Karena suasini adalah segalanya

Seperti bercinta, dalam menulis suasana adalah segalanya. (Atau, dalam istilah Asmuni: suasini. Soalnya, kalau suasana itu di sana, sedangkan suasini itu di sini. Srimulatism.)

Tipe penulis seperti apakah kamu? Ada beberapa pengarang yang bisa bekerja dalam suasini apapun. Ray Bradbury bahkan bisa menulis di ruang tamu dalam keadaan super berisik, diiringi celoteh anggota keluarga dan dengung pengisap debu (selengkapnya baca di sini). Ada juga pengarang yang baru bisa bekerja dengan baik dalam suasini sepi. Ada yang bisa sambil mendengarkan musik. Ada yang harus sambil berdiri, mesin ketik digantung sejajar dengan dada (beneran lho, ini Ernest Hemingway).

Saya tipe pengarang yang bekerja maksimal ketika suasini mendukung. Dan ketika saya bilang "suasini", itu mencakup semua: meja kerja, kursi, musik, pencahayaan, minuman, buku dst. Agak-agak demanding memang. Saya maunya kalau nulis itu meja kerjanya rapih, tanpa debu setitik pun. Kursi ada sandarannya. Musik sesuai mood cerita (kisah cinta? Miles Davis Plays Love Songs. kisah petualangan? OST James Bond. kisah sedih? Adrian Adioetomo - Karat & Arang. dst). Pencahayaan harus pas; enggak terlalu gelap atau terlalu terang. Ada segelas kopi (atau minuman hangat lain) menemani. Lebih disukai bila ada buku-buku yang ditata rapi. Dan enggak boleh ada orang di sekitar, apalagi di belakang punggung, membaca kata demi kata yang lagi saya ketik. It's a big NO-NO!



Oh, ideal sekali. Gambar dari sini.

Saya bisa nulis sangat nyaman kalau semua syarat-syarat itu terpenuhi. Semakin rapi meja, semakin enak kopi, dan semakin cucok musik, saya (merasa) makin produktif. Kata-kata meluncur dari kepala seperti orang berak (perumpamaan yang bau, saya tahu). Tapi tahu enggak, selama menyelesaikan novel pertama saya "Semusim, dan Semusim Lagi", saya sangat jarang berada dalam kondisi ideal itu.

Saya menulis draf pertama novel tersebut di sela-sela pekerjaan sebagai reporter: saat menunggu narasumber, selepas wawancara, di pressroom, dst. Jadi enggak ada itu yang namanya kondisi ideal. Saya (terpaksa) nulis di restoran, di tengah gumaman orang-orang, atau di tengah kaki-kaki yang berlalu-lalang. Biasanya kalau sudah begitu, earphone jadi penyelamat saya. Tinggal colok ke pemutar musik, dan zappp...! Menghilanglah saya dari dunia fana.

Meskipun, harus saya akui, ketika melakukan proses rewriting, sedapat mungkin saya berusaha menciptakan kondisi ideal. Soalnya, seperti beberapa kali saya katakan, rewriting adalah proses paling penting dalam penulisan. Masih ingat kan apa kata Hemingway? Yep. The first draft of anything is shit.

Poin saya, kenalilah jenis pengarang seperti apakah kamu. Kalau kamu bisa menulis dalam keadaan apapun, senonoh maupun tidak (#eh) seperti Mr. Bradbury, bagus. Kalau kamu seperti saya yang selalu butuh suasini, akui saja, jangan malu, dan ciptakan mood sebaik yang kamu bisa. Kamu suka musik? Lengkapilah koleksi lagu dan beli earphone paling keren yang harganya terjangkau buat kamu. Kamu butuh sepi? Nulislah di pagi buta. Atau bikin private space di loteng. Kamu butuh pacar? Ikutan Take Me Out Indonesia. Kamu butuh uang? Sama. Saya juga.

Tapi kalau semua itu enggak mungkin, tetap menulislah dengan keras kepala. Baru-baru ini saya dibuat kesal pada tulisan sependek 800 kata yang berhari-hari tak selesai juga. Pada suatu malam, saya berjanji tidak akan tidur sebelum tulisan ini selesai. Lalu saya menulis di dapur. Di dekat kompor. Musiknya suara cicak dan dengung kulkas. Dinyamukin pula. Tapi saya berhasil menyelesaikannya. Dan benarlah, tak ada yang lebih manis dari memenangkan pertarungan melawan diri sendiri.

Atau mau coba nasihat novelis Peter de Vries? Write drunk, edit sober! :))

No comments