Here Comes The Sun




Little darling, it's been a long cold lonely winter.
Little darling, it feels like years since it's been here.

Kau sudah lama tidak keluar rumah. Sejak kantormu memberlakukan kebijakan Bekerja Dari Rumah Februari lalu, kau sama sekali tidak pernah menginjakkan kaki di Jakarta (kau tinggal di area Bodetabek, seperti kebanyakan pekerja lainnya). Beberapa kolegamu masih mampir ke kantor sesekali dengan berbagai alasan dan keperluan, tapi kau memilih berdiam di rumah berbulan-bulan seperti pertapa. Kau tidak mengeluh--kau toh tidak dikaruniai anugerah gampang tidur di perjalanan, dan mal sering membuatmu pusing duluan. Dengan gembira kauhabiskan waktumu di rumah bersama buku, kopi, dan film,... sampai sembilan bulan berlalu dan kau mulai sering migren tanpa sebab yang pasti.

*** 
Little darling, the smiles returning to the faces.
Little darling, it seems like years since it's been here.

Pesan singkat itu kauanggap sebagai penyelamat. Seorang kawan yang sudah lama sekali tak kautemui, mengajak berjumpa di kampus BSD, yang dapat kautempuh dengan berkendara selama lebih-kurang 20 menit. Tidak terlalu jauh, dan barangkali kau memang perlu ketemu manusia lain selain anakmu, suamimu, dan tukang sayur yang sering kauomeli kalau tampil tanpa masker. Baiklah. Kau membalas pesan itu dengan dua huruf O dan K.

Jadilah pagi itu untuk pertama kalinya kau keluar rumah. Kau mandi, makan roti, dan minum kopi dengan berdebar-debar. Rasanya seperti pergi perang. Sebagian dari dirimu ketakutan, dan sebagian lagi kegirangan. Kau ingin tahu seperti apa dunia luar sekarang. Dengan cemas kau mengecek tasmu berulang-ulang, dan memastikan kau tak ketinggalan membawa hand sanitizer dan masker cadangan.

Kau mulai dengan mengantar anakmu ke rumah neneknya. Dari sana kau menyetir ke arah Vila Dago Tol, lurus ke Ciater, sampai ke arah Pasar Modern BSD.

Dan apa yang kaulihat sepanjang jalan sungguh mencengangkan. Orang-orang yang berkendara terlihat santai. Beberapa orang nongkrong di pinggir jalan, menyesap kopi instan dari wadah plastik bekas akua gelas di tangan kanan, rokok di tangan kiri, mengembuskan asap dan mengobrol riang. Hanya satu-dua yang mengenakan masker. Apa-apaan ini? Mungkinkah Covid-19 sudah pergi dari BSD dan sekitarnya dan hanya kau yang tidak dipamiti?

Kau lalu memutuskan untuk mampir ke Indomaret di sebelah kantor BPN Tangsel. Kau ingin membeli minuman dingin. Kau memasang masker dan turun dari mobil, dan seorang lelaki tua mencegatmu. Mulanya kaupikir dia tukang parkir, tapi ternyata dia pengunjung minimarket pada umumnya. Dia tidak membawa masker dan dia ingin tahu apakah dia bisa menitip belanjaannya padamu. Hanya satu bungkus Rinso dan satu bungkus Sunlight cuci piring, kok.

"Saya bayar Neng lima ribu," kata dia, merentangkan kelima jari tangannya ke arahmu yang terheran-heran. Bibirnya tersenyum, tetapi lekas merengut setelah kau menggeleng.

Kau cepat melangkah sambil memikirkan nasibmu yang nyaris menjadi calo masker, dan ketika kau sudah selesai berbelanja kau melihat bapak itu masih ada di parkiran, membujuk orang lain yang mau dia titipi belanjaan.

Kau memundurkan mobil dan memacunya lurus sampai Polsek Serpong, belok kiri, lurus lagi sampai Green Office Park, belok kiri lagi, melewati bundaran The Avani, sampai akhirnya tiba di kampus BSD. Kau memperlambat laju mobilmu karena kau melihat satpam berdiri dekat mesin karcis parkir.

"Selamat siang, Ibu," katanya memberi hormat.
Kau menurunkan jendela. "Siang, Pak."
"Karyawan?"
Kau mengangguk grogi, tiba-tiba sadar kau lupa membawa kartu karyawan, yang bahkan, setelah kau ingat-ingat lagi, tidak tahu ada di mana. Kau juga tidak mengenal wajah satpam ini. Sembilan bulan telah membuatmu tidak mengenal siapa-siapa di kampus ini.
"Sudah mengisi form assessment kesehatan?"
Kau menggeleng seperti orang bodoh.
Satpam terlihat prihatin. Ia mengambilkan karcis untukmu, dan memberi instruksi agar kau mengisi form yang dimaksud di resepsionis depan. Kepalamu ditembak dan kau tidak demam.

***

Little darling, I feel that ice is slowly melting.
Little darling, it seems like years since it's been clear.

Kau gembira sekali bertemu dengan kawanmu dan kalian mengobrol seperti tidak ada hari esok. Pembicaraan kalian terhenti ketika kau mengeluh lapar tapi kawanmu tidak berani makan di luar--dia membawa bekal--dan kau harus mencari makan sendirian. Kau memutuskan untuk sekalian pulang. Kau menyusuri area BSD dan berhenti di sebuah warung makan kecil yang berjualan mie ayam.

Baru saja kau selesai parkir, seorang pelayan menghampirimu dengan membawa sebuah menu. Dia mengetuk kaca jendelamu. Kau mengenakan masker dan membukanya.

"Bisa pesan di sini dan makan di mobil, Kak," katanya.
Kau sebenarnya ingin makan di rumah tapi kau sudah kelaparan. "Mie pangsit satu," katamu.
Pelayan mencatat pesananmu dengan riang dan kau sadar betapa berartinya satu pelanggan di masa-masa seperti ini. Kau menyetel album kesukaanmu--Monk's Dream--dan menunggu pesananmu datang.

Pelayan mengetuk kaca jendelamu lagi. Di tangannya ada mangkuk. Kau mengusap tanganmu dengan sanitizer sebelum mulai makan. Lalu kau melihat seorang pengendara ojek daring berteduh dari panas matahari tak jauh dari tempatmu memarkir mobil. Kau keluar, dan menawarinya makanan yang belum kausentuh. Dia mau. Kau memesan satu lagi, dan, setelah ragu sejenak, kau ikut duduk di sebelahnya (tidak terlalu dekat, tentu saja) dan kalian makan bersama sambil bercerita tentang apa saja.

***

Sore itu kau menyetir pulang dengan hati lapang. Kau menyadari semua orang sedang bertahan dengan situasi dan caranya masing-masing, dan kau ingin menjadi bagian dari mereka yang tabah sampai akhir.

Sun, sun, sun, here it comes...
Sun, sun, sun, here it comes.

Foto oleh Daniel von Appen di Unsplash

No comments