Makna Iklan Dalam Budaya Konsumen


Apakah makna iklan bagi manusia yang hidup dalam zaman di mana setiap orang seolah dilahirkan untuk membeli, seperti saat ini? Bagaimanakah manusia sekarang memandang iklan, sementara ia setiap hari diterpa oleh jutaan iklan?

Dalam arena budaya konsumen, iklan selalu diposisikan sebagai tukang manipulasi kesadaran sosial. Alih-alih menciptakan produk untuk memenuhi kebutuhan, iklan dituduh menciptakan kebutuhan baru. Audiens pun diposisikan sebagai pihak yang berkata ‘ya’ pada apapun yang ditawarkan iklan. Audiens dibentuk oleh iklan.

Fungsi Informatif Iklan
Terhadap hal ini, para pengiklan umumnya mengeluarkan pembelaan bahwa iklan yang baik selalu bertujuan untuk memberikan informasi pada konsumen, dan dengan demikian membantunya untuk lebih cerdas dalam membeli (Ulanoff, 1977, dalam Douglas Kellner, 1990). Atau seperti kata Harms (1989) dalam Kellner, iklan adalah bagian tak terpisahkan dari bisnis, di mana fungsi utamanya adalah menjual produk, jasa, dan ide dengan cara memberikan informasi pada publik mengenai poin-poin baik dari produk dan ketersediaannya.

Dari sudut pandang ini, iklan ditempatkan sebagai peta untuk audiens dalam mengenali kebutuhannya. Melalui iklan, audiens bisa menentukan produk dan jasa apa yang harus ia beli untuk memenuhi kebutuhannya. Audiens bisa lebih cerdas dalam membeli, berkat informasi dari iklan.

Ketika seseorang melihat iklan pemutih badan, ia tidak akan serta merta membeli produk tersebut. Ia akan mempertimbangkan dulu apakah ia benar-benar memiliki kebutuhan untuk menjadi lebih putih. Ketika seseorang melihat iklan kartu kredit, ia pun tidak langsung berkata ‘ya’ pada iklan tersebut. Ia akan berpikir-pikir dulu apakah ia sungguh-sungguh memerlukan kartu kredit. Dalam hal ini, iklan benar-benar menjalankan fungsinya sebagai pemberi informasi bagi masyarakat, selebihnya masyarakat sendiri yang akan menentukan pilihannya.

Dari segi akademis, tidak semua pengamat sepakat bahwa iklan mampu membodohi masyarakat secara total. Nampaknya, ada semacam pergumulan pendapat antara mereka yang menganggap iklan berfungsi layaknya jarum suntik bagi audiens, dan mereka yang berpikir bahwa audiens memiliki kemampuan kreatif untuk membentuk persepsinya sendiri mengenai iklan yang dilihatnya.

Chambers (1987) dan Hebdige (1988) dalam Chris Barker (2000) mengungkapkan bahwa komoditas, dalam hal ini termasuk iklan, memungkinkan bagi audiens untuk mengkonstruksi sendiri identitasnya yang beragam (multiple identities). Chambers dan Hebdige juga menjelaskan tentang konsep bricoleur, yakni posisi audiens sebagai pihak yang “..memilih dan menata unsur-unsur komoditas material dan tanda-tanda bermakna.” (p.301)

Iklan sebagai budaya kontemporer juga mendapatkan pembelaannya melalui Paul Willis (1990) dalam Barker. Willis beranggapan bahwa iklan bukannya “..permukaan tanpa makna atau superfisial melainkan terdiri dari ciptaan kreatif makna oleh semua orang sebagai produsen budaya.” (p.301)

Jadi, audiens ditempatkan sebagai pihak yang mampu memaknai segala bentuk komoditas dan proses komodifikasi, termasuk memaknai iklan. Ketika kita melihat iklan pemutih kulit, kita tahu bahwa kulit putih sedang menjadi komoditas, dan kecantikan sedang mengalami proses komodifikasi. Ketika kita melihat iklan kartu kredit, kita tahu bahwa kita sedang dibujuk untuk membeli sesuatu yang mungkin sebenarnya tidak perlu kita beli.

Tetapi, benarkah selalu seperti itu? Apakah sebenarnya iklan, apakah tujuan kehadirannya, dan apa yang ditawarkannya, serta mengapa ia bisa begitu eksis dalam kehidupan manusia?

Iklan dan Budaya Konsumen
Kellner memberikan sebuah definisi komprehensif tentang iklan. Menurutnya, iklan adalah

“..complex text, the images, words, framing devices, and structures of which attempt to influence individuals into accepting certain values and role models and into adopting certain life-styles.” (p.245)

Kellner menyatakan bahwa iklan adalah sebuah teks yang kompleks, terdiri dari gambar-gambar, kata-kata, dan struktur, yang bertujuan untuk mempengaruhi individu dalam menerima nilai-nilai serta mengadopsi gaya hidup tertentu.

Dalam definisi Kellner, kata-kata ‘menerima nilai’ (accepting values) dan ‘mengadopsi gaya hidup tertentu’ (adopting certain life-styles) perlu memperoleh perhatian lebih, karena itu berarti iklan bukan hanya sekadar memperkenalkan lalu memasarkan produk. Bukan hanya memiliki fungsi informasi dan identifikasi produk, iklan juga memiliki fungsi persuasi. Barangkali ini bukanlah hal baru. Pertanyaannya sekarang, sejauh mana implikasi fungsi persuasi iklan dalam hidup masyarakat?

Dalam sehari, kita diterpa oleh ratusan iklan yang menawarkan ratusan produk yang berbeda. Setiap produk ini menawarkan hal-hal yang bisa membuat hidup kita lebih mudah. Asuransi agar hidup kita terencana, mobil jenis tertentu agar kita bisa bepergian sekeluarga, kredit rumah agar tidak terus menerus mengontrak, mie instan yang praktis, permen pengharum nafas, sampai shampo yang bisa membuat rambut lebih lurus, sabun yang membikin kulit hitam berubah putih, serta parfum tertentu yang aromanya mampu menarik lawan jenis.

Apakah semua ini adalah hal yang kita butuhkan? Apakah terpaan iklan menjadikan kita seorang pembeli yang lebih cerdas? Apakah itu informasi yang diberikan oleh iklan pada konsumen, atau sesuatu yang sebenarnya tidak ada perlunya dalam hidup konsumen tetapi diposisikan demikian, sehingga seolah-olah tampak seperti informasi? Iklan, dengan caranya sendiri, harus bisa meyakinkan masyarakat bahwa produk yang ditawarkannya bisa menjadi solusi. Hanya dengan membeli produk-produk yang ditawarkan oleh iklan, hidup seseorang akan menjadi lebih mudah. Singkatnya, mengkonsumsi produk yang ditawarkan oleh iklan akan mendatangkan kebahagiaan dan kepuasan.

Budaya konsumen adalah suatu tatanan sosial di mana perilaku menjual dan membeli barang dan jasa dipandang bukan lagi hanya sebagai perilaku sehari-hari yang sudah biasa dikerjakan masyarakat, tetapi lebih dari itu, sebagai sebuah pengaturan sosial mengenai tanda dan makna.

Bila merujuk pada definisi di atas, iklan menjadi sangat relevan dengan budaya konsumen. Pengaturan sosial mengenai tanda dan makna dapat dicirikan dengan sangat efektif melalui iklan. Dengan rancangan grafis dan atau audio visual yang menarik, orang akan mengalami proses interpelasi melalui iklan. Misalnya, untuk mendapatkan citra sebagai lelaki maskulin, konsumsilah rokok merek X. Atau, karena kulit putih identik dengan kecantikan, jangan lupa menggunakan sabun merek Y khusus perempuan. Hal ini bahkan juga berlaku untuk anak-anak. Ada sebuah iklan produk makanan yang menghadiahkan tato temporer sebagai bonus, dengan jargon yang seolah mengatakan bahwa ia bukan ‘anak masa kini’ jika tidak mengenakan tato itu, karena semua teman-temannya (dalam visualisasi iklan tersebut), menggunakannya.

Kellner juga menjelaskan tentang “a commodity self”. Menurutnya,

“..’commodity self’ emerged in a which different products allowed individuals to communicate different aspects of ‘their’ personalities that could be shaped by using the right products and producing the right images.” (p.244)

Komoditas, menurut Barker, adalah “..sesuatu yang tersedia untuk dijual di pasar, sementara komodifikasi adalah proses yang diasosiasikan dengan kapitalisme, di mana objek, kualitas, dan tanda berubah menjadi komoditas.

Diri komoditas (a commodity self) di sini berarti manusia membangun identitasnya, ‘kepribadian’-nya, sebagai sesuatu yang bisa dibentuk dengan menggunakan barang yang benar dalam rangka memproduksi citra yang tepat. Manusia tak lagi memiliki otentisitas. Apa yang tersisa dari dirinya hanyalah apa yang ia lihat dari iklan, di mana citra itu dilihat sebagai sesuatu yang ‘tepat’ maka itu perlu diikuti.

Ketika seseorang melihat iklan pemutih kulit, ia tidak sempat lagi berpikir apakah ia benar-benar perlu untuk memutihkan kulitnya. Tidak ada ruang untuk pertimbangan, karena iklan, lewat gambar dan kata-kata, telah membuat konstruksi sosial baru bahwa kulit putih lebih baik dari kulit hitam. Bahkan ada iklan yang storyline-nya menceritakan bahwa setelah memiliki kulit putih seseorang bisa mencapai impiannya. Sebelumnya, ia gagal karena kulitnya masih gelap. Masyarakat kemudian mencapai konsensus bahwa putih itu cantik, lalu bagaimana seseorang bisa mempertanyakan hal ini bila lingkungannya menerimanya begitu saja?

Hal ini juga berlaku untuk iklan-iklan yang menggunakan fear appeal dalam penyajiannya. Masyarakat dibuat takut akan hal-hal tertentu, sementara barang yang ditawarkan iklan diposisikan sebagai solusi yang akan menghapus ketakutan tersebut. Ketakutan itu sendiri bisa jadi bukanlah ketakutan si konsumen, ia mungkin justru tidak pernah memikirkan hal itu sebelumnya. Namun, sesuai dengan definisinya, iklan mampu membuat konsumen menerima nilai-nilai serta mengadopsi gaya hidup tertentu. Dari itu, konsumen akan meng-iya-kan ketakutan itu, kemudian berterima kasih karena merasa tertolong oleh iklan dan solusi yang ditawarkannya lewat produk.

Lalu, apa yang tersisa dari iklan? Masih banyak. Meski setelah perbincangan di atas kita mengetahui bagaimana iklan mampu memanipulasi kesadaran sosial, toh kita semua akan tetap menjadi bagian dari industri, dan karena itu masih selalu akan terpengaruh oleh iklan. Bahkan seorang pengamat sosial sekalipun berpotensi untuk membeli apa-apa yang ditawarkan iklan bukan hanya ketika ia merasa kebutuhannya terpenuhi oleh produk yang ditawarkan iklan, tetapi juga ketika iklan berhasil membuatnya seolah memiliki ‘kebutuhan’ baru yang tadinya tidak ia sadari sama sekali.

Yang bisa dilakukan sekarang hanyalah menghindari manipulasi iklan sebisa mungkin. Amerika periode 1980-an menghabiskan 100 milyar dolar hanya untuk iklan, sebuah angka yang bahkan jauh lebih besar dibandingkan dana yang dihabiskan untuk sekolah. Iklan, kata Kellner, adalah sebuah industri parasit yang hidup dengan menghisap darah masyarakat, menciptakan kebutuhan yang sebenarnya tidak ada, hanya untuk menangguk untung sebanyak-banyaknya atas nama kapitalisme.

Bersikap kritis terhadap iklan selalu penting. Kita harus memastikan bahwa kita membeli produk setelah mempertimbangkan kegunaannya, nilainya, dan kebutuhan aktual kita. Jangan membiarkan diri kita dimanipulasi oleh iklan. Sikap ini hanya bisa lahir ketika kita sudah bisa memandang iklan dan teknik-teknik persuasif manipulatifnya tersebut, dengan lebih kritis dan bijak.

6 comments

  1. Otak manusia itu spt magnet. Semakin sering informasi itu dilihat/ didengar semakin menempel di ingatan. Semakin banyak orang yg mengiakan itu bagus atau benar semakin menjadi kebenaran atau kebagusan publik. Antara tanda dan penanda bisa melebur menjadi tidak jelas mana yang mana.

    Butuh sedikit idealisme utk tidak menjadi korban iklan dan menjadi santapan penjual barang.

    Anon1

    ReplyDelete
  2. keren nih iklan, eh tulisan, hehhe...
    gw pikir juga begitu, kapitalisme yg buat iklan terkesan membodohi masy... krena pasar itu mesti dikuasai, maka cranya mreka harus mnarik perhatian pembeli melalui berbagai cra, salah satunya iklan...
    masy tambah bdoh dgn iklan yg menyesatkan, di sisi lain, selera pembeli juga bisa dimanipulir sbisa mungkin...
    gak jauh2, misal iklan rokok, sejauh2nya iklan rokok yg bracun, pasti menampilkan image sehati di mata masy modern...
    gw pkir, ada bnernya anon1...
    ideal kta harus dibenturkan dgn iklan yg ada, meskipun rasionalisasi dlm iklan gak bsa dibendung dgn idealisme, tapi menurut pemahaman yg pnuh thd diri sendiri dan iklan, melalu berbacai cara salah satunya blog ini, salut buat Andien...

    ReplyDelete
  3. @Anon1: Dan keberanian untuk tidak menerima apa pun begitu saja.

    ReplyDelete
  4. @Anonymous: Pokoknya jangan pernah malas berpikir. Setuju sama kamu. Thanks yaa :)

    ReplyDelete
  5. Wah mantap benar artikelnya,dengan iklan kita bisa tahu dan kenal dengan produk yang belum pernah kita tahu.Okelah apa pun itu yang penting aku kasih jempol untuk postingannya..

    ReplyDelete
  6. @Iklan Joglo: suwun, ya. semoga berkenan. hehehe..

    ReplyDelete