Anakku, Pencapaianku (?)

Bulan lalu, timeline Twitter diramaikan dengan tubir mengenai apakah menikah dan punya anak itu pencapaian atau bukan. Kebanyakan yang ikutan tubir adalah ciwi-ciwi, meski sebenarnya pertanyaan yang sama bisa juga ditujukan ke cowo-cowo.

Dari semua komentar yang berseliweran, ada satu yang menggelitikku:



Bagi yang tertarik mengikuti rangkuman lengkap ketubiran yang terjadi, silakan cek Steller-nya @catwomanizer di sini.

(Akun Steller @catwomanizer ini recommended, btw! Banyak banget membahas topik-topik "kontroversial", menggelitik, sekaligus nambah pengetahuan, seperti STD, aborsi, sugar mommy/daddy/baby, perempuan inspiratif, pengalaman diskriminasi karena SARA.. pokoknya jenis topik yang nggak akan ada di acaranya Mamah Dedeh.)

Andai pertanyaan "punya anak itu pencapaian apa bukan" diajukan kepadaku 5-10 tahun lalu, aku pasti akan menjawab YA BUKANLAH, GILE AJE LU! Mosok menikah dan punya anak disebut pencapaian? Receh amat? Pencapaian itu ya sukses di akademik, sukses di dunia kerja, sukses di ranah kreatif.

Tapi sekarang setelah menjadi tua, aku mungkin akan balik nanya, ya, kenapa enggak? Pencapaian itu kan, bentuknya macam-macam. Misalnya, waktu tinggal di Kebon Jeruk, pencapaianku adalah berhasil nyobain (hampir) semua rasa Martabak Alim Kemanggisan hanya dalam waktu beberapa bulan.


Sebanyak ini

Bisa berangkat lebih pagi ke kantor sehingga terhindar dari macet, juga pencapaian. Bisa baca 2 buku tiap bulan sampai habis, juga pencapaian. Bisa berhenti melakukan kebiasaan buruk seperti merokok atau menggigit kamu kuku, juga pencapaian. Jadi, kenapa menikah dan punya anak tidak bisa disebut pencapaian? Bisa-bisa aja, ah.

Buatku yang aslinya penakut sama komitmen, ijab kabul jelas pencapaian. Buatku yang angin-anginan, enggak pernah bisa konsisten melakukan sesuatu dalam jangka panjang, bisa kasih ASI eksklusif melalui breastpumping selama 1,5 tahun, jelas pencapaian.

Jadi, sesuatu bisa dikatakan pencapaian atau bukan, sangat tergantung sama metrik yang kita pakai buat mengukur diri sendiri. Dan itu sah-sah saja karena pengalaman pribadi seseorang berbeda-beda.

Untuk sampai ke pernikahan, orang yang datang dari keluarga broken home mungkin harus berjuang ekstra keras melawan ketakutannya sendiri. Mungkin dia menghabiskan banyak sesi dengan psikolog, mencari cara menyingkirkan pikiran buruk yang menghantui. Mosok yang kayak gitu enggak boleh disebut pencapaian?

Untuk bisa hamil, seseorang yang ingin banget punya anak tapi kesehatannya bermasalah, mungkin harus berkali-kali menjalani pemeriksaan dan operasi. Mungkin menghabiskan dana yang enggak sedikit. Mungkin harus minum obat yang banyak dan enggak enak. Mungkin harus ikut program bayi tabung. Ketika akhirnya hamil, dia merasa bahagia dan lega. Mosok yang kayak gitu enggak boleh disebut pencapaian?

Yang enggak boleh itu, menjadikan hal-hal yang menurut kita pencapaian sebagai TOLOK UKUR dalam menilai orang lain.

("Tolok ukur" ya, bukan "tolak ukur", nanti dimarahin Ivan Lanin.)

Misalkan kamu pengikut gerakan #IndonesiaTanpaPacaran dan beranggapan menikah adalah solusi terhadap permasalahan hidup apa pun, ya silakan. Tapi, jangan nyinyir sama orang yang menunda menikah atau bahkan enggak mau menikah. Thomas Djorghi enggak nikah, tapi bahagia.

Sembilan bahan pokok, di dalam bercinta...

Misalkan kamu penggemar keluarga Halilintar dan bercita-cita punya anak setahun dua kali, ya silakan. Tapi, jangan hobi nanya "gimana, udah hamil belum? ih, kok belum hamil-hamil sih?" ke orang lain. Eh malih, enggak semua orang yang menikah itu pingin cuss dapat baby. Ada pasangan yang menunda punya anak, ada juga yang enggak pingin punya anak. Dan, sekali lagi, itu sah-sah saja.

Jangan juga menilai seseorang belum jadi "perempuan seutuhnya" kalau belum pernah hamil dan melahirkan. Itu annoying parah. Kamu yang ngomong gitu kuanggap sedang dalam tahap evolusi kembali menuju kera. Emangnya "harga" seorang perempuan ditentukan dari rahim doang?

Jadi, kembali ke skrinsyut pertama tadi, marilah sama-sama menghargai pilihan masing-masing. Terlepas dari istilah dan bahasa yang digunakan, mereka yang bilang "menikah sebaiknya enggak dianggap pencapaian" mungkin cemas karena sekarang semakin banyak orang yang dikit-dikit pingin nikah. Dan kecemasan ini ada benarnya, lho.

Capek kerja, nikah aja ah. Capek kuliah, duh, lamar adek, Bang. Seolah nikah adalah obat instan menuju kebahagiaan. Padahal, angka perceraian di Indonesia per 2017 itu tertinggi di Asia Pasifik, lho. Apakah mereka yang kebelet cepat-cepat nikah itu yakin enggak akan cepat-cepat cerai?

So, to each their own. Mari sama-sama mencoba memahami, dan tidak menggunakan standar masing-masing sebagai tolok ukur dalam menilai orang lain. Begitulah kalau oke.

8 comments

  1. Dari tahun ke tahu, topik seputar pernikahan dan anak dan tetek-bengeknya menarik sebagai perbincangan cultural studies, Mbak...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya. Semua yang dianggap sebagai "kewajaran" sesungguhnyalah hanya kontruksi sosial.

      Delete
  2. "Yang enggak boleh itu, menjadikan hal-hal yang menurut kita pencapaian sebagai TOLOK UKUR dalam menilai orang lain."

    Ntapp Mbakk!

    ReplyDelete