'Bahasa' Campur Iklan Kita


Di majalah Tempo edisi 20-26 Juli 2009 yang lalu, ada artikel menarik tentang bahasa yang ditulis oleh sastrawan Seno Gumira Ajidarma. Dalam artikel itu Seno mengomentari sebuah baris komik keluaran tahun 1964 berjudul Sakarat yang ditokohi oleh Petruk, Gareng, Bagong, dan istrinya.
Alkisah keempat karakter bertemu di simpang jalan, kemudian saling mengejek pakaian dan gaya dandan masing-masing dengan menggunakan campuran bahasa Inggris, Belanda, Betawi, dan Jawa. Nah, masing-masing unsur ini lalu saling tempel menempel seenaknya sehingga menimbulkan kosakata-kosataka yang lucu.
Petruk dan Gareng menyebut Bagong ‘wan beetle alias kumbang’ dan istrinya ‘bedbug alias kutu busuk’. Tak mau kalah, Bagong dan pasangan menyebut Petruk dan Gareng sebagai ‘een monkey and satu donkey’. Seno membuat analisis menarik tentang perpaduan kata-kata ini, yang pada gilirannya membuat saya bertanya-tanya: jika bahasa di sebuah strip komik tahun 60-an kondisinya begitu rupa, bagaimana keadaan kita sekarang?
Dalam hemat saya, tak jauh beda. Memang kita tidak lagi bercakap sehari-hari dalam bahasa Belanda (meskipun bahasa Inggris tetap banyak penggemarnya, dong!), namun jejak-jejak pemujaan masih tampak nyata. Dulu sekali ada iklan kopi yang bintangnya kalau tidak salah Rudy Wowor. Ia berdandan dengan jas tutup warna putih dan topi kumpeni, lalu menyeruput kopi, dan sesaat kemudian terdengarlah jargon, ”Heerlijk, meneer!”
Dari sini saya ingin maju lebih jauh. Tidak hanya bahasa yang mengisyaratkan jejak-jejak Barat. Kehadiran tokoh-tokoh bule berikut dialog dan gestur di layar kaca bisa bercerita lebih banyak. Harap diingat yang sedang kita bicarakan ini bukan bule yang ‘menjadi-Indonesia’ seperti Wahyu Soeparno Putro, melainkan orang asing yang posisinya betul-betul pihak luar dengan segenap keasingan yang membuatnya jadi gumunan atau sebaliknya, digumuni. Untuk memeriksa hal ini saya memilih salah satu bentuk acara paling pop, yaitu iklan.
Bule yang gumunan dihadirkan misalnya lewat iklan minuman penyegar panas dalam merk Jess Cool. Di iklan itu ada bule gondrong yang meminta air minum. Ia bertanya, “Ada water?”. Si penjaga toko kemudian menjawab, “Be careful, mister, itu panas dalam.”
Pilihan kata water daripada ‘air’ adalah untuk mempertahankan kesan asing si bule, meskipun ia sudah mengawali dengan kata ‘ada’. Begitu juga ekspresi baru-tahu si bule ketika mendengar diagnosa bahwa ia menderita panas dalam. Ia gumun ternyata di Indonesia ada penyakit bernama panas dalam, berikut minuman yang bisa meredamnya. Kesan asing ini menjadi benang merah yang diperlukan karena si bule harus terlihat terkejut-tapi-senang ketika meminum Jess Cool.
Satu kasus iklan yang menurut saya menarik untuk dijadikan contoh bule yang digumuni adalah iklan Jupiter MX versi Valentino Rossi. Digambarkan Rossi ngebut super kencang sehingga membuat pakaian Komeng dan kawan-kawan compang camping. Ia pun dimarahi. Ketika helm dibuka, Komeng menyeletuk, “Bule, lagi.”

Nah, apa makna “Bule, lagi.” yang diucapkan Komeng? Apakah aneh jika seseorang mengebut di jalan raya? Ataukah aneh hanya karena ia bule? Bukankah perilaku yang diatribusikan pada bule (yang berasal dari dunia “Barat”) adalah menaati peraturan, tidak seperti di Indonesia di mana peraturan seolah-olah dibuat untuk dilanggar?
Inilah wacana lama yang masih saja hangat untuk diperdebatkan. Kita selalu menempatkan diri di bawah “Barat” dari cara-cara yang paling kentara sampai yang paling subtil seperti iklan sepeda motor. Begitu melekatnya sifat inferior ini sampai kita jadi harus bertanya pada diri sendiri, apakah ini gejala yang masih bisa diobati, atau karakter yang mau tak mau, suka tak suka, harus kita bawa sampai mati?
Di zaman Orde Lama, Bung Karno terkenal sangat menentang imperialisme, dan pemberangusan ini dilaksanakannya sepenuh hati. Apapun yang kebarat-baratan dihapuskan. Mulai lagu Koes Plus yang ngak-ngik-ngok mirip The Beatles, sampai razia celana jengki.
Jargon andalan Bung Karno adalah “Inggris kita linggis, Amerika kita setrika”. Memang terkesan pongah, tapi ada benarnya. Dengan meminimalisir pemujaan terhadap “Inggris dan Amerika”, Bung Karno berharap Indonesia akan menemukan karakternya sendiri. Beliau pasti juga sudah menangkap bahwa Indonesia akan lama bermental babu, maka itu butuh tindakan tegas dan keras soal jati diri ini.
Namun, takdir berkata lain. Amerika kita puja, dan tim sepakbola Inggris yang tidak jadi datang ke Indonesia membuat kita menangis. Barangkali di sini ironinya. Betapa arus globalisasi begitu sulit untuk dibendung, dan menempatkan kita di pihak yang setia mengadopsi apa saja yang datang dari Amerika (dan Inggris). Semuanya atas nama dunia yang sudah menyempit jadi desa global. Sayangnya, kita toh tetap jadi masyarakat lapis ketiga dalam desa itu.
Ngomong-ngomong, arus postmodernisme ini lucu juga. Seorang Italia mengiklankan produk Jepang di negara Indonesia. Tidak apa-apa. Jangan merasa terjajah dan terhina. Asalkan kita, seperti kata si Italia yang kebetulan pembalap itu, terus berkarya sehingga bisa menjadi negara yang “semakin di depan” dan “yang lain pasti ketinggalan”.

Gambar dari http://sheilawinston.files.wordpress.com

(dimuat di Suara Merdeka Edisi Minggu, 9 Agustus 2009)

5 comments

  1. pembahasan yang tidak tuntas y? artikel ini sangat menarik, karena menghadirkan fenemona yang jarang kita kuak, yakni posisi bahasa dalam iklan menyangkut karakter bangsa. Bukan bermaksud menilai, karena penilaian bagi sesuatu yang menarik adalah percuma, namun jika pembahasan itu sedikit mempunyai penyelesaian masalah, atau memberikan sedikit teori2 mengenai hal2 itu, itu akan lebih bermanfaat, tapi sayang, artikel ini habis di kalimat yang nyeleneh, "Asalkan kita, seperti kata si Italia yang kebetulan pembalap itu, terus berkarya sehingga bisa menjadi negara yang “semakin di depan” dan “yang lain pasti ketinggalan”.??? heheheh

    ReplyDelete
  2. hehe. beginilah keterbatasan menulis di media. selain terdapat batas maksimum karakter, juga harus disesuaikan dengan "warna" santai edisi Minggu. gak boleh terlalu beratlah

    terima kasih untuk komentarnya :)

    ReplyDelete
  3. tapi pembahasan ini serius loh. kalau begitu, kenapa gak sekalian mengambil tema yg ringan, biar pembahasannya ringan juga. bagaimanapun, saya salut dgn ide2mu. tulisannya aku tunggu :)

    ReplyDelete
  4. Sama2! Wacana dan menulis, semoga menjadi mainan kita sehari!

    ReplyDelete