Ketika Walisanga Tak Lagi Keramat (Amat) Sebuah Wawancara Dengan Seno Gumira Ajidarma


“SAYA CUMA IKUT NIMBRUNG SAJA”

RSY semakin ramai! Kali ini Kampung Jambe kedatangan tamu seorang sastrawan yang mending-mati-aja-lo-kalo-sampe-enggak-tau: Seno Gumira Ajidarma.
Pria kelahiran Boston, 19 Juni 1958 yang demen menyingkat namanya jadi ‘SGA’ ini berpakansi ke Semarang dalam rangka pameran foto. Selain dunia sastra, SGA yang terkenal dengan kumpulan cerpennya Sepotong Senja Untuk Pacarku (2002) ini juga bergiat dalam bidang fotografi.
Malam itu (10/10), usai sesi artist talk yang terhenti dengan paksa karena mati listrik, saya dan beberapa kawan berbincang santai bersama SGA di teras RSY diterangi cahaya lilin.

Bisa cerita tentang pameran “Sembilan Wali dan Syekh Siti Jenar” ini, Om?
Awalnya dari teman saya namanya Ayu. Dia nawarin, mau nggak pameran di Semarang. Saya bilang, mau. Lalu jadi bersambung-sambung. Ada yang nawarin di Jogja, Surabaya, Bandung. Ya saya mau-mau saja. Jadilah enam kota. Ide awalnya sih sebenarnya di Malang.

Kalau enggak salah… pameran ini dari buku kan, Om?
Iya. Pameran ini dari buku saya dengan judul yang sama, terbitan Intisari tahun 2007, terus dicetak ulang Maret 2008.

Inti dari buku itu adalah dokumentasi saya sebagai fotografer dalam memandang Walisanga dan Syekh Siti Jenar. Saya melakukan perjalanan ke berbagai daerah yang katanya sempat ditinggali oleh para wali, dan memotret hal-hal menarik di sana, termasuk benda-benda yang konon kabarnya keramat.

Wah, menarik nih, Om. Terus, terus?

Ternyata memang banyak hal menarik yang saya temukan. Eksistensi walisanga itu mengagumkan, sebab masih dipuja meski sudah begitu lama. Apalagi kuburannya. Kegiatan ziarah masyarakat masih berlangsung sampai sekarang, kan? Padahal mitos-mitos mengenai walisanga itu sendiri nggak semuanya benar. Misalnya ada sebuah batu yang katanya keramat, eh ternyata cuma jangkar kapal.

Jadi, Om ingin melakukan semacam wacana tandingan, begitu?
Ya nggak seserius itu.. (tertawa) Intinya saya cuma ikut nimbrung saja. Ngomongin walisanga kan seru. Jadi ya memang benar, saya nggak menawarkan sesuatu yang baru. Wong saya juga nggak melakukan penelitian apapun. Yang meneliti itu kan para ilmuwan. Saya, sekali lagi, ya ikutan nimbrung saja. Tidak sampai mengharapkan ada perubahan perilaku dari orang-orang setelah datang ke pameran ini.

Pendapat Om tentang kearifan lokal yang diajarkan walisanga, yang sering dituduh orang sebagai bid’ah?
Lokal Arab! (terkekeh) Orang yang menuduh bid’ah itu kan mereka yang merasa dunia sudah hancur, makanya ajaran agama harus dimurnikan. Ya silahkan saja, itu hak mereka.

Bagaimana Om memandang Syekh Siti Jenar? Ada yang bilang dia semacam tokoh nyentrik yang bikin deg-deg-an walisanga dengan ajaran bersatunya manusia dengan Tuhan..
Sebenarnya yang pokok dari Siti Jenar bukan itu, tapi pandangan dia bahwa kehidupan yang asli adalah kehidupan akhirat. Nah, karena yang real itu di sana (menunjuk ke atas), bukan di sini (menunjuk ke bawah), ya sudah ngapain solat. Hehehehe…

Berarti walisanga takut Siti Jenar memprovokasi umat untuk tidak beritual?
Ya sebenarnya yang takut itu bukan hanya walisanga, tetapi orang-orang yang punya kepentingan untuk itu. Misalnya mereka yang punya masjid, nanti kalau makin banyak orang yang nggak solat, makin sedikit dong yang mengisi kotak amal. (tertawa)

Selain jadi penulis dan fotografer, SGA yang pernah memenangkan award SEA Write Award (1987), Dinny O’Hearn Prize for Literary (1997), dan Khatulistiwa Literary Award (2005) ini juga dikenal akan esainya tentang film. SGA sendiri pernah mengajar di IKJ untuk mata kuliah Penulisan Kreatif dan Kritik Film.

Perfilman Indonesia dalam lima kata dong, Om.
Gitu-deh-apa-boleh-buat. (tertawa)

Hahaha! Setelah ini, ada keinginan untuk mencoba hal baru, Om?
Hmm.. (sedikit menerawang) Saya ingin jadi penganggur yang kerjaannya cuma membaca, karena itu adalah pekerjaan paling enak sedunia. Hahaha.

Trivia. Teruskan kalimat berikut, “because the sky is blue,…”
Then blue is the sky! (tersenyum)

Wawancara terhenti dengan alami karena perut kami masing-masing sudah berbunyi. Saatnya makan (tengah) malam. Usai mengantar para tetamu pulang, Pak Tubagus (direktur RSY), SGA, saya dan beberapa kawan pun langsung tancap gas menuju warung nasi ayam di kawasan Simpang Lima.
Di sana, percakapan berlanjut diterangi lampu merkuri, yang ternyata tidak kalah indah dari cahaya lilin.. 

(dimuat di majalah Mosh! edisi #16, Rainy Issue)

2 comments

  1. "Om boleh minta tanda tangannya?"
    "Oh, boleh.. boleh.." penulis itu kegirangan karena ada fans-nya yang masih muda dan cantik.

    Namun...

    "Sekalian buku Negeri Senjanya ya, Om!"

    raut wajah penulis itu berubah

    (Italic)Ini penggemar atau pemalak, pikirnya (Italic tutup)

    ReplyDelete
  2. Penggemar sekaligus pemalak, boleh tidak?

    ReplyDelete