"Nina Dapat Uang Dua"

Di Dusun Sumber Nayu, Kelurahan Joglo, Surakarta, Idul Fitri dirayakan semua orang. Warga Muslim maupun bukan, berdandan rapi sejak pagi dan saling mengunjungi begitu solat Ied selesai. Momen saling mengunjungi ini tidak perlu lama-lama, sekadar cukup untuk bersalaman dan, buat anak-anak kecil, mengantungi salam tempel.

Ini pertama kalinya anakku Nina berlebaran hari pertama di rumah akung-utinya. Biasanya kami baru akan mudik pada hari H atau H+1. Tahun ini, kami menempuh perjalanan 13 jam naik mobil dari Tangerang Selatan ke Surakarta empat hari sebelum takbiran.

"Ibu, ada dog lucu!" Nina menggoyang tanganku yang menggandengnya berkeliling rumah tetangga. Akibat terpaan video YouTube, Nina kadang mencampur bahasanya.

Nina rupanya menyenangi seekor dachshund berwarna hitam. Anjing kecil itu bertampang ramah, mondar-mandir mengelilingi Nina. Anakku takut-takut, tapi kegirangan. Dachshund itu dikejarnya, dan bila dachshund mengejar balik, Nina buru-buru lari memelukku dengan mata berbinar.

"Ini namanya Molly," kata tetangga pemilik anjing tersebut. Seorang bapak berkemeja batik. Rambutnya dicat oranye. Kami lalu bersalaman. "Maaf lahir batin," kata dia tulus, padahal mungkin baru sekali itu kami ketemu.



 Molly mohon maaf lahir batin ya gaes..


Molly dipelihara oleh salah satu kerabat Mbah Mul, tetangga ibu mertuaku yang usianya sudah 89 tahun. Rumah Mbah Mul terletak persis di belakang rumah kami. Rumah itu kecil, tapi halamannya luas. Anak-anak tetangga senang main di pekarangan rumah Mbah Mul. Dulu di pekarangan ada pohon bambu, mangga, jambu dan trembesi. Kata suamiku, dulu anak-anak kampung (termasuk dia) suka bermain meriam bambu di halaman belakangnya. Sekarang pohon-pohon itu sudah ditebang untuk membangun rumah anak-anak dan kerabat Mbah Mul.

"Lha kok ayu men kowe," kata Mbah Mul sambil mencium pipi Nina. Kuminta Nina salim. Mata Mbah Mul berbinar-binar menatap anakku. Yang ditatap mesem-mesem saja, lalu meminta turun dari gendongan untuk main kejar-kejaran lagi dengan Molly.

Mbah Mul mengenakan rok kembang-kembang warna coklat. Tubuhnya mungil. Bibirnya agak merah berkat gincu. Dia kelihatan senang sekali dikunjungi. Berkali-kali menawari makan. Karena pendengarannya sudah agak berkurang, Ibu dan Bapak harus agak menunduk saat bicara dengan Mbah Mul. "Nyuwun pangestunipun, Mbah," kata Ibu berkali-kali, khidmat. Memang di keluarga Jawa, menghormati orang tua adalah salah satu bentuk unggah-ungguh yang paling utama. Saat kami mengobrol, seluruh keluarga Mbah Mul yang kebetulan ada di rumah, keluar. Kami bersalam-salaman, berkenalan, saling meminta maaf.

Mbah Mul beragama Kristen, tapi kerabatnya ada juga yang Islam. Ketika kami hendak pamit, Mbah Mul memanggil Nina. Dari dompetnya keluar uang dua puluh ribuan. Nina menerima, lalu dengan polos bertanya padaku, "Ini uang ya, Ibu? Buat apa?"

Kami semua tertawa. Lalu berpamitan.

Berikutnya kami datang ke rumah Pak Miarso. Letaknya persis di sebelah kiri rumah kami. Anak kedua Pak Miarso, Duanto, dan suamiku sudah berteman sejak balita. Duanto sekarang menjadi wartawan Tribun Jambi. Kedatangan kami disambut dengan sangat hangat. Pak Miarso, seorang pensiunan Departemen Penerangan, berkali-kali berucap, "Nderek bingah, nderek bingah.."

Nina tertarik melihat burung dalam sangkar di pekarangan rumah. Anak-anak Pak Miarso dengan senang hati menggendong dan menjawab pertanyaan Nina, yang memang lagi cerewet-cerewetnya di usia 3 tahun. Anakku memang senang bergaul, tidak pernah malu-malu bila bertemu orang baru.

Kami mengobrol hangat di pekarangan. Pak Miarso dan bapak mertuaku membahas perkembangan di kampung. Menantu Pak Miarso, suami dari anak pertamanya, menanyakan masalah tanah ke suamiku. Keluarga Pak Miarso beragama Katolik. Bila Natal tiba, adegan ini akan berulang. Bapak dengan suka cita mengucapkan selamat merayakan hari Natal. Bagi Pak Miarso dan Bapak, dan pasti banyak orang di dusun kami, Lebaran dan Natal adalah hari raya bersama. Tidak perlu dicemari dengan prasangka dan curiga.

"Ibu, lihat! Nina dapat uang dua!" Anakku mengibarkan selembar uang. Rupanya dia baru mendapat Te Ha eR kedua hari itu. Kami tersenyum. Mudah-mudahan, berpuluh-puluh tahun yang akan datang, masih ada Indonesia yang baik-baik saja untuk Nina dan generasinya. ***

No comments