Mekah I'm Coming: Sebuah Satire tentang Haji Hoaks

Cerita yang baik selalu berkisah tentang karakter-karakter yang, sebagaimana manusia dalam kehidupan nyata, ingin mencapai sebuah tujuan dengan segala keterbatasannya. Ibarat halaman buku yang page-turning, film bagus akan membuat penonton duduk lekat menatap layar, penasaran mengikuti nasib para tokoh—ikut cemas ketika ada tantangan yang menjauhkan mereka dari tujuan, ikut sedih ketika mereka gagal, dan ikut gembira ketika akhirnya yang diidamkan berhasil terwujud.

Elemen inti dalam penulisan kreatif ini tampil gemilang di skenario Mekah I’m Coming (MIC). Tokoh Eddy (Rizky Nazar) berperan sebagai seorang anti-hero yang usahanya gagal melulu, tapi memiliki cita-cita mulia, yaitu naik haji. Masalahnya, Eddy ingin naik haji bukan semata-mata demi menunaikan rukun Islam, tapi agar bisa melamar Eni (Michelle Ziudith), anak Pak Soleh (Totos Rasiti) yang baru pulang dari Mekah. Eddy, yang sudah menjual segala harta bendanya demi bisa menikahi pujaan hati, malah kena tipu biro haji abal-abal dan terancam gagal kawin.

Credit: imdb.com

Dibandingkan dengan seluruh film dalam daftar nominasi Film Pilihan Tempo tahun ini, MIC memiliki skenario yang paling ‘bulat’ dan utuh. Jalan ceritanya logis, dengan hubungan sebab-akibat yang pas. Eddy yang kepalang basah sudah di Jakarta, memilih bekerja di toko busana muslim di Tanah Abang, ketimbang pulang dan menanggung malu di kampung. Pilihan yang tidak ‘luhur’ ini terasa logis karena penonton sebelumnya sudah dikenalkan dengan karakter Eddy yang akrab dengan kesialan.

Eddy, misalnya, diceritakan sebagai montir yang tidak becus memperbaiki kendaraan rusak. Truk yang ia sewa untuk penyambutan haji camer ternyata remnya putus, dan mobil mogok yang pernah ia bantu perbaiki malah meledak. Adegan-adegan ini menuntun penonton untuk memahami Eddy sebagai si biang onar, tanpa perlu penjelasan verbal.

Tidak ada adegan yang nyelonong tanpa sebab, kecuali mungkin slapstick Elly Sugigi sebagai pelanggan foto yang lagi-lagi mengeksploitasi fisik sebagai bahan candaan. Padahal, tanpa pelanggan tonggos pun cerita masih tetap berjalan, karena jalan ceritanya sendiri sudah cukup kuat untuk membuat penonton tertawa, meringis, bahkan ikut deg-degan. Tokoh Bagio (Jidate Ahmad, bocah yang dulu terkenal sebagai YouTuber review pomade, luar biasa bagaimana media sosial bekerja!) si anak kampung yang hobi bermedsos, juga dimunculkan di awal cerita bukan tanpa maksud.

"One must never place a loaded rifle on the stage if it isn't going to go off. It's wrong to make promises you don't mean to keep", demikian kata penulis besar Rusia, Anton Chekov. Prinsip penulisan yang kemudian dikenal dengan nama Chekov’s Gun inilah yang hadir justru lewat tokoh Bagio. Potongan adegan Bagio mengucap “hai, gaes…” di depan kamera saat adegan awal pesta penyambutan Pak Soleh dari Mekah, merupakan petunjuk peran penting bocah itu dalam membawa cerita mencapai puncaknya. Di film ini, nyaris tidak ada adegan yang sia-sia.

Resolusi konflik lewat tokoh Fajrul (Ephy Pae) juga digarap dengan teliti. Fajrul tidak muncul tiba-tiba di akhir film sebagai karakter penyelamat tokoh utama dengan cara yang nyaris mustahil, atau dikenal dengan prinsip deus ex machina yang amat dihindari dalam penulisan cerita, melainkan telah melalui berbagai proses yang akhirnya membawanya ke desa Eddy. Dengan demikian, kehadiran Fajrul terasa sebagai plot yang wajar, konsekuensi logis dari pertemanannya dengan Eddy dan keberuntungannya menemukan bukti foto di toko tempatnya bekerja, bukan upaya penulis skenario yang buru-buru ingin menamatkan cerita.

Dalam film ini memang tidak ada karakter atau dialog yang menonjol, tapi semuanya dijalin dengan baik seperti sebuah ansambel. Penulis skenario sekaligus sutradara, Jeihan Angga, berhasil membangun plot yang utuh. Ibarat orang yang mau melintasi sungai, Jeihan berhasil menyusun batu-batu sebagai pijakan untuk sampai ke seberang. Hasilnya adalah sebuah film komedi yang berisi.

Menjadi haji
Greg Barton dalam bukunya Biografi Gus Dur (The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, LKiS, 2002) bercerita mengenai tokoh yang berpengaruh terhadap hidup Gus Dur, yaitu Kiai Wahab Chasbullah. Pada 1912, Wahab Chasbullah dan Bisri Syansuri pergi naik haji pada usia 30 tahunan dan kemudian menetap di Mekah selama dua tahun untuk memperdalam ilmu mereka. Barangkali inilah ilustrasi bagaimana haji dipandang sebagai ‘pangkat sosial’ tersendiri di kalangan masyarakat Indonesia. Para haji identik dengan orang yang berharta dan berilmu, sehingga layak dijadikan rujukan.

Ali Shari’ati dalam buku Haji-nya yang legendaris juga memaparkan mengapa ibadah tersebut berada di urutan terakhir dalam rukun Islam. Zaman dahulu, untuk bisa berhaji orang harus menempuh perjalanan berbulan-bulan tanpa kepastian bisa kembali pulang menemui anak, kerabat, dan harta mereka. Haji adalah ibadah bagi mereka yang telah memiliki, sekaligus siap kehilangan, segalanya.

Di sinilah menariknya MIC. Film ini mengajak kita bermain-main dengan ide yang dipandang maha-serius oleh orang-orang beragama. Bagaimana jika siapa saja, tidak perlu berilmu tapi punya duit, bisa dipanggil Pak Haji/Bu Haji dan dijadikan rujukan? Atau lebih parah lagi, orang yang hanya mengaku saja berangkat ke Mekah, bisa juga dipanggil haji? Bagaimana jika haji menjelma sekadar industri yang dimanfaatkan para penipu untuk mengeruk harta orang-orang lugu yang hanya ingin beribadah?

Temuan sosial dalam MIC juga tak kalah menariknya. Pak Rojak (Rasyid Karim), Pak Somad (Fanny Fadilah), juga Cici Tegal sebagai pemilik warteg lebih memilih bertahan di Jakarta daripada pulang kampung. Inilah gambaran betapa tingginya harapan dan pandangan orang terhadap para calon haji, sehingga ketika mereka menemui kegagalan yang sebetulnya disebabkan oleh kecurangan orang lain, hukuman sosial yang diberikan tak kalah kejam. “Haji hoaks.. haji hoaks..” begitu seru anak-anak kampung saat Eddy akhirnya pulang, menemui ibunya yang sakit keras. ***


Seperti dimuat dalam laporan khusus Film Pilihan Tempo 2020 tayang pada Senin, 19 Desember 2020

No comments