Mak Jegagig Sinema Kita



Photo by Jakob Owens on Unsplash


Bila film Hollywood begitu sering memukau kita dengan latar yang luar biasa detail, sinema Indonesia masih sering mengagetkan pemirsanya dengan para pelakon yang mendadak muncul entah dari mana. Mak jegagig!


Kedatangan yang tiba-tiba ini sudah sampai taraf menggangggu saking seringnya terjadi. Para pemain film seperti tanpa aba-aba langsung masuk dalam jangkauan kamera (bahasa bagusnya, in frame) ukuran medium shoulder alias sedada. Dari mulut mereka langsung meluncur dialog seperti yang sudah tertulis di lembar-lembar skenario. Senyum sedikit. Merengut sedikit. Kamera ganti berpindah ke pelakon lain, dengan tahapan yang sama. Sungguh kering.

Fenomena ini khususnya sering terjadi dalam sinema elektronik (sinetron) stripping alias kejar tayang. Tidak hanya kemunculan yang tiba-tiba, kita pun sering dibuat gelisah dengan gestur para aktor dan aktris yang terasa tidak pas dengan dialog yang sedang terjadi. Misalnya, seperti yang terjadi dalam salah satu episode Cinta Fitri 2 yang kini sudah habis masa tayangnya. Tokoh Fitri (Shireen Sungkar) membuka percakapan dengan Aldo (Adly Fairuz). Namun, jika diperhatikan, alih-alih mendengarkan perkataan Fitri dengan seksama, Aldo malah tersenyum sembari memandang ke kejauhan. Waduh!

Kabar berhembus, demi mengejar porsi tayang yang begitu padat sementara jadwal sang artis kadang sulit dikompromikan, awak sinetron sering mengambil langkah potong kompas: men-syut satu artis terlebih dahulu, baru berpindah ke artis lain. Jadi, para artis ini tidak take bersama. Mereka yang kesibukannya padat diambil gambarnya dulu. Ngomong sendiri seolah-olah sedang berdialog. Di meja editing, barulah gambar-gambar ini digabungkan bagai bermain gunting tempel. Bila itu benar, tidak heran bila kadang terjadi jumping alias ketidaksesuaian di sana-sini. Yang terjadi antara Aldo dan Fitri hanyalah salah satu contoh kecil.

Kembali ke masalah setting. Kekeringan deskripsi latar tempat keseluruhan cerita terjadi sesungguhnya merupakan indikasi betapa di Indonesia mayoritas film dibuat dengan tujuan semata-mata menghibur. Padahal, ketiadaan deskripsi setting justru akan membunuh keutuhan film itu sendiri. Konsekuensinya, film tidak lagi bisa dinikmati.

Setting alias latar sering disebut sebagai milieu, yang secara harfiah berarti ‘lingkungan pergaulan’. Implikasi dari istilah ini sangatlah luas: setting sebagai aspek sosiokultural dalam cerita. Dalam hal ini setting adalah penentu apakah sebuah cerita logis atau tidak. Misal, sebuah sinema yang mengisahkan perang kemerdekaan tahun 1940-an akan menjadi sangat tidak logis bila di latar terdapat toko yang menjual voucher pulsa. Cerita menjadi jumping. Penonton akan merasa dibodohi. Bukankah film adalah sebuah perjalanan lintas waktu? Apa jadinya jika detail tidak diperhatikan?

Persoalan menjadi lain bila audiens diasumsikan tidak cukup peduli untuk mengkritisi hal-hal semacam ini. Cerita dramatis dan aktor cantik atau tampan seolah sudah cukup. Penonton tidak akan berpikir apakah latar kondisi masyarakat alias milieu saat itu sejalan dengan kisah yang terjadi. Penonton bahkan tidak perlu bertanya apakah ceritanya logis atau tidak. Semakin dramatis, semakin bagus. Semakin tak berlogika, semakin menarik. Malah makin banyak peminatnya!

Dugaan tersebut tentunya bersifat manasuka. Belum tentu sineas kita berpikir seperti demikian. Hanya saja, jika kecurigaan tersebut benar, alangkah rendah nilai audiens di mata para pembuat sinema. Tak hanya bodoh, audiens juga diposisikan sebagai pihak yang mudah menerima apapun yang mereka suguhkan. Alih-alih menggemari sinema-sinema tersebut, sepantasnya audiens tak terima dengan kesewenang-wenangan yang dilakukan para pembuatnya.

Kekeringan deskripsi latar tidak hanya menyangkut kapan dan dimana cerita itu berlangsung, tetapi juga dalam situasi masyarakat seperti apa alur kisah terjadi. Seperti ditunjukkan oleh sebuah karya sinematografi yang sangat indah, 3 Hari Untuk Selamanya. Kekuatan film ini saya kira tidak hanya terletak pada dialog cerdas yang terjadi antara tokoh Yusuf dan Ambar, melainkan juga pada detail setting tempat. Adegan penari berkebaya di pinggir pantai dan gambaran kota Jogja pascagempa hanya sedikit di antaranya.

Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa kebanyakan sinema Indonesia melulu berkisah tentang tokoh-tokoh yang hidup di dua alam berbeda: si kaya dan si miskin. Dikotomi ini digambarkan begitu tajam. Si kaya hidup di sebuah rumah yang luar biasa luas, bertingkat dengan segala fasilitasnya, berkeliling kota naik BMW seri terbaru sementara si miskin tinggal di rumah papan triplek dan bingung makan apa hari ini. Ekstrim!

Tetapi apakah ini berarti cerita menjadi tidak realistis? Jangan terburu menuduh. Jika kita mau jujur, begitulah yang sebenarnya terjadi di Indonesia. Begitu banyak orang kaya, tapi jumlah orang miskin terus bertambah. Meminjam adagium terkenal kapitalisme, yang kaya tambah kaya dan yang miskin tambah miskin. Roda hidup memang terus berputar, tapi ukurannya terlalu besar sehingga perputarannya tidak terasa. Yang di bawah selalu terpuruk di bawah.

Dengan situasi seperti ini, seharusnya sineas kita tidak perlu malu memperkaya latar dalam ceritanya. Tidak ada hiperrealitas dalam hal ini. Indonesia adalah negara ‘miskin’ di mana segelintir warganya masuk dalam daftar seratus orang terkaya di Asia. Barangkali kita memang benar-benar negara penuh paradoks. Sudah menjadi tugas para sineas untuk membingkainya dalam cerita yang mereka buat, setidaknya untuk kepentingan dokumentasi sosiokultural, sehingga pada akhirnya siapapun bisa belajar dari sana.

(dimuat di Suara Merdeka edisi Minggu, 14 September 2008)

No comments