Book #1: Villa des Roses*

Villa des Roses (Pustaka Jaya, 1977) adalah novel karya penulis Belgia, Willem Elsschot. Saya pinjam buku ini dari seorang kawan, yang membelinya di toko buku bekas Jose Rizal, sudut Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Karena keterbatasan waktu, saya hanya sempat memfotokopi buku tersebut secara abal-abal alias pakai lakban dan laminating doang. Beberapa minggu setelah itu, iseng main ke toko buku yang sama, terseliplah satu kopi Villa des Roses yang tentu saja langsung saya sambar, meski dalam keadaan mengenaskan. Sudutnya tertekuk di sana-sini, sobek di bagian atas direkat dengan selotip, dan jilidannya sudah hampir lepas (baru-baru ini lepas beneran, sementara waktu saya pakaikan klip kertas sebelum nanti diperbaiki dengan seksama).


Compang-camping seperti hatimu..


Yang saya senangi (dan ingin saya pelajari) dari Elsschot adalah cara berceritanya yang ringan. Elsschot seperti tidak terbebani oleh keharusan menyampaikan pesan moral atau berlagak puitis supaya dianggap karya sastra beneran. Dia asyik saja bercerita tentang penginapan Villa des Roses yang dikelola oleh Tuan dan Nyonya Brulot, Chico (monyet kesayangan sang nyonya yang nantinya akan memegang peran penting dalam plot twist kisah ini *spoiler alert*), tamu-tamu mereka, dan para pelayan. Konflik yang muncul tak mengada-ada; semuanya timbul secara alamiah dari konsekuensi sekelompok manusia yang hidup bersama, dengan segala ketamakan dan ketakutan mereka. Oh ya, tahun 2002, novel ini  difilmkan dengan Julie Delphy (yap, Celine-nya Jesse!) sebagai Louise, tokoh pelayan.

Kata Goenawan Mohamad, novel bisa berkisah, bisa bergumam. Dan Elsschot berkisah dengan amat bagus, tanpa kesan kaku. Membaca buku ini seperti mendengar paman jauh kita bercerita tentang tetangganya yang berumah di sudut kota. Elsschot membuktikan bahwa novel yang berkisah tak harus selalu identik dengan "realisme sosial"; pilu karena isinya berjibaku melulu. Tak ada tokoh sentral yang jatuh-bangun dalam kisah ini, tapi cara masing-masing tokoh memperjuangkan keberadaan mereka justru memberi makna yang kuat pada kehidupan.

Sebelum Villa des Roses ini (yang diterjemahkan secara luar biasa kece oleh Asrul Sani) saya lebih dulu berkenalan dengan Elsschot lewat novel Kaas atawa Keju. Ceritanya tentang seorang pegawai yang ingin berbisnis tapi gagal. Kaas dan Villa des Roses punya karakter serupa, yakni menceritakan tentang manusia; tentang impiannya, hasratnya, kegelisahannya, kemuakannya pada diri sendiri dan lingkungannya, yang selalu berkonflik dengan keinginannya untuk bahagia. Saya iri sekali pada kepiawaian Elsschot menyelami karakter manusia, membalurinya dengan imajinasi, memberinya struktur, dan menjadikannya cerita. Tapi, saya pikir, kepandaian itu bukanlah hasil berlatih menulis semata-mata, melainkan juga buah kebijaksanaan yang hanya bisa diperoleh dari jam terbang menjalani kehidupan.


*Bagian pertama dari rangkaian review komentar iseng tentang buku-buku yang berhasil saya khatamkan selama di Melbourne.

No comments