WFH yang WTF




Malam itu ponsel bergetar. Pesan WhatsApp masuk dari temanku si Juned, seorang pemuda berusia 30-an yang masih berdandan seperti anak kuliahan. Juned sering menghubungiku untuk berkeluh-kesah. Dia tinggal seorang diri di sebuah apartemen di Jakarta Selatan, dan belakangan ini situasi membuatnya hampir mampus dikoyak-koyak sepi.

Tema curhatan Juned kali ini adalah kerja dari rumah alias We eF Ha yang membuatnya kewalahan. Para bos Juned, golongan baby boomers yang selalu merasa paling tangguh dan kalian semua cengeng, terkagum-kagum dengan kehebatan teknologi video conference seperti Zoom atau Google Meet. "Dengan ini kita bisa rapat kapan saja, di mana saja," seru salah seorang bos Juned dengan mata berbinar-binar seperti orang jatuh cinta.

Si bos lalu mengembangkan hobi baru: rapat dengan jam semena-mena dan durasi yang minta ampun panjangnya. Kadang jam 8 pagi sampai 3 sore, kadang rapat baru mulai jam 9 malam dan berakhir nyaris tengah malam. Bos Juned juga tak ragu menghubungi anak-anak buahnya pada akhir pekan. Mereka toh bekerja dari rumah, tentunya ada banyak waktu luang.

"Waktu HaeRDe bilang kerja dari rumah menjanjikan fleksibilitas, bukan hal macam ini yang kubayangkan," ketik Juned panjang-lebar.
"Ini kok kamu enggak nelepon aja, sih?"
"Masih rapat, Cuy."
Aku memeriksa jam di ponsel. Setengah sebelas. "Gile bener."

Juned melanjutkan curhatannya. Belum lama ini, di kantornya ada seorang pegawai baru yang tidak lulus masa percobaan lantaran keseringan izin. Usut punya usut si pegawai itu bolak-balik ke psikolog karena sedang masa pemulihan depresi. Manager yang kebagian tugas mengawasi si pegawai baru, kebetulan atasan Juned. Dia mengeluh, "Saya bingung sama generasi kalian. Sedikit-sedikit stres, dikerasin dikit langsung ke psikolog. Zaman saya dulu dapat kerjaan saja udah syukur."

Aku menenteng ponsel ke dapur sambil mencari-cari filter kopi. Curhatan Juned kali ini sepertinya bakal intens dan butuh perhatian ekstra.

"Yang dibilang atasanku itu tuh," kata Juned, "adalah privilege para boomers di dunia kerja yang bahkan enggak mereka sadari."

"Privilege gimana maksudmu?" balasku, sambil mengetik laman kbbi.web.id buat mencari padanan kata privilege. Bah, ternyata sudah diserap jadi privilese. Aku menggumamkan kata "pri-vi-le-se" dengan canggung sambil membayangkan Ivan Lanin menyeringai.

"Ya privilege berupa batas urusan kantor dan rumah yang jelas, Cuy. Bayangkan: pulang kantor bisa langsung makan malam, terus nonton teve atau ngobrol sama keluarga. Pindah dari mode kantor ke mode rileks. Kalau pun ada urusan yang mendesak banget, paling ke telepon rumah. Enggak ada hape yang bikin mereka bisa dihubungi kapan saja, atau aplikasi chat yang bikin mereka selalu online. Kayak generasi kita yang bawaannya tegang terus tiap liat hape.

"Akhirnya jadi gampang stres."
"Terus dibilang cengeng, kurang tangguh."
"Kurang tangguh matane!" Juned mulai misuh-misuh.

Aku menghirup kopi. "Dulu aku pernah ngobrol soal ini sama teman-teman di Twitter. Ada satu teman yang cerita, gara-gara terlalu sigap balesin chat urusan kantor, dia jadi berantem hebat sama suaminya dan akhirnya memilih resign."

"WTF."

"Mereka punya kebiasaan makan malam berdua sepulang kantor. Suaminya marah karena sepanjang makan, si istri enggak berhenti pegang hape, balesin chat, kadang angkat telepon. Gajinya sih gede, tapi budaya kerja begitu mana tahan?"

"Kita ini benar-benar dipecundangi teknologi."

Selama lima belas menit berikutnya, Juned tidak mengirim pesan lagi. Aku menghabiskan kopiku, mencuci gelas, lalu mematikan lampu ruang tengah. Saat aku sedang bersiap-siap tidur, ponsel berdering lagi. Kali ini Juned menelepon.

Kata-katanya memberondongku seperti peluru.

"Cuy, barusan aku WA kamu, maksudnya mau numpang maki-maki bosku. Aku emosi karena rapat enggak kelar-kelar. Aku bilang dia kampret, @^%#Q^#%, ^%#$(^%#(*&$^(*&, dan (*#$^#$_(*#&$(*," Juned mengucapkan kata-kata yang tidak pantas didengarkan manusia baik-baik.

"Terus?"

"Malah kekirim ke bosku!"

WTF!

No comments