Terteror Televisi


Pemboman hotel JW Marriot dan Ritz Carlton sudah berlalu dalam hitungan hari. Toh efek terornya masih kita rasakan - walau tidak dalam bentuk fisik. Rekaman close-circuit television (CCTV), gambar-gambar potongan kepala dan luka berdarah-darah, dan jerit tangis korban terus ‘meneror’ kita dari menit ke menit.
Televisi memang bisa menjadi sangat vulgar berkaitan dengan pemberitaan bencana. Seolah-olah atas nama investigasi, penayangan gambar sadis (dan berulang-ulang) menjadi sah adanya. Rekaman CCTV pelaku peledakan Ritz Carlton, misalnya, begitu sering ditayangkan sampai rasanya menempel di otak kita.
Saya masih hafal urutannya. Jumat, 17 Juli 2009. Seorang lelaki berbaju warna gelap, bertopi dan membawa dua tas (trolly di tangan kanan, tas lain di bahu kanan). Ia masuk ke dalam lobi, belok ke kanan, lalu masuk ke restoran. Di sini terlihat beberapa pertugas mulai memperhatikan. Tak lama kemudian terjadilah ledakan. Boom!
Belum lagi gambar almarhum Presiden Direktur PT Holcim, Timothy McKay, yang pascaledakan sempat terduduk di pinggir jalan. Adegan McKay dengan kepala berdarah dan pakaian robek-robek diputar ulang lagi dan lagi. Juga gambar beberapa warga asing yang sekujur tubuhnya penuh pecahan kaca.
Ini belum termasuk wawancara dengan Alex Asmasoebrata yang kebetulan melewati tempat kejadian perkara dalam rangka lari pagi. Sekali dua kali mendengarkan penuturannya, kita masih bisa merasa terinformasi. Tapi kok jadi terus-terusan ditayangkan, ya? Alex lagi, Alex lagi.
Saya membayangkan betapa kelimpungannya Alex menerima permintaan wawancara media hari itu. Sampai-sampai ketika menjadi bintang tamu di TVOne di siang hari menjelang sore, ia masih mengenakan baju seragam lari paginya (yang bergambar Presiden SBY). Bayangkan betapa sialnya dia hari itu. Sudah gagal lari pagi dengan tenang, tidak sempat ganti baju seharian pula.
Saya mencatat bahwa saking over-eksposnya, Alex kehilangan sentuhan empati yang seharusnya dia miliki sebagai saksi mata sebuah bencana. Makin lama ia makin terlihat lebih ke bersemangat daripada sedih. Bagaimana perasaan anggota keluarga korban bom ketika menontonnya? Bisa jadi mereka menganggap Alex tertawa di atas penderitaan sesama, dan inilah justru bencana yang sesungguhnya.
Apa arti ini semua? Tayangan bencana yang vulgar dan berulang-ulang malah menghilangkan esensi dari pemberitaan itu sendiri. Sebenarnya yang kita butuhkan adalah informasi. Namun, saking bersemangatnya media, kita malah disuguhi potongan adegan dan gambar yang, karena cuma itu-itu saja, makin lama makin kehilangan makna.
Sesungguhnya kita punya peraturan untuk menertibkan hal ini. Mengutip detiknews.com, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memiliki dua pasal, yaitu pasal 30 yang mengatur bahwa lembaga penyiaran tidak boleh menayangkan adegan kekerasan secara eksplisit, berlebihan dan vulgar. Gambar luka dan korban kekerasan, kecelakaan, tidak boleh disorot dekat. Penggunaan senjata tajam dan senjata api tidak boleh disorot dari dekat.
Masih ada lagi. Gambar kekerasan tingkat berat dan potongan organ tubuh korban dan genangan darah yang diakibatkan tindakan kekerasan, bencana dan kecelakaan harus disamarkan. Durasi dan frekuensi penyorotan korban yang eksplisit harus dibatasi. Kemudian ada pula pasal 31, yang menyatakan lembaga penyiaran tidak boleh memberikan gambaran secara eksplisit dan rinci tentang cara membuat dan mengaktifkan bahan peledak. Komplit, bukan?
Sekarang bayangkan betapa banyaknya yang dilanggar dari pasal ini. Adegan kekerasan pascapeledakan bom Marriot dan Ritz-Carlton berlalu-lalang dengan bebasnya. Malah salah satu televisi menyorot potongan kepala tanpa menyamarkan gambarnya. Bikin mual saja. Jangan lagi bicara tentang durasi dan frekuensi. Alex Asmasoebrata adalah bukti nyata.
Berita baiknya, KPI tidak tinggal diam menyikapi hal ini. KPI sudah menindak dua stasiun televisi yang dinilai menayangkan gambar bencana dengan terlalu sadis dan vulgar. Meskipun identitas stasiun-stasiun televisi yang dimaksud masih dirahasiakan, rasanya tidak butuh indra keenam untuk menebak siapa saja mereka.
Lalu bagaimana? Selanjutnya terserah kita. Media bisa menayangkan apapun yang mereka mau. Kalau nakal toh sudah ada KPI yang siap sedia menjewer mereka. Hal yang lebih penting sekarang adalah melindungi diri sendiri, keluarga dan teman-teman kita dari efek buruk pemberitaan ini.
Seto Mulyadi, atau yang lebih dikenal dengan nama Kak Seto, sudah memberikan peringatan bahwa gambar-gambar teror bom ini besar pengaruhnya bagi anak-anak. “Tanpa disadari tayangan tersebut jadi momok bagi anak dan masuk ke dalam alam bawah sadar mereka,”katanya seperti dikutip detiknews.com.
Menurut Kak Seto, bahayanya dua. Satu, anak-anak jadi takut ke tempat umum seperti mal atau sekolah. Dua, ada kecenderungan meniru. Kita sangat, sangat, layak untuk prihatin terhadap masalah ini. Bola ada di tangan kita. Sebagai khalayak sudah tugas (dan hak) kita terus mengkritisi apa yang berseliweran di layar kaca.

Gambar dari: solocybercity.files.wordpress.com

(dimuat di Suara Merdeka Edisi Minggu, 2 Agustus 2009)

7 comments

  1. begitulah media. Ketika mereka berada di posisi yang sedang baik, contohnya selepas orba, media gencar memberitakan segala sesuatu yang meningkatkan keuntungan dengan menafikkan peran utamanya. Saat ini, ketika RUU Rahasia Negara (Kerahasiaan Negara?) sedang gencar digodok oleh DPR, mereka memohon2 kepada rakyat. lewat pemberitaan yg berat sebelah, agar RUU tersebut ditunda, bahkan dihentikan. Seharusnya media sadar, mereka ada karena demokrasi, dan apa itu demokrasi? Pemerintahan Rakyat!

    ReplyDelete
  2. seperti apa persisnya pemerintahan rakyat itu? dan peran media seperti apa yang ideal?

    ReplyDelete
  3. saya memberikan komentar ini dalam konteks yg anda buat, yakni upaya media yang terlalu berlebihan ketika mereka meliput berita pemboman. dan akhirnya tersinggunglah kata pemerintahan rakyat, dan peran media yang ideal itu dari pemikiran anda. jika begitu, seharusnya pertanyaan ini bukan untuk saya, melainkan untuk mereka yg memahami komentar saya. menyinggung pertanyaan andina, bagaimanapun media merupakan pilar keempat demokrasi, yang memiliki idioma lama yang kta smua tahu, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat singkatnya pemerintahan rakyat. kalo dalam beberapa pemikiran Aristoteles memang dmokraksi bkan pemerintahan yg ideal, melainkan aristokrasi dll itu, karna itu dmokarasi bisa kita definisikan sbg pemerintahan rakyat modern. saya memimpikan peran media yang berpihak kpd kepentingan rakyat, seperti media Amerika awal2 mula majunya, bukan saat ini. saya masih teringat kasus pembunuhan wartawan bali, karena ia mengungkap kasus korupsi, itu ideal. Nah, yang ideal itu juga berarti pers didukung oleh pemerintah, bahkan rakyat. itu salah satu contoh. bukan seperti media saat ini yang serba menyuguhkan, dengan sekehendak hati. tulisan andina itu salah satu bukti. selain itu, media merupakan pendidik rakyat, seperti kata andina yang saya masih ingat, mengutip habermas, masyarakat yang ideal itu adalah masy komunikasi, itu lebih kurang. peran media sbg penghubung, sekaligus penjalin komunikasi. tapi kan sekaran media berdiri lebh tinggi dari masy, seperti tulisan andina ini. bukankan sesuatu yg ideal itu jarang ada yg menyukai, bahkan sulit tercapai?

    ReplyDelete
  4. media idealnya punya posisi sebagai jembatan antara pemerintah dengan masyarakat. dalam arti, tidak memihak salah satu. saya sendiri percaya media tidak lahir karena pemerintah atau masyarakat, melainkan karena adanya kebutuhan terhadap cermin berwacana itu sendiri.

    ReplyDelete
  5. saya setuju, dan kagum dengan pemikiran Andina. Dan untuk apa wacana itu hadir? bagaimana ia hadir? Dan mampukah media benar2 mnejadi media dalam hal itu? pertanyaan di saya masih banyak, ujungnya apakah media mampu mencerdaskan kehidupan berbangsa. Padahal masyarakat kita sulit berwacana, maklum kemampuan literasi masih terbatas. Tidk seperti di zaman Yunani, ada Agora.

    ReplyDelete
  6. Wacana hadir karena relasi kuasa. Ada pihak-pihak yang seperti punya hak untuk menentukan definisi berbagai hal, dan ada pihak-pihak yang menerima definisi itu sebagai sesuatu yang benar tanpa mempertanyakannya lagi, sebab posisi mereka subordinat.

    masyarakat kita bukan sulit berwacana karena keterbatasan teknis, melainkan karena pola budaya yang sudah terlanjur mengakar. misalnya, lebih suka nonton televisi daripada membaca.

    ReplyDelete
  7. tentang pola ordinat dengan subordinat itu sangat menarik untuk dipertanyakan lebih mendalam (siapa yang sub-siapa yg ordinat). saya kira memang itu dikondisikan oleh pihak2 tertentu. karena itu tugas media juga membawa kesadaran masyarakat yang dikatakan subordinat itu, atau menguburnya? itu pilihan.
    seperti kasus century, dan pengemplang pajak yang di akun jaringan sosial saya, yang selama ini saya ikuti, ada pertentangan antara kubu century dan para pengemplang pajak. mereka itu notabene intelektual yang sudah makan asam garam. sayang mereka cenderung mengubur kesadaran masyarakat, karena sesuatu tertentu, bahkan sekarang banyak mereka, masy, yang membenci pansus, atau para pngemplang pajak.
    di sini tugas media yang tak mungkin bebas nilai dipertanyakan. tulisan di blog andina ini yang pantas sebenarnya untuk membuka wacana itu.
    mengenai wacana sebagai relasi kuasa, saya kira ini berdasarkan pisau analisis "will to power". nietzche memang mengatakan, kehendak untuk hdup yang sangat besar, ketika kita berkeinginan untuk berkuasa. namun kita jga mesti ingat, wacana itu apa, juga hakikat mnusia secara keseluruhan.
    saya kira wacana itu lebih kepada kehendak manusia yang amat khas, komunikasi untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan kebutuhan hidup itu, kesdaran itu, salah satunya dibentuk oleh keadaan, materialisme historis.
    seharusnya keadaan ini yang dibuka lebar2 oleh media dll agar kebutuhan hidup manusia itu benar2 terarah, terarah ke keindonesiaan...
    mengenai televisi, sebenrnya itu tak terlalu buruk mnurut saya. bahkan bisa menjadi coloseum, agora kecil yang membuka kebahagiaan dan pendidikan masy.

    ReplyDelete