Doom-Surfing

Hari-hari ini main media sosial rasanya serba salah: di satu sisi kita butuh informasinya, di sisi lain, terlalu banyak asupan kabar buruk bikin gampang sedih dan frustrasi.

Kalau kamu sepertiku, karantina diri yang sudah berjalan berminggu-minggu ini justru membuat intensitas penggunaan media sosial meningkat. Aku jadi lebih ingin terhubung dengan dunia. Ingin selalu update, ingin tahu kabar orang-orang, ingin tahu perkembangan isu. Aku hampir selalu online di Twitter, lebih rajin buka Facebook, dan gercep bales WhatsApp masnya.

Mungkinkah karena selama ini media sosial menjadi perpanjangan dari komunikasi interpersonal kita (haaaah... kitaaa?) *mencolek Marshall McLuhan*



Kiamat sudah dekat

Salah seorang pengguna Collins Dictionary mengusulkan kata 'doomsurfing' sebagai istilah baru, yang diartikan sebagai 'surfing the web for frightening content relating to Covid-19'. Mungkin inilah yang selama ini kita lakukan di medsos: browsing timeline dan nge-like artikel, berita, jurnal, thread tentang corona... lalu nangis sendiri. Doomsurfing adalah kegiatan yang mungkin tidak produktif, tetapi sulit dihindari. Apalagi dengan sistem kerja algoritma sekarang ini; makin banyak kita mencari berita-berita 'miring' tentang Covid-19, makin buanyakkkk artikel serupa yang disodorkan ke hadapan kita.

Bukannya enggak berterima kasih loh, pada para penulis artikel dan pembuat thread. Di tengah informasi yang simpang-siur dan Menkominfo Johnny G Plate (btw katanya beliau aslinya orang Tegal loh, soalnya G plate, nek AB plate ya berarti orang Jogja, lucu kan, ketawa dong...) yang terus-terusan memberi komentar absurd, keberadaan sumber informasi yang cerdas, tajam, dan andal bagaikan cahaya di kegelapan.

Kalau bukan dari Twitter, aku pasti enggak tahu tentang bahaya herd immunity, tentang permodelan statistik penderita Covid-19 di Indonesia yang mencapai puluhan ribu, tentang kemungkinan puluhan juta orang Indonesia akan mati, tentang prediksi dampak pandemi yang mungkin akan makan waktu bertahun-tahun, tentang penderitaan orang-orang yang pada di-PHK, seorang bapak yang menukar TV dengan beras saking desperate anaknya gak bisa makan, ojol yang dikerjain pelanggan, dst dst.   

Hanya saja, pada satu titik tertentu, segala pencerahan ini pelan-pelan mengikis harapan (yang sesungguhnya sudah tipis) dan memupuk kecemasan. Lha, masalanya, dihindari sama sekali juga enggak bisa. Apa kita mau jadi orang yang masa bodoh, serba ignorant, dan hanya memikirkan keadaan diri sendiri? Kan jadinya serba salah seperti perasaanku kepadamu.

Aku kasak-kusuk dengan beberapa teman soal ini. Ada teman yang jadi membatasi jam online di media sosial, selebihnya ponsel dia kunci di dalam lemari. Ada yang lebih ekstrim, hanya akan nongol di media sosial seminggu sekali. Ada yang lebih selektif membaca berita. Ada yang mengandalkan orang yang dia percaya sebagai gatekeeper berita; alias hanya membaca artikel/berita/informasi apa pun yang direkomendasikan orang tersebut.

Mungkin benar kata Spice Girls, too much of something is bad enough.. (you sing you lose). Kita harus tahu sampai di mana batas kemampuan kita menerima informasi biar enggak overwhelmed. Solusi lain? Lakukan sesuatu. Tempo hari aku keluar rumah, berkeliling membagikan masker ke orang-orang yang bekerja di jalanan di sekitar perumahan. Pulangnya, aku merasa lebih baik. Dunia ternyata terus berjalan di luar ketakutanku, dan betapa pun kecilnya, aku punya kesempatan untuk berbuat sesuatu. ***

No comments