Hey, Pengelana!


Photo by Olivier Miche on Unsplash



Dulu, secara main-main, saya suka menyebut diri sendiri "Lajang Kelana".

Alasannya, ya, karena saya masih lajang, dan dalam hidup ini kita bagaikana pengelana-pengelana yang berjalan tanpa tahu pasti akan tiba di mana--setidaknya begitu menurut saya. Sebutan itu sekarang tak banyak berubah. Keadaan juga tak banyak berubah. Saya masih tetap lajang, dan saya masih berkelana. Bedanya, jika dulu pengelanaan saya anggap sebagai sesuatu yang menyenangkan dan seru, kini satu-dua kecemasan mulai hadir, tanpa bisa diusir.

Mungkin benar bahwa pengelanaan selepas kuliah adalah "pengelanaan yang sebenarnya". Harus saya akui, rimba raya sejati ini memang melelahkan. Seakan-akan seluruh hidupmu ditentukan oleh seberapa banyak uang yang kamu miliki, seberapa tinggi jabatanmu di kantor, seberapa hebat rumah dan kendaraanmu, dan seterusnya. Dan saya juga tidak bisa lagi berlindung di balik cemoohan superior khas mahasiswa, "Cih, itu semua hanya buai kapitalisme!" Yah, mau buai kapitalisme, mau buai komunisme, pada kenyataannya apapun rencana kita, ada kebutuhan akan uang di dalamnya.

Sebagai pengelana muda, saya penuh cita-cita. Sekejap pun saya tak pernah ragu akan jadi apa. Sejak kecil saya sudah tahu apa profesi saya ketika besar nanti. Dan begitu melepas toga, saya melangkah tanpa setitik pun bertanya-tanya.

Tapi ada di mana saya sekarang? Sungguhkah ini yang saya inginkan?

Saya tidak pernah menyangka sesuatu yang dulunya begitu nyata, bisa menjadi kabur tiba-tiba. Buram. Mungkin itulah poin pertama yang hidup ajarkan pada saya: jangan pernah terlalu yakin dan merasa paham. Dulu saya merasa selalu bisa bersandar pada idealisme saya. Sekarang kurang lebih tetap sama, hanya si Pengelana Dewasa mulai menyentil dengan pertanyaan,

"Sejauh apa idealismemu bisa membawamu, dalam keadaan berkecukupan?"

Saya selalu tahu akan jadi penulis. Maka dari itu saya memilih profesi yang berdekatan dengan dunia kepenulisan. Tetapi ketika semua itu membuat saya harus terlalu banyak berkompromi, apakah yang harus saya lakukan? Saya bisa menulis sesuka hati kalau saja perut ini tidak butuh makan, badan ini tidak butuh pakaian, jiwa ini tidak butuh jalan-jalan, dan seterusnya. Tapi kalau saya menulis sekadar untuk bisa makan, beli pakaian, dan jalan-jalan, mungkin saya akan malu pada diri saya sendiri. Setidaknya untuk saat ini, saya tidak tahu apakah itu hal yang tepat untuk dilakukan.

Saya sedang punya banyak rencana. Saya ingin sekolah lagi. Saya ingin mengecap pendidikan yang lebih tinggi. Saya ingin mengajar. Saya ingin menyelesaikan novel pertama saya, dan menerbitkannya. Saya ingin kembali menulis artikel tentang kajian budaya, media, audiens--hal-hal yang saya suka. Saya sudah menemukan lelaki yang tepat untuk diajak berbagi kehidupan, dan saya ingin secepatnya meresmikan hubungan dengannya. Begitu banyak saya ingin, saya ingin, dan saya ingin. Dan semua rencana tersebut sekarang statusnya dalam masa tunggu. Saya benci menunggu. Kamu juga, kan?

Tapi barangkali itulah yang kadang-kadang harus kita lakukan. Seorang pengelana yang paling berani pun pernah merasa ragu, cemas, takut, dan sedih. Ia tidak boleh terlalu keras pada dirinya sendiri. Ada kalanya ia hanya harus berhenti berjalan sejenak, lalu berteduh di bawah pohon untuk berpikir tentang perjalanannya.

Dan melangkah lagi setelahnya.

4 comments

  1. Kayaknya ada yang salah dengan pengaturan komentar blogmu Din. Tiap kali ngisi komentar, mesti diulang dua kali. Sory OOT.

    ReplyDelete
  2. ronitoxid.tumblr.com23 November, 2011 12:41

    ah dalam sangat tulisan ini
    'kalau kita tidak bisa menghindari hujan, kenapa kita tidak ikut menari saja di dalamnya?
    Ketika kita tidak bisa menghindari ketidakpastian masa depan, kenapa kita tidak bersuka ria atas apa yang ada sekarang?'
    hahaha.. analogi yang memaksa

    semoga galau mu cepat berlalu

    ReplyDelete
  3. @Miftah: Serius? Oke, nanti dilihat lagi pengaturannya, ya. Thanks.

    ReplyDelete
  4. @Roni: Komentar kamu juga dalam sangat :) makasih ya

    ReplyDelete