya jadikan pembuka artikel. Silakan baca feature tersebut selengkapnya di sini.


3 comments