Semakin Tua, Semakin Pragmatis?

Dulu Aulia senang menulis puisi. Biodata di Twitternya pernah tertulis: PNS alias Penyair Negeri Sipil. Menulis puisi adalah cara Aulia memahami dunia dan menerjemahkan realita, sekaligus senjata untuk menjerat hatiku dan mengajakku meniqa--ehehehe. Selama karier kepenyairannya yang sayangnya terlalu singkat itu, Aulia pernah memenangkan dua kompetisi puisi, yaitu sayembara menulis puisi Dewan Kesenian Jakarta 2012 dan sebuah kompetisi puisi lewat media sosial.

Nah, akhir-akhir ini, dia jadi jarang menulis puisi. Menurut Aulia, itu karena dia enggak pernah lagi baca buku filsafat, terutama yang beraliran eksistensialisme. Dulu, ilham sering datang padanya setelah membaca ide-ide Sartre, Derrida, Foucault, dan turunannya. Salah satu buku yang menyuburkan ilham kepenyairannya adalah karangan Sindhunata, Dilema Usaha Manusia Rasional (1982, 1993).

Kini, Aulia merasa buku-buku filsafat eksistensialisme itu tidak terlalu "berfaedah". Dia lebih tertarik pada persoalan-persoalan yang konkret, misalnya sejarah, politik, ekonomi, atau teknologi. Berbagai topik itu lebih bisa menjawab pertanyaan tentang beragam realitas sosial dan bagaimana kita harus menyikapinya.

"Filsafat eksistensialisme kelihatan canggih saat kita masih muda dan masih banyak bertanya 'why'," kata Aulia padaku. "Tapi seiring bertambahnya umur, aku jadi lebih sering bertanya 'so what'."

Ada beberapa kemungkinan di sini:

A. Bertambah usia membuat orang jadi pragmatis
B. Pernikahan membuat orang jadi pragmatis
C. Punya anak membuat orang jadi pragmatis
D. Semua benar-WKWKWK.

Akar dari pragmatisme, kau tahu, adalah logika. Tumbuh dewasa artinya kita menghadapi beragam masalah, dan cara menyelesaikannya seringkali cuma satu: pakai logika. Kita 'didoktrin' untuk tidak menuruti kata hati karena hati itu lemah dan banyak maunya. Jika hidup ibarat perang, logika adalah senjata terbaik yang harus kita bawa ke mana-mana. Dia dingin, terukur, dan akan menyelamatkanmu dari jebakan-jebakan yang bisa membuatmu terperosok, terjatuh dan tak bisa bangkit lagi.


Sumber

Tapi, benarkah logika itu yang terbaik? Tidak pernahkah terlintas di benakmu, sedikit saja, bahwa logika itu barangkali overrated? Tidak pernahkah logika merampokmu dari kebahagiaan kecil dalam hidup? Menjadi logis mungkin telah menyelamatkanmu dari banyak persoalan hidup, tapi apakah kau selalu, selalu, bahagia karenanya?

Misalkan kau naksir orang lain padahal kau sudah punya pasangan. Hampir pasti nasihat yang kauterima adalah: pakai logika, jangan rusak hubunganmu dengan pasangan, sayang reputasimu, dan sejenisnya. Atau kau putus dengan pacar setelah bertahun-tahun berhubungan. Nasihat yang dilemparkan orang padamu: jangan ditangisi, nanti akan dapat ganti yang lebih baik, belum jodoh, dan seterusnya.

Kenapa kau tidak boleh berdebar-debar sepuasnya atau nangis habis-habisan? Kenapa setiap hatimu berteriak, refleks pertamamu adalah membekapnya, melarangnya bicara, dan memanggil logika untuk mengambil alih? Memangnya apa salah hati? 😢

Perasaan itu sendiri--apapun bentuknya, kapanpun momentumnya--adalah sesuatu yang indah. Punya perasaan kepada orang lain adalah tanda bahwa hati kita masih lembut. Ia masih bisa merespons kebahagiaan atau tragedi yang dunia lemparkan. Mungkin orangnya salah, mungkin waktunya tidak tepat, tapi perasaan itu sendiri tidak salah dan tidak akan pernah salah.

Ada artikel yang menyebut bahwa jatuh cinta terjadi dalam tiga tahap, lust, attraction, attachment. Dan ketiga tahap ini sebenarnya hanya trik otak membujuk tubuh untuk bereproduksi. Enggak ada yang namanya jatuh cinta secara 'random', Kawan. Kita hanya akan tertarik pada orang yang dengannya kita punya potensi besar meneruskan keturunan. Dengan kata lain, saat kau naksir orang, sebenarnya itu tubuhmu sedang teriak-teriak ingin bereproduksi dengan yang bersangkutan.

Dipandang dari sudut ini pun, perasaan tetap sesuatu yang indah. Artinya, tubuhmu masih menjalankan fungsinya, yaitu keinginan bereproduksi. Manusia kan, tidak diciptakan untuk bermonogami, tetapi untuk melanjutkan keturunan. Institusi pernikahan itu barang ciptaan manusia untuk menjebak diri sendiri :P

Tentu saja aku tidak sedang menyarankan agar kita ramai-ramai balikan sama mantan atau bobo-bobo persahabatan (HAHAHA) kanan-kiri. Aku hanya ingin mengusulkan: lain kali kita merasa terjebak dalam perasaan yang 'salah', coba pejamkan mata, terus tarik napas panjang. Alih-alih menghukum diri sendiri dan merasa sebagai orang paling brengsek sedunia, terima sajalah. Embrace your feelings, for they are beautiful.

Dan tentu saja ini tidak berlaku hanya untuk masalah percintaan, tapi juga pekerjaan, karier, pencapaian hidup, dan persoalan-persoalan lain yang lebih profan. Kalau kau sedang mentok, berhenti dulu sebentar. Tidak usah selalu pusing mencari solusi untuk setiap persoalan di kantor. Diam saja dulu, resapi perasaanmu. Baru setelah itu kau bisa memikirkannya lagi dengan lebih tenang. Kau bahkan bisa membisiki dirimu sendiri, "Ya inilah prosesku memberi makan eksistensi diri. Masak hidup cuma dipakai tiduran?"

Dengan tidak selalu bersikap pragmatis dan logis sepanjang waktu, kita punya kesempatan untuk mengakui dan berdamai dengan perasaan sendiri. Is not that the most important thing?

No comments