Photo by Myke Simon on Unsplash |
Oleh Andina Dwifatma
innuendo. noun. (the making of) a remark or remarks that suggest something sexual or something unpleasant but do not refer to it directly. -- Cambridge Online Dictionary
Na yang baik,
Seharian kau
uring-uringan lantaran salah satu pengarang kegemaranmu, Sherman Alexie,
tersangkut kasus pelecehan seksual. Konon ada puluhan perempuan yang mengadu telah disakiti, dipermalukan, dan
dilecehkan oleh Alexie. Kebanyakan dari mereka adalah cewek muda
keturunan Indian, seorang native seperti dia. Penulis Litsa Dremousis, salah satu
(bekas) sahabat Alexie yang kecewa berat dengan kenyataan ini bilang, “He
was so good to so many of us & absolutely monstrous to others. And as
someone told me, he knew exactly whom to target.”
Kamu tentu saja boleh kecewa. Saat kita suka pada karya seseorang, seringkali kita
jadi membayangkan yang bagus-bagus tentang dia. Aku ingat kamu menamatkan “Adu
Jotos Lone Ranger dan Tonto di Surga” lantas dengan lebay berkata,
itulah buku terakhir yang harus kubaca andaikata besok dunia kiamat. Mungkin
kamu telanjur membayangkan Sherman Alexie sebagai seseorang yang menarik dan
seru seperti cerita-ceritanya. Apa boleh buat, Na, orang bisa sangat hebat sebagai seniman atau ilmuwan
atau politikus atau pemuka agama atau apapun juga, tapi menjijikkan sebagai
manusia.
(Aku tidak membaca “Adu Jotos” sampai habis, maaf. Rasanya aku ketiduran
di tengah jalan dan keesokan harinya aku sudah berpindah ke buku lain lagi.)
Melalui
catatan ini, aku ingin mengajakmu berhenti bersedih dan melihat gambaran
besarnya. Sherman Alexie tidak sendiri; ada banyak bajingan predator seksual, dan
sekarang seluruh dunia sedang bangkit melawan mereka.
Fakta bahwa semakin banyak pihak yang melapor, menunjukkan pelecehan seksual
ini seperti fenomena gunung es: yang kaulihat baru puncaknya.
Na yang manis,
Pada
Oktober 2017 lalu, The New York Times
dan The New Yorker memberitakan
sejumlah tuduhan pelecehan seksual terhadap produser kenamaan di Hollywood,
Harvey Weinstein. Sekarang sudah ada 80 korban yang melapor. Aktris Alyssa
Milano lantas memulai sebuah gerakan lewat akun Twitter-nya. Dia mengajak siapa
saja yang pernah mengalami pelecehan atau kekerasan seksual, membalas twit dia
dengan menyertakan kata ‘me too’.
Hanya dalam semalam, twit Alyssa mendapat 55.000 balasan dan menjadi trending hashtag di Twitter. Per
Desember tahun lalu, tagar #MeToo sudah dipakai oleh pengguna Twitter di 85
negara dan diposting 85 juta kali di Facebook.
Hollywood
pun riuh. Semenjak Weinstein, ada puluhan tokoh dunia hiburan yang kena tuduhan
serupa. Mulai dari komedian Louis C.K., aktor Kevin Spacey, Ed Westwick, James
Franco, Steven Seagal, Ben Affleck, dan masih banyak lagi. Umumnya reaksi para
tertuduh ini serupa belaka: antara bilang pelapornya mengada-ngada, atau
peristiwa itu terjadi atas dasar suka sama suka.
Kuceritakan
salah satunya. Suzie Hardy, pengarah gaya Ryan Seacrest, melapor bahwa sang
pembawa acara terkenal itu telah melecehkannya
selama 7 tahun. Seacrest pernah
menghampirinya hanya dengan mengenakan celana dalam, menempelkan penisnya ke
bagian belakang Hardy, merogoh vaginanya, dan suatu kali menampar pantat Hardy
keras sekali sampai meninggalkan bekas. Hardy mempertahankan pekerjaannya
karena harus membiayai anak perempuannya. Masa sih, yang begini dibilang suka
sama suka?
Atau
pengalaman aktor Brendan Fraser yang menghilang tiba-tiba setelah sukses
bermain sebagai arkeolog di film The
Mummy dan The Mummy Returns.
Fraser baru-baru ini bilang dalam sebuah wawancara, tahun 2003 dia dilecehkan
oleh Philip Berk, anggota Hollywood Foreign Press Association (HFPA). Kata
Fraser, di sebuah pesta, Berk meraba pantatnya lalu menyentuh area di antara
pantat dan kemaluan. Fraser merasa mual, ingin muntah dan menangis. Peristiwa
itu membuatnya menarik diri dan jadi depresi. Saat dikonfrontasi, Berk bilang
peristiwa itu memang terjadi tapi dia hanya “bersenda gurau” (‘in jest’).
Kau
lihat, Na, alasan “suka sama suka” dan
“cuma bercanda kok” ini problematik. Istilah ini menunjukkan bahwa ada banyak
aktivitas seksual yang dianggap wajar oleh sekelompok orang, padahal itu
menyakitkan buat yang lain. Bayangkan orang lain menepuk pantatmu, mencubit
pipimu, atau menciummu di depan umum. Buat pelaku, ini mungkin sesuatu yang
biasa-biasa saja, sementara buatmu hal itu bikin nggak nyaman setengah mati.
Dari
mana orang menyimpulkan makna kode-kode seksual, misalnya pemakai rok mini itu
seksi sehingga pantatnya boleh ditepuk, perempuan cantik boleh dicubit pipinya,
paha terbuka itu ‘mengundang’, dan banci boleh ditertawakan habis-habisan?
Salah satunya adalah dari budaya pop, termasuk budaya layar seperti film
bioskop dan acara televisi.
Budaya
pop itu tidak remeh atau kacangan, Na. Dia justru mencerminkan standar sosial
budaya dalam masyarakat. Soalnya, produk budaya pop itu dibikin dengan tujuan
tunggal, yaitu supaya laku. Itulah mengapa para kreator berupaya menciptakan konten yang dimengerti
dan diterima oleh khalayak.
Gawatnya,
pada banyak film, seks sering diselundupkan sebagai bahan lelucon. Dari mulai
film berkategori remaja, dewasa, bahkan film-film kartun anak buatan Disney. Di
Indonesia sendiri, kalau kau nonton film Warkop DKI (baik yang orisinal maupun
yang versi reborn), selalu ada adegan
yang melibatkan perempuan seksi. Aku ingat adegan Kasino mengintip perempuan
ganti baju di pantai, lalu kabur ketika melihat cup bra perempuan itu ada tiga. Rupanya, perempuan yang punya tiga
buah dada itu lucu sekali.
Di
Indonesia, film-film bermutu pun latah menggunakan formula ini. Tokoh
sekretaris Anita (Yeyen Lidya) di film Cek
Toko Sebelah (2016) digambarkan gemar berbaju seksi, mempertontonkan
payudaranya yang besar. Kemunculan Anita selalu ditandai dengan adegan slow motion dan cowok ngiler melihat
payudaranya. Salah satu adegan bahkan menunjukkan seorang cowok bengong melihat
Anita, lantas meremas-remas dada teman cowok di sampingnya. Adegan ini
merupakan pelecehan seksual yang digambarkan terang di depan mata, tapi kita
disuruh ketawa seolah itu lucu.
Formula
ini diulang lagi di Susah Sinyal
(2017). Tokoh pasangan honeymooners
pemilik tambak udang (Chew Kinwah) dan istrinya yang seorang pedangdut seksi,
bolak-balik mengisyaratkan mereka aktif melakukan hubungan seksual. Ketika
disinggung bahwa kamar mereka paling berisik se-penginapan, sang suami bilang,
“Dia nih yang berisik. Kalau saya sih bagian ‘kerja’.” Lalu ketika malam-malam
Yos (Abdur Arsyad) dan Melki (Arie Kriting) mendengar teriakan dan mengira ada
yang kemasukan, Melki dengan enteng berkata, “Eh tapi kalau lagi bulan madu,
memang ada yang ‘kemasukan’ toh?”
Na yang
cerdas,
Menurut
Seno Gumira Ajidarma dalam salah satu artikelnya tentang bahasa lelucon,
semangat humor selalu mengandung agresi. Artinya, ada pihak yang diserang,
ditanggapi, dihadapi, atau dilawan. Sexual
innuendo menjadi lucu karena menyerang, menanggapi, menghadapi, atau
melawan perkara seksual, baik alat kelamin (penis, vagina) maupun hubungan
seksual.
Sexual innuendo menjadi lucu karena
membicarakan hal yang "enggak sopan dibicarakan". Orang butuh
menyalurkan agresi mereka soal seks
dengan cara-cara yang bisa diterima publik, makanya guyonan yang nyerempet
digemari. Padahal, apa sih yang lucu dari alat kelamin dan penggunaannya?
Alat
kelamin adalah perangkat yang digunakan untuk rekreasi dan reproduksi. Alat
kelamin enggak lebih penting maupun lebih menjijikkan dari tangan, siku,
hidung, dan alat-alat tubuh yang lain. Alat kelamin hanya perlu disembunyikan
karena kesepakatan kebudayaan kita mengatakan demikian. Dan alat kelamin
menjadi "lucu", ya, karena disembunyikan itu.
Makanya
kemudian ada banyak kata "normal" yang mengacu pada alat kelamin:
burung (penis) atau gunung (payudara). Dari kecil kita tidak pernah diajari
menyebut alat kelamin (penis, vagina) sebagaimana adanya karena
"saru". Makanya ketika membahas reproduksi di pelajaran Biologi,
sekelas cekikikan.
Cek Toko Sebelah ditonton oleh 2,5 juta orang
dan Susah Sinyal memperoleh penonton
2 juta orang. Warkop DKI Reborn malah
sempat menduduki puncak box office
film Indonesia dengan total 10 juta penonton. Artinya, ada 14 juta orang lebih
yang menonton film dengan selipan seks sebagai lelucon.
Konten
dan medium itu saling mempengaruhi, Na. Lelucon berbau seks digunakan dalam
film karena dianggap sebagai kewajaran, padahal semakin sering orang menonton
adegan sexual innuendo dalam film,
semakin dia menerima hal tersebut sebagai sesuatu yang wajar. Aku cemas,
semakin orang menangkap pesan bahwa bercanda atas nama seks itu wajar, akan
semakin banyak pelecehan fisik maupun verbal yang terjadi dalam kehidupan
sehari-hari. Ketika dikonfrontasi, pelaku boleh jadi akan berlindung di balik
kalimat, “cuma bercanda kok, serius amat!”.
Na
tersayang,
Soal
Sherman Alexie, kau boleh—dan perlu—mengambil sikap. Debbie Reese, editor blog
American Indians in Children’s Literature, menghapus foto dan semua artikel
tentang Alexie yang sudah nongol selama 11 tahun, sebagai bentuk protes. Harvey
Weinstein dipecat dari perusahaannya sendiri, The Weinstein Company. Aku
sendiri sudah berhenti nonton film-film Woody Allen, walaupun
kautahu aku suka sekali You Will Meet a
Tall Dark Stranger dan Midnight in
Paris.
Selain
boikot, langkah lain yang produktif juga perlu diambil. Para kreator konten budaya
massa sebaiknya berhenti menyelipkan sexual
innuendo di karya-karya mereka. Bukankah banyak hal lain yang bisa
dijadikan bahan lelucon?
Lalu,
daripada menganggap seks sebagai sesuatu yang tabu dan hanya boleh ditertawakan
diam-diam, lebih baik kita sungguh-sungguh merancang pendidikan seks untuk
anak-anak kita. Jangan sampai mereka mengalami kehamilan tak direncanakan atau
tertular penyakit karena tidak tahu fungsi alat reproduksinya sendiri.
Tempo hari ada gadis remaja pengguna Twitter yang dirisak warganet karena menyarankan perempuan yang sedang mens untuk tidak berenang. Soalnya, kata dia, sperma laki-laki yang berenang di air kolam bisa masuk lewat pori-pori kulit! ***
Tulisan ini pernah dimuat di Jurnal Ruang, 28 Februari 2018.
No comments