Marah



Photo by timJ on Unsplash


Orang selalu bilang ia pemarah. Mungkin itu sifat yang ia warisi dari ibunya, yang biasa ia panggil Nyonya Tua. Semasa mudanya, Nyonya Tua suka membanting barang bila ia membuat kesalahan. Ada kejadian saat Nyonya Tua sedang makan buah dan minta dibawakan sendok. Ia beranjak ke dapur, mengambil sendok, dan ketika tinggal beberapa langkah dari Nyonya Tua, sendok itu jatuh. Ia cepat mengambil sendok itu dan memberikannya ke Nyonya Tua. Di luar dugaannya, Nyonya Tua melemparkan sendok itu dan berkata, "Anak kurang ajar! Sendok ini sudah kotor!"

Waktu itu umurnya kira-kira delapan tahun. Ia hanya mampu terdiam. Ibunya buru-buru minta maaf. Kelak ketika ia sudah dewasa, ia sudah tahu bahwa ibunya tak pernah benar-benar marah padanya, tapi pada suaminya, seorang lelaki yang selalu merasa dirinya kanak-kanak. Nyonya Tua dan suaminya kemudian bercerai, tapi seperti anak kecil manapun di dunia ini, ingatannya sangat baik. Adegan sendok itu tak pernah pergi dari memorinya.

Ia seperti kayu yang dipaku. Walau pakunya dicabut, kayu itu telanjur rusak.

Kusodorkan secangkir kopi padanya. Kami duduk berhadapan di meja makan. Tadi jam sepuluh pagi ia menelepon, katanya hendak berkunjung. Aku sudah tahu ada yang tak beres dari nada suaranya. Sebagai teman yang baik, aku tentu harus menghiburnya, syukur-syukur bisa memberi solusi.

"Menurutmu cerita sendok itu menggelikan?" Ia bertanya. Kopi yang kusodorkan tak disentuh.
Aku menggeleng. "Tidak. Kau pernah dengar kalimat ini, be careful of what you say to your children, it becomes their inner voices."

Pagi itu ia tampak menyedihkan. Wajahnya sembab padahal katanya sudah tidur cukup, lebih dari cukup. Suaminya, Albert, pergi dari rumah setelah pertengkaran tadi pagi. Aku mengenal Albert. Ia pria baik, tapi tak cukup sensitif untuk menghadapi temanku ini. Sejak awal aku meragukan ketika ia bilang mau menikah dengan Albert sebab aku mengenalnya seperti aku mengenal telapak tanganku sendiri. Katakanlah Albert terlalu logis.

"Aku tak bisa mengendalikan kemarahanku," ia mengeluh. "Aku ingin segala hal berjalan sesuai keinginanku, dan ketika itu tak terjadi, aku merasa dadaku berdentam-dentam. Darah rasanya naik ke kepala semua. Dan aku jadi ingin membanting barang."

"Aku juga ingin segala hal berjalan sesuai keinginanku. Semua orang begitu," kataku selembut mungkin. "Tapi aku juga tahu hal itu tak selalu bisa kudapatkan."
Ia mencerna kata-kataku. "Jadi, aku tidak bisa menerima kenyataan sebaik orang lain?"
"Tepat. Dan aku senang kau menyadarinya. Masalah bisa lebih cepat diselesaikan kalau kau sadar masalah itu ada. Bertahun-tahun jadi psikolog, aku paling pusing kalau ketemu pasien yang tidak sadar bahwa ia sakit."
"Tapi kalau pasiennya cantik, kau pasti senang."
Aku terkekeh, mengabaikannya. "Dan sekarang aku lebih senang lagi karena kau bisa menganalisis bahwa itu mungkin gara-gara ibumu."
"Nyonya Tua."
"Iya. Tapi itu juga bukan kesalahannya. Kau sekarang sudah dewasa. Segala yang kaupikirkan dan kauperbuat adalah tanggung jawabmu sendiri."
Ia mengangguk. "Aku hanya kebetulan punya masa kecil yang lebih pahit dari orang lain."

Ucapannya itu membuatku sedih. Aku duduk tegak, lalu meraih tangannya. Kutatap matanya dan kuberi ia senyum terbaikku. "Jangan mengasihani diri sendiri begitu, ah. Kau salah satu perempuan dengan hati paling baik dan otak paling cerdas yang pernah kukenal."

"Kau ngomong begitu karena kau sahabatku."
"Aku akan tetap ngomong begitu bahkan kalau kau bukan sahabatku."
"Kau sungguh berpikir aku baik dan cerdas?"
"Sangat."
"Andai saja Albert berpikir seperti itu."
Aku membuka mulut, tapi tak jadi. Di tenggorokanku seperti ada pasir, jadi aku berdeham. Kudorong cangkir lebih dekat ke arahnya. "Kopinya tidak kuracun, lho."
Ia tertawa dan mulai minum. Aku bernapas pelan-pelan selama tiga menit.

"Sekarang tentang kemarahanmu," aku mulai berganti gigi ke profesi psikolog. "Akarnya adalah dari perasaan tidak-aman. Kau dibesarkan oleh ibu yang tidak stabil secara emosional, dan itu membuatmu selalu ketakutan. Kau selalu menerka-nerka suasana hati ibumu. Dan yang lebih parah, kau meniru kecenderungannya itu. Emosimu bisa berubah dalam hitungan menit."

"Albert tidak tahan dengan hal itu," ia mengeluh.

Karena Albert tidak memahamimu, batinku. Albert tidak pernah memahamimu sebaik aku.

"Kau merasa tidak-aman, jadi kau selalu cenderung ingin mengambil kendali terhadap apapun. Kau sulit percaya orang lain. Di alam bawah sadar, kau juga merasa dirimu korban. Orangtuamu bercerai, ibumu tidak stabil secara emosional, dan ayahmu secara praktis absen dari hidupmu. Kau merasa malang. Karena itu, dari orang-orang terdekatmu seperti Albert, kau menuntut kepatuhan dan penerimaan tanpa syarat. Kau lupa, bahwa Albert bukan malaikat. Ia punya tuntutan sendiri kepadamu. Hubunganmu dengan Albert itu hubungan perkawinan. Ia bukan baby-sitter-mu."

Aku bicara agak keras. Kejujuran adalah obat terbaik.

Ia agak pucat. "Wah, kalau orang lain yang bilang begini aku mungkin sudah pergi dari tadi. Tapi karena kau yang bilang..."
"Itu karena kau percaya padaku."
"Bukankah tadi kau bilang aku sulit percaya orang lain?'
Aku tersenyum. "Sulit, bukan berarti tidak bisa, kan?"

Setengah jam selanjutnya kami habiskan dalam diam. Aku menyibukkan diri membuat secangkir kopi lagi di dapur. Kudengar denting sendok beradu dengan gelas. Ia mengaduk-aduk kopi sambil meminumnya sedikit-sedikit. Ketika aku kembali, ia sedang menutup wajah dengan kedua tangan.

"Bagaimana caranya mengendalikan kemarahan?"
"Bernapas dengan baik, tahan mulut dari kata-kata kasar, atau angkat kaki kalau memang sudah tak sanggup lagi. Jangan menyerah pada godaan membanting barang. Atau kalau kau perlu membanting sesuatu, lemparkanlah bantal ke tembok. Jangan lakukan sesuatu yang akan kausesali beberapa menit kemudian."
"Aku kuatir tidak sanggup."
"Aku yakin kau sanggup."

Ia menatapku. Lalu ia bangkit dari kursinya, menyeberangi ruangan, dan memelukku. Ia memelukku begitu erat. Aku diam-diam meletakkan cangkir kopiku dan balas memeluknya.

Kami berpelukan amat lama.

No comments