Anugrah Adiwarta

Sodara-sodara, jadi ceritanya saya memenangkan penghargaan Anugerah Adiwarta 2011! :D


Terlihat seperti sambil nahan pipis.


Saya enggak menang di kategori incaran pribadi alias Jurnalis Muda Berbakat, melainkan untuk Kategori Cetak/Online Liputan Kemanusiaan Bidang Ekonomi Bisnis lewat artikel saya tentang Walikota Solo, Joko Widodo.

FYI, kategori Jurnalis Muda Berbakat adalah kategori pertama yang dibacakan, dan saya sempat lemes pas tahu enggak menang. Kenapa saya ngincer sekali kategori itu? Karena saya merasa hanya bisa mengandalkan kemudaan, soalnya jurnalis lain pasti udah pada senior. Tapi enggak apa-apa juga menang di kategori ini. Hadiahnya lebih gede, sih. Hehe.

Malam Penghargaan Anugerah Adiwarta (tahun ini dan selanjutnya enggak lagi pakai kata Sampoerna) 2011 dihelat Kamis, 8 Desember 2011 di Financial Room-nya Graha Niaga. Saya datang bertiga layaknya Trio Bajaj bareng Patrick Hutapea dan Noven Hendranto.

Setelah berganti baju kilat di wese setempat, kami langsung menuju tekape. Tanda tangan sebentar, briefing sebentar, langsung menuju... ruang makan untuk bersantap dengan biadab. Entah mengapa malam itu kami bertiga terserang penyakit serupa, yakni lapar akut tak terkira. Beginilah penampakan kami saat mengganyang hidangan:


Terlalu brutal. Maaf.

Beres makan, bersosialisasi sebentar sambil lihat-lihat pameran foto dan artikel para finalis. Jadi ternyata seluruh karya finalis dicetak terus dikasih pigura, dan didekorasi di tembok-tembok gitu. Barangkali karena efek "lapar gahar-kenyang bego", setelah beberapa menit berkeliling saya baru nyadar bahwa mestinya karya saya juga terpampang dong? Nah lho, gimana caranya, kan artikel saya panjang, sampai 8 halaman.


Ternyata judulnya doang.

Nah, melihat gambar tersebut entah mengapa saya jadi merasa agak percaya diri. Sebelumnya, saya sudah yakin enggak bakal menang, habis lawannya dari media yang udah lebih dulu eksis, yakni Jawa Pos dan Antara. Kalau dilihat dari penampakan pun, sepertinya mereka lebih senior dibanding saya. Pengalaman saya sebagai jurnalis baru seuprit. Ibarat pengalaman mereka udah sekuku, saya baru tahinya aja. Secuil.

Belum lagi dari segi artikel. Punya mereka lebih berpihak pada kaum marjinal (soal UKM dan penjaja pulsa), sementara saya malah bercerita soal pejabat. Padahal pers kan harus berpihak pada yang lemah. Kasih suara untuk mereka yang terbungkam. Nah, anggapan kayak gini yang bikin saya sempet enggak pede. Tulisan saya bukan spec kompetisi jurnalisme yang anggun dan penuh militansi.

Saat tiba sesi penganugerahan, masing-masing kategori dibacakan oleh dewan juri yang berbeda. Kategori Cetak/Online Liputan Kemanusiaan dibacakan oleh Ikrar Nusa Bhakti. Bapak Profesor ini sempat tak sengaja melawak dengan memanggil pemenang yang sebenarnya belum waktunya dibacakan. Jadi semacam spoiler gitu. Lumayan deh buat mencairkan hati yang deg-degan.

Well, sebenarnya sih saya berusaha sok cool aja, tapi beneran deh, saat denger Pak Ikrar ngomong, "Pemenang untuk penghargaan Kategori Cetak/Online Liputan Kemanusiaan Bidang Ekonomi Bisnis jatuh kepada..." I FEEL SO DEG-DEGAN LIKE MAU MEJRET. Asli itu setengah menit lagi menuju cepirit.


Tapi masih sempet merekam.

Rasanya gimana? Ya, senang banget, lah!  I feel so grateful and proud. Meskipun pialanya sempet salah dan harus dituker sampai 2x, saya menatapnya dengan rasa senang. Rasanya enak banget, diakui untuk sesuatu yang kita senangi. Sekarang boleh dong saya sedikit bangga sama profesi ini, walaupun sering menuai kontroversi pribadi :)

Selain piala, saya dapat uang tunai dan buku berisi kumpulan naskah pemenang AAS 2006-2010. Baca sekilas, saya kaget karena menemukan beberapa nama yang berulang-ulang menang. Bahkan di biodata finalis tahun ini, tercantum nama seorang jurnalis yang pernah jadi finalis 5x berturut-turut dan menang 3x. Hmm. Tentu saja ini merupakan kebijakan pribadi masing-masing jurnalis, tapi menurut saya kita tidak perlu ikut kompetisi yang sama berkali-kali, untuk jadi finalis maupun menang berkali-kali.

Kenapa? Hey, apa sih yang mau dibuktikan? Satu kali saja sudah cukup, untuk tahu bahwa kita masuk kompetensi standar suatu penghargaan. Kan, tiap penghargaan punya perangkat nilai dan jajaran dewan juri yang berbeda. Juga, masih banyak kan jurnalis seantero Indonesia. Masak sih cuma dirinya sendiri yang hebat dan berbakat? Kasih dong kesempatan buat yang lain. Kecuali kalau memang ngincar hadiahnya ya.. :D

Untuk saya sendiri, ini kali pertama dan terakhir mendaftar Anugerah Adiwarta. Memang sih, ajang kompetisi semacam ini baik untuk melatih diri. Kita bisa terhindar dari ketidakpedean (merasa tulisan belum ada yang layak), kesombongan (merasa sudah jadi jurnalis ter-oke sejagad raya), maupun keapatisan (yang penting deadline keuber, sisanya bodo amat). Meski demikian.. nggak harus ikut berkali-kali juga, kan? Eh tapi itu saya, lho. Yang lain punya pandangan berbeda ya enggak apa-apa.

Hidup jurnalis Endonesa!


nb: Satu hari kemudian, sang piala yang dielu-elukan, mendapatkan tempatnya sendiri. Yakni...



Bersama balsem dan biskuit marie.


Ah, sudahlah.

4 comments

  1. satu hal yang annoying di tulisan ini adalah penasarannya saya dengan foto kalian saat makan dengan biadab tapi ko cuma item doang. Pasti karena koneksi saya lambat sehingga gambarnya terlambat nongol...
    Lalu aku klik berkali2 sampai akhirnya aku menyadari kebodohanku bahawa gambar itu memang hitam saja...
    Entah ini karena keluguanku, atau kepandaianmu mempermainkan lelaki (LHO??!)

    eniwei, selamat!
    i post this when i read this (??!)

    http://ronitoxid.tumblr.com/post/14191917194/sebuah-perasaan-lebih-dari-galau-adalah-ketika

    ReplyDelete
  2. Entah ini karena keluguanku, atau kepandaianmu mempermainkan lelaki >> Ah, enggak. Itu hanya perasaan kamu saja. Aku ini malah selalu dipermainkan lelaki.. *gigit sapu tangan*

    Meluncur ke tumblr kamu, ya. Thanks anyway.

    ReplyDelete