Perang Keluarga Bernstein



Photo by Dallas Reedy on Unsplash



Shalom Auslander

Berikut adalah barang-barang yang disimpan Bernstein dalam kopor coklat rusak di bawah tempat tidurnya, dengan harapan Sang Juruselamat akan datang tiba-tiba pada tengah malam: dua pasang kaus kaki hitam, satu lembar celana hitam, sehelai kaus putih, Kitab Mazmur, roti rugalach, tiga kupluk yarmulke, kotak ayat cadangan, dua selendang untuk berdoa (satu untuk hari kerja, satu untuk hari Sabat) dan baju renang sebab siapa tahu.

"Di Akhirat," para rabi berkata pada Bernstein, "bakal ada kebahagiaan dan kesenangan abadi."
"Di Akhirat," Bernstein berkata pada istrinya, "bakal ada kebahagiaan dan kesenangan abadi."
"Aku turut sedih kau hidup begitu menderita di sini," Mrs. Bernstein membalas dari dapur.

Bernstein melewatkan setiap detik kehidupannya untuk mempersiapkan kehidupan selanjutnya. Belajar Taurat selama 45 tahun telah membuatnya yakin betul, dunia ini begitu keji, dan Akhirat sangat sempurna. Semakin ia tua, semakin ia mengenal dunia, semakin Bernstein berhati-hati. Bulan lalu, ia merayakan ulang tahun kelimapuluh.

"Kau separuh jalan menuju kuburan!" demikian bunyi kartu ucapan penuh lelucon yang dibelikan Mrs. Bernstein untuknya. Mrs. Bernstein juga punya koper di bawah ranjang, tapi isinya bukan persiapan untuk bertemu Sang Juruselamat.

Bernstein memutuskan, dengan sisa separuh umur, ia sudah kehabisan waktu untuk menumpuk pahala. Mulai sekarang, setiap tindakan dan perbuatan harus diperhitungkan secara seksama, melalui analisis cost-and-benefit antara ganjaran versus hukuman.

Jika dia terlalu lelah untuk ikut ibadah pagi, Bernstein akan memaksa dirinya mengingat berapa banyak ganjaran yang akan ia terima di Akhirat--kalau ia bisa bangun. Ia mengukur godaan burger keju dengan dua lapis daging babi renyah, versus kebahagiaan dan kedamaian abadi. Daripada duduk di Show World Peep Center sambil memegangi penisnya yang ereksi, ia memilih duduk bersama para moyang suci di Surga, bermahkotakan cinta abadi.

Hitung-hitungan spiritual ini menyita seluruh perhatiannya. Kepalanya sering pusing.

Mrs. Bernstein baru berumur 34 tahun Mei lalu, dan lebih memikirkan hidupnya yang sekarang, ketimbang masa lalu atau masa depan.

"Nonton, yuk," ajak Mrs. Bernstein pada Minggu malam.

Bernstein memikirkan segala sumpah-serapah dan imoralitas dan ketelanjangan yang mungkin saja ia saksikan di layar lebar, dan betapa mahal ongkos ke Akhirat yang harus ia korbankan. Ketelanjanganmu akan tampak dan kemaluanmu tak tertutupi. Aku akan membalas; tak ada satu pun akan terampuni.

"Yah, kalau kita nggak ke mana-mana," kata Mrs. Bernstein. "Bercinta saja, deh." Dia meraih pinggang Bernstein dengan genit. "Di sini," kata dia. "Di dapur!" Bernstein cemas ia akan melanggar perintah untuk bersikap sederhana dan berapa banyak ekstase yang akan ia lewatkan di Akhirat. Dan Tuhan berkata, karena jerit Sodom dan Gomorah begitu hebat, dan karena dosa-dosa mereka begitu pedih.

"Aku capek," Bernstein beralasan.

Mrs. Bernstein memutuskan untuk tidak menyia-nyiakan hidup hanya demi memastikan suaminya mendapat tempat duduk paling depan di surga. Dia akan melawan berkah dengan kutukan, kesalehan dengan keduniawian. Untuk setiap perintah, ada larangan. Untuk setiap ganjaran, ada hukuman.

Dia membeli baju dalam merah seksi dari Victoria's Secret dan mondar-mandir mengenakannya di dalam rumah. Dia membeli jins. Kepalanya jadi sering pusing.

Bernstein jalan kaki satu setengah mil ke sinagog tiap Jumat malam, Sabtu pagi, sore, dan malam. Pada hari kerja, ia datang pagi untuk ibadah pagi dan malam untuk ibadah malam. Lalu ia jadi kepala sinagog.

Diberkatilah ia yang membantu pembangunan sinagog.

Mrs. Bernstein menggunakan anggur haram saat Kiddush. Dia mencampur kopi suaminya dengan susu, setelah sebelumnya menghidangkan daging. Dia masak daging babi. Dia mencampur salad suaminya dengan potongan kecil-kecil daging babi asap dan bilang itu tiruan.

"Mereka yang makan daging babi dan tikus dan binatang menjijikkan lainnya, akan mati bersama-sama," demikian Tuhan berfirman.

Bernstein mulai menyembelih ayamnya sendiri karena tak percaya tukang daging. Ia mulai masak sendiri karena tak percaya istrinya. Bernstein membeli topi kulit Borsalino dari Italia seharga 4 juta rupiah untuk keperluan ibadah. Istrinya masih memakai topi yang lama.

Mereka jarang bicara--bahkan pada waktu-waktu yang langka, seperti saat Bernstein tidak sedang di sinagog, kerja amal, berdoa, atau studi Kitab Talmud. Mereka menjalani kehidupan yang berlawanan dalam dua dunia yang berseberangan.

Suatu Jumat malam, setelah selesai ibadah, Bernstein menepuk bahu istrinya. "Diberkatilah ia yang mematuhi perintah Tuhan untuk beranak-pinak," ia berbisik lembut di telinga Mrs. Bernstein.

Istrinya menatap pintu kamar dengan pandangan kosong. "Aku minta cerai," akhirnya dia berkata.

Hening panjang. Mrs. Bernstein duduk dan mengayunkan kakinya ke sisi ranjang.

"'Aku benci perceraian,' kata Tuhan Bangsa Israel," ancam Bernstein. "Maka jagalah ruhmu, dan jangan kehilangan kepercayaan!"

Di balik jubah tidurnya, Mrs. Bernstein mengenakan baju hangat merah muda dan sepatu Reebok putih. Dia berdiri, membiarkan jubah meluncur jatuh dari bahu dan mengambil kunci mobil.

"'Untuk setiap kejahatan, suami tak akan dipersalahkan! " jerit Bernstein. "Tapi istrilah yang akan menanggung konsekuensi dosanya!"

Berikut adalah barang-barang yang disimpan Mrs. Bernstein dalam tas kulit di bawah tempat tidurnya, dengan harapan suatu saat akan menemukan keberanian untuk meninggalkan suaminya pada tengah malam: dua pasang celana hitam, baju dalam merah seksi, jins, tas make-up, sekotak rokok, majalah Vogue edisi musim semi, dan baju renang.

Sebab siapa tahu.


Dikutip dari cerpen "The War of the Bernsteins" dalam Beware of God (New York: Simon & Schuster, 2005), halaman 1-10. Terjemahan oleh Andina Dwifatma.

No comments