Ada sepotong nasihat yang kudapatkan dari penyair kesayangan, Sapardi Djoko Damono, dalam acara peluncuran novel "Trilogi Soekram" di Gramedia Central Park, 22 Maret lalu. Begini bunyinya:
"Saya menulis karena itu membuat saya bahagia. Kalau ada yang kebetulan senang membacanya, atau mengolahnya jadi lagu, atau saya mendapat honor dari penerbit, itu bagus. Kalau tidak, ya tidak apa-apa. Yang paling penting adalah saya sendiri merasa senang ketika sedang menulis. Dan itu tidak bisa diganti dengan apapun juga."
Sapardi adalah penyair kesayanganku, seperti Seno Gumira Ajidarma adalah pengarang kesukaanku. Keduanya penulis Indonesia pertama yang kubaca dan membuatku jatuh cinta pada bahasa. Cerpen-cerpen Seno membuatku menyadari kekuatan cerita. Puisi-puisi Sapardi mengajarkanku kata-kata sederhana bisa memunculkan momen puitik yang luar biasa.
Judul acara peluncuran itu adalah "Kelas Hujan Bulan Juni". Ketika tiba sesi bertanya, penuh semangat aku mengacungkan jari. Niatku mau bertanya tentang hujan.
"Pak Sapardi, saya adalah pembaca Bapak sejak kecil sekali," kataku. "Meski orang-orang selalu membicarakan puisi Aku Ingin dan Hujan Bulan Juni, puisi Bapak yang jadi favorit saya adalah Berjalan Ke Barat Waktu Pagi Hari. Menurut saya itu puisi terbaik yang pernah ditulis oleh penyair Indonesia sepanjang sejarah bangsa ini.
"Adapun pertanyaan saya: pernahkah Bapak menulis puisi tak romantis tentang hujan?"
Sapardi tak segera menjawab. Ia menatapku beberapa saat. "Saya banyak sekali menulis puisi tentang hujan, dan sudah lupa apakah di antaranya ada yang tak romantis.
"Tapi saya lebih tertarik mengomentari apa yang Anda katakan sebelumnya. Ketika mendengar puisi favorit Anda adalah Berjalan Ke Barat Waktu Pagi Hari, saya terharu. Kita sama. Itu puisi favorit saya juga. Puisi itu adalah puisi pertama yang membuat saya sadar, tak perlu kata-kata rumit untuk membuat puisi yang bagus. Ternyata puisi bisa lahir dari kata-kata sederhana tentang kejadian sehari-hari yang tak perlu luar biasa."
Mbak Feby Indirani yang hari itu jadi MC, meminta Sapardi membacakan Berjalan Ke Barat Waktu Pagi Hari. Sapardi menggeleng, lalu menunjukku, "Dia saja."
Mengheningkan cipta, mulai.. |
Puisi bisa lahir dari kata-kata sederhana tentang kejadian sehari-hari yang tak perlu luar biasa. Kupikir sama halnya dengan cerita. Tak perlu kata mendayu-dayu, istilah-istilah rumit, atau peristiwa-peristiwa besar, untuk bisa disebut nyastra.
Sapardi bercerita, puisi Berjalan Ke Barat Waktu Pagi Hari tercipta saat dia tengah berjalan kaki pagi hari. Saat memperhatikan bayang-bayangnya sendiri, Sapardi berpikir siapa yang sesungguhnya menciptakan bayang-bayang itu: dirinya atau matahari? Lalu, akibat sinar matahari yang berada di belakang, bayang-bayang Sapardi ada di depan. Pernahkah bayang-bayang sesekali ingin berada di belakang saja?
Momen puitik tercipta ketika kita menyadari ada yang merekah di dalam hati saat membaca baris puisi tertentu. Apapun yang kita rasakan, entah sedih atau senang, akan menjadi agung. Agoni, atau rasa bahagia, dua-duanya sama indah.
Aku sedih, kenapa ya aku ketinggalan tahu acara ini? Tahunya dari FB si Feby huhuhu...
ReplyDeleteLah, kupikir Kak Jessica tahu! Seru banget lho Kak.. Sapardi memukau :) Odi yang waktu itu ketemuan di Starbucks jadi panitia, kupikir dia udah kasihtahu Kak Jessica.
ReplyDeleteyap aku juga senang dengan puisi berjalan ke barat itu. kosong dari amanat, tetapi memberi suasana yang kuat. khas puisi sapardi yang kuat dan tak seringan aku ingin :D
ReplyDelete@Haris: Amanat biar jadi tugas kitab suci atau Wawasan Nusantara saja :D
ReplyDeletePagi mba Andina,
ReplyDeleteMudah2an ini terus meneguhkan langkah saya untuk menulis: Tidak perlu kata2 yang rumit.
Dan Menulislah karena itu membuatmu bahagia.
Terima kasih sharingnya
Salam, dan ditunggu novel ketiganya mba Andina
Josef
@Pak Josef Bataona: Amin. Sama-sama Pak, mari kita terus berkarya, menghasilkan apapun yang membuat kita bahagia :)
ReplyDeletemantep nambah inspirasi buat nulis di blog.. txs mbk infonya
ReplyDelete