Ruang Publik Pro Ayah - Esquire Indonesia edisi November



oleh: Andina Dwifatma

Di Kereta Rel Listrik (KRL) kita bisa menemukan bermacam-macam tanda, mulai dari dilarang membawa binatang peliharaan, dilarang membawa benda berbau tajam, sampai informasi tentang empat golongan yang berhak menduduki bangku prioritas: penyandang difabilitas, ibu hamil, lanjut usia, dan ibu membawa balita (diterjemahkan menjadi ‘mother with infant’). Golongan yang disebut terakhir ini rupanya menarik perhatian kawan saya Elan.

“Bagaimana kalau ada balita bepergian dengan ayahnya?” tanya Elan serius, ketika kami berdiri bersisian di KRL jurusan Serpong-Tanah Abang, pada suatu pagi yang mendung.

Pertanyaan Elan membawa saya pada suatu kejadian yang sudah lama lewat dan sebenarnya sudah hampir saya lupakan. Hari itu seperti biasa saya sedang bergencetan di kereta dengan puluhan penumpang yang sama-sama ingin cepat tiba di kantor agar tak kena potong gaji.

“Maaf, maaf, ada anak kecil!” Terdengar suara seorang lelaki di tengah para penumpang yang saling sikut dan dorong.

Orang-orang bergeser sedikit dan tampaklah batita sedang digendong, berpegangan erat pada leher ayahnya dengan muka panik. Badan orang-orang dewasa saling menempel dan hanya sekian senti dari wajahnya yang mungil. Si Ayah bergeser ke area prioritas dengan harapan ada bangku tersisa.

Masalahnya, bangku itu sudah dikuasai segerombolan ibu-ibu. Si Ayah tidak berani meminta, mungkin karena segan atau tidak merasa berhak. Para ibu lalu bergeser sedikit sehingga terbentuk celah kecil yang cukup untuk duduk si anak. Tapi si anak menangis keras, barangkali karena tidak ingin duduk dengan orang asing. Dia bahkan menjerit ketika seorang ibu mencoba memangkunya.
Akhirnya si ayah mengalah, kembali menggendong anaknya itu sambil berdiri. Tangan kirinya menggembol di pinggang, tangan kanan berpegangan. Kalau kereta lagi ajut-ajutan, dia harus berusaha keras menahan posisi agar tetap seimbang.

Lain lagi cerita kawan saya Aprilia, yang baru melahirkan sekitar tiga bulan lalu. Pada suatu akhir pekan, Aprilia dan suami membawa anak mereka ke pusat perbelanjaan hits di kawasan Senayan. Setelah asyik nge-mal, mereka memutuskan berbagi tugas: Aprilia memompa ASI, suaminya mengganti popok bayi. Apa daya, di pintu nursery room (yang hanya ada di satu lantai) tertulis: Mother’s Room. Ini mirip dengan nursery room  di mal kawasan Pondok Indah. Di pintunya ada tulisan “Ruang Khusus Ibu dan Balita. Pria Dewasa Dilarang Masuk”.

Rencana mereka pun bubar jalan.

Dua kisah tadi menggambarkan bagaimana timpangnya ruang publik kita dalam memperlakukan para ayah. Seruan kesetaraan gender, termasuk dalam hal mengurus anak, memang sudah ramai diperdengarkan, tetapi toh masih kikuk dalam pelaksanaan. Bayangkan jika suami Aprilia bepergian berdua saja dengan bayinya dan popok harus diganti. Apakah dia harus pergi ke toilet pria? Atau membaringkan bayinya di atas meja restoran? Dua-duanya tidak nyaman.

Padahal, di ruang publik seperti mal, melihat para ayah mengurus anak sudah bukan hal yang aneh. Banyak ayam kremes (alias ayah muda keren bikin gemes, menurut salah satu lagu dangdut) berpotongan rambut undercut dan berpakaian trendi,  tak canggung menggendong anak atau menyuapi. Fakta masih banyak mal yang melarang pria dewasa memasuki nursery room, menunjukkan bahwa semodern apapun gedung dan fasilitas mal, ternyata pola pikir pengelolanya masih tertinggal di zaman kuda gigit besi.

Itulah mengapa kita tak perlu terlalu heran ketika anggota DPR Komisi IX Irgan Chairul Mahfidz, menolak mentah-mentah wacana cuti ayah untuk kelahiran anak (paternity leave) yang beberapa waktu lalu sempat dilontarkan warga bernama Ahmad Zaini via Change.org. Menurut Ahmad Zaini, cuti ayah yang cuma dua hari sangat tidak memadai untuk mendampingi istri menghadapi kelahiran. Kadang-kadang, istri belum brojol saja suami sudah harus masuk kerja.

Nah, menurut Mahfidz, cuti ayah hanya akan menurunkan produktivitas dan merupakan  ‘tradisi bule’ yang tidak sepantasnya dibawa ke Indonesia. “Yang penting hati, bukan waktu,” demikian kata Mahfidz seperti dikutip salah satu media daring.

Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe pastilah tidak sepakat dengan Mahfidz dalam hal ini. Dua tahun lalu, Abe meluncurkan kampanye “Ikumen Project” untuk mendorong lelaki Jepang mengambil cuti ayah. Kampanye ini justru diharapkan akan dapat meningkatkan PDB hingga 15 persen. Malahan, perusahaan global seperti Ernst & Young, seperti dikutip dari riset Boston College pada 2014, melaporkan bahwa cuti untuk ibu dan ayah memberikan keuntungan untuk perusahaan dalam bentuk kepuasan kerja yang berbuntut pada peningkatan produktivitas karyawan.

Bagaimana di Indonesia? Menurut catatan kelompok dukungan Sahabat Ayah, telah dilaksanakan sebuah riset selama tiga tahun (2008-2010) di 33 provinsi di Indonesia tentang keterlibatan ayah dalam keluarga. Hasilnya, Indonesia dinyatakan sebagai salah satu negara paling fatherless di dunia. Ayah ada secara fisik, tetapi tidak turut serta dalam perawatan anak. Ayah adalah sosok pencari uang, karena itu tidak perlu direpotkan dengan pekerjaan ‘feminin’ seperti bepergian sambil menggendong anak atau mengganti popok bayi!

Akar dari segala persoalan ini adalah budaya patriarkal yang telanjur kuat mengakar di masyarakat kita. Ayah dilihat sebagai sosok breadwinner alias pencari nafkah utama. Daerah operasional ayah adalah ruang publik dengan segala kompleksitas ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Sementara, wacana perawatan anak masuk di ranah privat, dan itu milik para ibu.

Padahal, telah banyak literatur yang membahas mengenai pentingnya peran ayah dalam tumbuh kembang anak. Tidak ada gunanya mempertahankan pola keluarga zadul di mana ayah adalah sosok yang mencerminkan otoritas, galak, dan berjarak. Anak-anak akan tumbuh lebih bahagia dan mantap karakternya jika terbiasa disayang, ditemani, dirawat, dan ditimang baik oleh ibu maupun ayah. Jika dicermati, tren pembagian kerja mengasuh antara ayah dan ibu sebenarnya kian progresif (seorang kawan dengan bangga berfoto selfie mengenakan kaus REAL MEN CHANGE DIAPERS!), hanya perlu didukung dengan berbagai aturan dan kebijakan yang pro ayah.

Tulisan ini sekaligus merupakan seruan bagi pemerintah dan pengelola ruang publik, agar pembagian peran orangtua yang seimbang dan membahagiakan bukan sekadar wacana kosong. ***


Seperti dimuat di majalah Esquire Indonesia edisi November 2016.

No comments