Kerja Pengarang dan Jejak Cerita SGA: Sekadar Catatan Penyunting

Pengantar kumpulan cerita pendek Senja dan Cinta yang Berdarah (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2013)



“Boleh bisa apa saja, termasuk menulis. Boleh tidak bisa apa saja, kecuali menulis.”

Itulah jawaban Seno Gumira Ajidarma ketika suatu hari saya iseng bertanya bagaimana cara jadi pengarang hebat. Di antara  obrolan kami seputar dunia kepenulisan, kalimat itu yang paling saya ingat. Kini—khususnya pada saat menulis catatan ini—saya baru menyadari, kalimat tersebut rupanya tentang konsistensi. Apapun pekerjaan kita, menulis adalah soal memberi makan eksistensi. Dan nasihat ini tidak hanya ia berikan untuk seseorang yang baru belajar menulis, tetapi juga untuk dirinya sendiri. Kumpulan cerita pendek (cerpen) yang hendak Anda baca ini adalah bukti.

Buku ini berisi 81 cerpen Seno yang dimuat di harian Kompas dalam kurun waktu 1978-2013. Bahwa Seno selalu menulis sambil melakoni sejumlah pekerjaan tetap—wartawan, pengajar, fotografer, penulis skenario—dan masih produktif, menunjukkan kecintaannya yang besar pada sastra. Menulis bagi Seno bukan sekadar mencuri-curi waktu luang, tetapi suatu panggilan jiwa. Kalau tidak dituruti, bisa merana.

Dalam dunia cerita pendek Seno, segalanya bisa terjadi. Pendekar yang berloncatan dari atap rumbia, percintaan semalam di kamar hotel mewah dengan pemandangan lampu-lampu kota,  kisah romantis dari bilik seorang PSK yang di temboknya tertempel poster Rhoma Irama, cerita anak perempuan seorang pelacur yang bingung ketika harus menulis karangan tentang pekerjaan ibunya, sampai pemandangan senja yang dalam bahasa Seno adalah “indah, begitu indah, bagaikan tiada lagi yang lebih indah”.

Cerpen-cerpen dalam buku ini disusun secara kronologis, dengan maksud agar Pembaca yang Budiman memiliki gambaran mengenai pergeseran minat kepengarangan Seno dari tahun ke tahun.  Sebagian dari  cerpen-cerpen  dalam buku ini mengalami proses sentuhan ulang (re-touch) atawa tulis-ulang (re-write). Seno sering berkata, hal itu seperti memainkan jazz. “Lagunya sama, tapi sudah jadi barang  baru,” kata  dia. Maka itu, pada  cerpen-cerpen yang cukup besar keterubahannya diberi imbuhan tanggal saat penulisan ulang tersebut.

Periode 1978-1981 terdiri dari delapan cerpen, 1982-1990 tiga puluh tiga cerpen, dan 1991-2013 empat puluh cerpen. Sejumlah cerpen mengalami perubahan judul, yakni “Salome” (1980) menjadi “Malam Panjang No. 19”, “Seorang Wanita pada Jendela” (1982) menjadi “Ia dan Jendelanya”, “Khayalan Dari Tepi Kolam Renang” (1982) menjadi “Di Tepi Kolam Renang”, “Selamat Pagi Bagi Sang Penganggur” (1982) menjadi “Selamat Pagi, Penganggur!”, “Ngesti Kurawa” (1982) menjadi “Tobong Kobong”, “Hampir Malam di Yogya” (1983) menjadi “Senja di Kuburan”, “Wanita di Muka Cermin” (1983) menjadi “Perempuan di Depan Cermin”, “Saras” (1983) menjadi “Suatu Ketika, Suatu Malam”, dan “Hidung Seorang Pegawai Negeri” (1989) menjadi “The Pinocchio Disease”.

Pada periode pertama (1978-1981), Seno alias Mira Sato (nama pena yang kemudian jarang ia sebut-sebut lagi) menyukai tema-tema eksistensial, seperti tampak dalam “Manusia Kamar”. Tokoh cerita adalah seseorang yang telah menyerap begitu banyak pengetahuan dari buku-buku seperti spons, sampai akhirnya menjadi muak pada peradaban dan enggan bertemu dengan manusia lain. Apakah orang seperti inilah yang bisa berbahagia? Ataukah semuak-muaknya kita pada peradaban, menarik diri darinya adalah suatu kesalahan?

Dalam cerpen “Menunggu”, Seno juga mempertanyakan makna kematian. Bagi orang-orang muda yang selalu ingin hidup seribu tahun lagi, kematian adalah topik yang bukan saja dihindari untuk dibicarakan, tetapi juga terasa jauh, bahkan untuk sekadar dibayangkan. Tapi, tokoh kakek tua dalam cerpen ini justru mengidamkan kematian, karena “Ibarat kata sebelah kakinya sudah berada di liang kubur. Ia merasa tidak ada kewajiban apa-apa lagi dalam hidup ini”. Yang menarik, cerpen ini ditulis oleh seorang anak muda berusia 20 tahun yang mestinya merasa hidup sedang lucu-lucunya.

Seno juga senang bermain-main dengan interplay  identitas pengarang dan tokoh, misalnya dalam cerpen “Pembunuhan” (1978). Seorang pengarang cerita detektif menulis tentang pencari kayu yang menjadi saksi mata pembunuhan di sebuah hutan. Pencari kayu melihat mayat perempuan dan lelaki yang membawa golok. Ia lari ketakutan. Meskipun polisi lantas menahan seorang bekas pasien rumah sakit jiwa sebagai tertuduh, pencari kayu jadi sering melamun karena jiwanya terguncang. Suatu kali, pria pembawa golok tiba-tiba muncul di hadapannya sambil bertanya, “Apa kabar?”

Cerita itu terputus di sini, karena tanpa diketahui si pengarang, seseorang telah menyelinap ke dalam ruang kerjanya, dan bertanya, “Apa kabar?” Ia menoleh dan merasa aneh. Dan disadarinya bahwa ia tak akan pernah bisa menjawabnya ketika orang itu pelahan-lahan mengacungkan sebuah pistol yang tampak dingin ke arah jantungnya.

Nah, permainan ada pada kata “apa kabar” yang menjadi petunjuk munculnya plot twist; dalam cerita, si pembawa golok—dalam realita (yang padahal juga fiksi), orang berpistol yang bisa siapa saja. Anda bisa lihat, sudah sejak muda Seno  menggemari gaya open-ending. Di satu sisi, ia memberi kesempatan bagi pembaca untuk kreatif berimajinasi mengakhiri cerita sesuai selera. Di sisi lain, pembaca yang senang didongengi sampai tuntas akan bersungut-sungut karena merasa cerita itu terasa menggantung dan nanggung.

Gambaran awal minat Seno pada persoalan sosial juga telah tampak dalam cerpen-cerpen seperti “Tetangga” dan “Malam Panjang”. Rumah-rumah yang berdempetan memungkinkan warga saling mendengarkan problem rumah tangga masing-masing, bukan karena sengaja menguping namun lantaran mau tak mau setiap pembicaraan pasti terdengar. Dan kisah tentang seorang pelacur yang diperkosa ramai-ramai oleh gerombolan pemuda berandalan mengingatkan kita tentang betapa hak-hak mereka yang dipinggirkan bisa terampas kapan saja; tak ada yang peduli. Menyedihkan.

Memasuki periode kedua kepengarangannya (1982-1990), Seno masih bertahan pada tema-tema eksistensialisme (misalnya dalam cerpen “Sarman”) dan kritik sosial (“Kriiiingngng!!!). Sarman adalah seorang pegawai yang melompat dari gedung perkantoran setelah menghambur-hamburkan (secara harfiah) gaji bulanannya. Sedangkan cerpen yang kedua berkisah tentang telepon di suatu gedung yang selalu berdering tapi tak pernah diangkat, sampai gedung itu akhirnya jadi gunung.

“Hallo! Bagaimana sih ini? Kenapa baru diangkat sekarang? Sudah dua ratus tahun kami menelepon! Tidak diangkat-angkat juga! Bagaimana sih? Katanya mau membela rakyat kecil! Kami ini buta hukum, kami tidak tahu prosedur, makanya kami menelepon! […] Kami tidak tahu cara lain, kami cuma rakyat kecil, kami ingin bertanya, kami merasa diperlakukan tidak adil. Kenapa baru sekarang telepon ini diangkat, ketika saya sudah hampir mati? Kami tidak minta apa-apa, kami hanya minta keadilan, kami…”

Ada pula cerpen-cerpen romantis  yang berkisah tentang hubungan gelap, suatu tema yang kemudian seringkali muncul dalam cerpen cinta SGA. Sebenarnya, pada periode sebelumnya, tema seperti ini sudah hadir dalam “Suatu Ketika dalam Kehidupan Dua Orang” (1978), tapi pada periode kedua semakin banyak cerpen-cerpen bernuansa serupa, seperti “Ia dan Jendelanya”, “Di Tepi Kolam Renang”, “Senja  di Kuburan”,  dan “Bibir yang Merah, Basah, dan Setengah Terbuka..” Seno seperti hendak mengatakan bahwa perasaan cinta bisa mampir kapan saja, termasuk ketika kita sudah berkomitmen dengan seseorang, dan perasaan itu sendiri tidak salah. Cinta dalam cerpen Seno bukan untuk dihakimi, tapi untuk dirayakan—bahkan jika berbalut kesedihan.

Periode ketiga (1991-2013) boleh dikatakan sebagai masa matang kepengarangan Seno, mengingat pada masa inilah ia menuliskan cerpen-cerpen legendarisnya, seperti “Sepotong Senja untuk Pacarku”, “Pelajaran Mengarang” (Cerpen Pilihan Kompas tahun 1993), “Sebuah Pertanyaan untuk Cinta”, “Tujuan: Negeri Senja”, “Legenda Wongasu”, “Cinta di Atas Perahu Cadik” (menjadi inspirasi film Someone’s Wife in the Boat of Someone’s Husband” karya sutradara Edwin), “Ibu yang Anaknya Diculik Itu”, “Dodolitdodolitdodolibret” yang kontroversial (Cerpen Pilihan Kompas tahun 2011), dan tentu saja, rangkaian cerpen yang terinspirasi dari Insiden Dili, 1999: “Telinga”, “Maria”, “Salvador”, “Rosario”, “Klandestin” dan “Misteri Kota Ningi”. Keberanian Seno mengungkap kekejaman tentara terhadap rakyat di Dili membuka mata banyak orang, sekaligus menginspirasi pembaca untuk menolak kekerasan dalam segala bentuknya yang mungkin.

***

Dalam suatu kesempatan diskusi di Taman Ismail Marzuki, Seno pernah menyebut bahwa ia banyak menulis cerpen karena hanya itu yang bisa diupayakan di sela-sela pekerjaannya yang padat. Jika punya waktu lebih panjang, ia akan menulis novel atau roman, terbukti  dalam Jazz, Parfum dan Insiden (1996). Seno memberi kesan seolah-olah panjang atau pendek cerita hanyalah soal teknis, tapi sebagai pembaca, saya adalah bagian dari mereka yang lebih menikmati cerpen Seno ketimbang novel atau romannya.

Seno sangat piawai menggunakan gaya kepenulisan fragmentaris, dan inilah yang membuat cerpen-cerpennya selalu meninggalkan kesan mendalam. Ibarat masakan, potongan-potongan adegan dalam cerpen Seno diramu dengan bumbu ketegangan dan romantisme yang pas sehingga tak berlebihan. Beberapa kritikus menyebut cerpen-cerpen Seno sebagai “cerpen suasana” atau “sastra koran”, tapi seperti banyak penggemar Seno, saya justru menyukai “romantisme sepotong-potong” yang selalu muncul di setiap cerpen-cerpennya.

Siapa bilang cerpen tak mempunyai daya gedor yang kuat? Saya ingat, pertemuan pertama kami terjadi di Rumah Seni Yaitu: di Semarang—yang sayangnya sekarang sudah tutup—dalam acara diskusi dan pameran fotografi “Sembilan Wali & Siti Jenar”, sekitar lima tahun silam. Meski baru kali itu bersua secara fisik dengan Seno, pertemuan melalui teks sesungguhnya sudah terjadi bertahun-tahun sebelumnya, persisnya lewat buku Penembak Misterius (1993).

Itulah buku pertama yang menggedor daya imajinasi saya sebagai anak kecil berumur tujuh tahun. Cerita itu begitu berkesan sehingga usai membacanya, saya selalu cemas tiap melihat gedung tinggi. Barangkali ada penembak misterius sedang mengarahkan moncong senapannya pada kepala saya! Tiap diajak naik mobil, saya juga selalu tiarap di kolong jok karena takut peluru bisa menembus kaca. Ya, seperti teror rasanya. Di situlah untuk pertama kali saya belajar: ternyata cerita, sependek apapun, bisa membuat kita berimajinasi dengan sangat dahsyat.

Saya rasa tak perlu menuliskan penghargaan-penghargaan yang telah diraih Seno sebagai seorang sastrawan—untuk itu ada banyak artikel lain—tapi saya hendak berbagi bagaimana ia menyikapi prestasi tersebut. Seno tak pernah mengagung-agungkan segala pencapaiannya; ia tak bangga pada piala dan selalu sebel pada penyerahan hadiah yang diikuti upacara.

Bagi Seno sebagai seorang pengarang, a kibul is a kibul and still a kibul (kalimat yang mungkin dicomotnya dari Gertrude Stein, a rose is a rose is a rose) –sebab itu posisi sastrawan tidak perlu dihebat-hebatkan. Tugas seorang pengarang adalah menghasilkan cerita  yang baik, yakni yang bisa menyihir pembaca untuk terus membuka halaman demi halaman. Untuk bisa ke sana, seorang pengarang perlu “banyak membaca buku bagus, dan menulis terus, kalau perlu sampai mampus."

Akhir kata, Pembaca yang Budiman, selamat menikmati kibul-kibul salah seorang tukang cerita terbaik di negeri ini.
   
Jakarta, Desember 2013
Andina Dwifatma

2 comments

  1. keren bu dosen, editor, penulis, penerjemah, blogger, twitter, dll. btw saya baru khatam baca blog anda. rasanya orijinal. salken.

    ReplyDelete
  2. Thanks for reading! Salam kenal, ya.

    ReplyDelete