Asep Rochmat dan Saya

Pada 2 April 2024, Guru Besar Etika Universitas Katolik Indonesia Atmajaya, Profesor Aloisius Agus Nugroho, meninggal dunia secara mendadak. Pukul 10-11 pagi saat sedang mengajar, beliau kesulitan bernapas, lalu terjatuh dan mengembuskan napas terakhir sesaat kemudian. Kepergian beliau ini tidak lama setelah meninggalnya Guru Besar Ilmu Komunikasi Profesor Alwi Dahlan, dan juga berdekatan dengan berpulangnya sejumlah figur sastrawan seperti Yudhistira Massardi, Cok Sawitri, dan Joko Pinurbo (Alois juga dikenal sebagai seorang penyair). Tahun yang kelam. Mungkin di surga sana sedang ada festival sastra besar-besaran.

Sepanjang kariernya sebagai pengajar dan sastrawan, Alois tentu sudah menyentuh hidup banyak orang. Termasuk saya--yang lebih mengenal dan mengingatnya sebagai Asep Rochmat. Nama ini adalah alter ego beliau yang kerap digunakan untuk berpuisi. Agus (Jawa: bagus) dalam padanan Sunda adalah Asep (kasep), sementara Nugroho jadi Rochmat. Julukan "Asep Rochmat" ini tenar di kalangan mahasiswa kelas Seminar Filsafat & Etika Komunikasi (SFEK) di program Magister Ilmu Komunikasi UI. Kami angkatan 2012, mengagumi Asep Rochmat yang mengajar dengan suara menggelegar, rambut yang memutih sempurna (dia sering menyebut diri Alfred Whitehead - si kepala putih), tawa yang begitu lebar sehingga menunjukkan semua giginya, serta kecenderungan untuk mencandai orang tanpa tedeng aling-aling. Kalau Asep Rochmat sudah bicara, orang akan mendengarkan, meski belum tentu setuju dengan apa yang dia katakan.


 Alois A. Nugroho dalam kenangan. [HIDUP/Yusti H. Wuarmanuk]

Di kelas kami, Asep Rochmat terkenal dengan kutipan Umberto Eco yang kerap kali disitirnya: stat rosa pristina nomine, nomina nuda tenemus. Mawar ada sebelum namanya, tapi kita berpegang pada namanya saja. Konon kutipan ini dari novel Eco yang The Name of the Rose. Tidak banyak dari kami yang sudah membaca, apalagi menyelesaikan, novel itu. Tidak juga kami paham apa maksud Eco sebenarnya. Tapi, semua sepakat kalimat itu kedengaran keren. Kami sering mengutipnya dalam percakapan penuh bualan di kantin Salemba, tertawa-tawa dan merasa diri si paling filsafat, sambil berlomba menuliskannya menjadi status di BlackBerry Messenger (BBM) masing-masing. Saya lah yang selalu kebagian tugas mengetikkan kalimat itu di gawai teman-teman.

Setelah mengajar kelas SFEK pada semester pertama, Asep Rochmat konsisten mendampingi pembelajaran saya dengan menjadi pembimbing literature review (semacam masa persiapan proposal awal tesis) pada semester tiga, dan akhirnya pembimbing tesis pada semester empat. Selepas studi, saya melamar pekerjaan dosen di Unika Atma Jaya, dan diterima. Demikianlah dari guru-murid, kami resmi menjadi kolega. Kecocokan selama dua tahun di bangku kuliah akhirnya menjelma sebuah persahabatan panjang. Belakangan, Asep Rochmat memberikan rekomendasi untuk saya studi doktoral dengan beasiswa dari Herb Feith Centre di Monash, Australia.

Di kantor, kami saling menghibur satu sama lain. Kapan pun saya merasa sumpek akan pekerjaan dan tugas-tugas perdosenan, saya akan menaiki tangga untuk menuju ke ruang kerjanya di lantai 2 Gedung C. Lalu kami akan mengobrol ngalor-ngidul. Biasanya Asep Rochmat menunjukkan disertasi-disertasi yang akan dia uji, dan meminta pendapat saya. Kadang dia yang muncul di depan kubikel saya di lantai 1, lalu kami melipir ke pantry, makan siang dan minum kopi sambil menyinyiri pemerintah, atau membicarakan pemikiran filsuf Ini dan Anu dan mengkontekskannya dengan situasi terkini.


Sejumlah buku esai Alois A. Nugroho. Dari berbagai sumber.

Asep Rochmat menamatkan S1 di Sekolah Filsafat Driyarkara (1982), lanjut master di Katholieke Universiteit Leuven Belgia (1989) dan meraih gelar Doktor Filsafat dari kampus yang sama dua tahun kemudian. Gaya Asep Rochmat saat berdiskusi sama dengan gayanya saat mengajar: alih-alih menjawab pertanyaan, dia mendorong kita untuk mempertanyakan jawaban. Baginya, di dunia ini tidak ada sesuatu yang final. Segalanya perlu diberi tanda kurung dan dipertanyakan, dan justru dengan cara itulah kita belajar. Kadang pertanyaan Asep Rochmat sesederhana "menurutmu, apa itu hidup?" atau "apa itu jatuh cinta?" atau "apa itu negara?" dan "apa itu rakyat?". Berdiskusi seperti itu tanpa disadari menjadi latihan bagi saya untuk membangun argumen.

Kadang-kadang, dari hasil diskusi itu saya menulis sesuatu. Misalnya dengan bertanya "apa itu ilmu komunikasi?" Asep Rochmat mencoba menantang perspektif saya sebagai sarjana bidang komunikasi yang telanjur dicekoki prinsip Laswellian, "who says what to whom in what channel with what effect". Dengan sabar, ia memandu saya mempertanyakan pemahaman itu dan meluncur-luncur ke pemikiran tokoh macam Gary Radford ("On The Philosophy of Communication"), Thomas Kuhn ("The Structure of Scientific Revolutions"), atau Christopher Simpson ("Science of Coercion: Communication Research and Psychological Warfare"). Diskusi ini kemudian saya rangkum dalan tulisan berjudul "Ilmu Komunikasi Sebagai Rezim Transmisi" dan diterbitkan dalam buku Pergulatan Etika Indonesia (2019).  

Hal lain yang selalu saya ingat dari Asep Rochmat adalah pesannya bahwa untuk menjadi akademisi, kita harus punya dua hal, yaitu paradigma yang jelas dan keberpihakan yang tegas. Pijakannya sendiri cukup terang, yaitu kepada rakyat. Kalau kami sedang membicarakan politik dan pemerintahan, Asep Rochmat selalu berkata kebijakan yang etis adalah kebijakan yang melindungi dan berpihak pada mereka yang kesulitan. Pemikiran ini menjadi benang merah buku "Rakyatisme" (2017) di mana ia mendefinisikan rakyatisme sebagai, ".. spirit yang menjadikan rakyat sebagai kiblat utama, tempat berziarah, sumber makna, dan inspirasi." Konon, pada kelas terakhir yang diajarnya sebelum meninggal, Asep Rochmat masih mengkritik keras pemerintah. Tentu saja saya bangga.

Kadang, ketika apa yang tertulis di kolom dan artikel tak mampu menampung seluruh kegelisahannya, Asep Rochmat memindahkannya ke dalam syair. Seperti misalnya puisi yang ini,


Banjir Kanal Timur

dari mana berasal balada yang terdengar diiring dentingan gitar?

adakah dari tikungan yang jauh di mana sopir-sopir angkot bermalam dan berteduh,

terbawa angin yang berat dan angkuh, dan hidup yang harus terus-menerus mengalir

biarpun telanjur hitam dan keruh

(Dari kumpulan puisi, Kuharap Engkau Menemukan Bulan, 2020)


Karya puisi Asep Rochmat. Dari berbagai sumber.


Barangkali karena jalan hidup yang kami pilih cukup serupa, yaitu menjadi sastrawan sekaligus akademisi, Asep Rochmat dan saya dapat saling memahami. Ia kadang mengirimkan puisi dan meminta saya mengarsipkannya, sementara saya memberikan potongan cerita pendek atau bakal-novel dan meminta feedback darinya. Satu cerita yang sampai hari ini tidak pernah saya lupakan adalah waktu sidang tesis, saya lupa mematikan alat perekam yang ada di ruangan. Walhasil, saya mendengar seluruh diskusi penguji, termasuk Asep Rochmat sendiri. Ketika seorang penguji menyampaikan keheranan karena gaya bahasa saya terkesan tidak akademis tapi enak dibaca, Asep Rochmat berkata dengan nada bangga yang begitu kentara, "Oh, jelas. Andina ini seorang novelis. Kalau nanti dia memilih jadi akademisi, dia akan jadi orang hebat."

Sekarang sepuluh tahun sudah berlalu sejak peristiwa itu. Saya belum jadi orang hebat, tetapi yang jelas sudah tahu rasanya kehilangan seorang sahabat. Saat catatan ini ditulis, saya sedang berlatih untuk berteman dengan rasa kehilangan. Saya bayangkan rasa kehilangan sebagai bola lembut berwarna keunguan, keluar dari dalam jantung, bisa dilihat dan ditimang-timang. Saya tidak membencinya. Malah, saya bersyukur bisa merasakan rindu yang menyesakkan karena ditinggalkan. Bukankah kata Soe Hok Gie, "yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan adalah dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan"?

*

Salah satu puisi terakhir yang dikirimkan Asep Rochmat kepada saya adalah saduran Chairil Anwar atas sajak penyair Inggris, John Conford, berjudul "Huesca",

"Kenanglah segala yang baik dan cintaku yang kekal." ***


No comments