Sewindu Kamisan

Rasanya baru kemarin aku menulis tentang tujuh tahun Aksi Kamisan di blog ini. Nah, Kamis (22/1) lalu, Aksi Kamisan sudah memasuki usia kedelapan. Aku pernah dengar seorang aktivis bilang, masa delapan tahun itu selalu spesial bagi sebuah perjuangan. Katanya, sewindu adalah masa yang tepat untuk me-review apa yang tercapai dan tak tercapai, strategi yang perlu diubah atau dipertahankan, serta merumuskan-ulang tujuan.

Hari itu hujan seharian. Aku sudah sejak pagi woro-woro di beberapa grup Line dengan para mahasiswa, mengajak mereka ikut Sewindu Kamisan. Aku ingin sekali murid-muridku paham bahwa kampus mereka pernah berperan sangat penting dalam sejarah bangsa ini. Kupikir tidak banyak dari mereka yang mengerti tentang Tragedi Semanggi I dan II. Apalagi peduli. Kalau aku berangkat Kamisan, yang sering kulihat adalah anak-anak Atma Jaya dari Fakultas Hukum, lebih spesifik lagi anggota redaksi majalah kampus Viaduct yang memang berciri kritis.


Poster nan powerful

Malam sebelumnya, Alicia Barker, mahasiswa Australia yang sedang ikut program Australian Consortium for In-Country Indonesian Studies (ACICIS) di kampus, mengirimiku email. Dia ingin ikut meliput Sewindu Kamisan untuk The Jakarta Globe, sebuah koran berbahasa Inggris tempat dia magang. Sayang sekali, paginya, lewat mahasiswaku Liviani, Alicia bilang dia tak jadi ikut. Menurut redakturnya, peristiwa ini kurang menarik untuk diliput. Kupikir, ini penilaian yang agak gegabah. Di lapangan toh aksi kami laris diliput media, termasuk Kompas dan grup Trans.

Selain Alicia, beberapa mahasiswa juga tak jadi ikut. Ada yang tak bisa meninggalkan kuliah jam 4 sore, ada yang telanjur janji, ada yang main futsal, dan lain-lain.Ya, tidak apa-apa. Mengajak mahasiswa ikut aksi memang harus pelan-pelan. Karakter mahasiswa sekarang berbeda jauh dengan mahasiswa zaman Gie dulu. Kuperhatikan, mahasiswa sekarang tak tertarik pada peristiwa sosial yang tidak secara langsung berpengaruh pada diri mereka. "Selama enggak nyenggol gue sih, ngapain pusing," kurang lebih begitulah, menurutku, semangat zaman saat ini.

Jam tiga sore aku berangkat dengan empat mahasiswa: Daniel yang membawa kamera, Hana, Stefani, dan Aya. Aku bersyukur mereka membawa payung karena langit semakin lama semakin hitam. Kami naik bus TransJakarta jurusan Kota dan turun di halte Monumen Nasional (Monas). Aulia bergabung naik dari halte Sarinah. Dia habis main-main ke kantornya, Kementerian Agraria dan Tata Ruang. Dari halte Monas, kami jalan kaki sampai depan Istana Negara.

Aku mulai mendongeng untuk Daniel, Hana, Stefani, dan Aya. Kuceritakan kenapa Aksi Kamisan ini bisa ada. Kutunjukkan pada mereka siapa itu Suciwati dan Bejo Untung, apa itu KontraS dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Kutunjukkan foto-foto orang yang hilang, diculik, dan dibunuh, yang dibentangkan di jalanan, beralaskan kain hitam. Aku ingin mereka, dalam bahasa Gie, "dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan."

Stefani bertanya apakah umur aksi ini sampai delapan tahun artinya tak ada pejabat pemerintah yang peduli. Aya berkomentar, ternyata di dunia ini banyak orang yang sedih dan menderita. Daniel tak banyak bicara, tapi sibuk kesana-kemari ambil foto. Ia sedikit banyak sudah tahu tentang Aksi Kamisan karena ayahnya, yang bekerja di sebuah rumah sakit di Pluit, pernah cerita soal aksi ini. Saat peristiwa '98, rumah sakit tempat ayah Daniel bekerja jadi salah satu rujukan korban kerusuhan.

Kami bertemu Ross Tapsell, akademisi Australian National University, yang sedang melakukan penelitian selama 3 bulan di Indonesia. Kukenalkan Ross pada murid-murid. Ross memancing mereka dengan bertanya,

"Do you guys think these people are crazy, standing around in black umbrellas and all?"
"No, I don't. I think they are fighting for their family, untuk keadilan," Hana yang menjawab.

Tiba-tiba semua orang menghambur ke depan Istana Negara. Kami segera bergerak. "Rule number one of reporting, always follow the  crowd," Ross sempat berseru sambil berlari.

Ternyata, Ibu Sumarsih membawa bentangan spanduk maju ke bibir istana. Tubuhnya terlihat mungil. Ia pakai kaus hitam yang biasa. Sambil memegang bentangan spanduk, Bu Marsih mengacungkan jari ke arah Istana. Tampilannya agak teaterikal. Fotografer berebut ambil foto. Aku menunggu sampai ia selesai, lalu mengenalkan anak-anak padanya. Bu Marsih tampak bahagia. Aku tahu Atma Jaya akan selalu punya arti spesial di hatinya karena Wawan juga berkuliah di Atma Jaya semasa hidupnya. Bu Marsih lalu mengenalkan Stefani, Daniel, Aya, dan Hana pada anak-anak Fakultas Hukum. "Ini sama-sama dari Atma Jaya," kata beliau, sumringah.

Kami ramai diklakson dari berbagai penjuru. Ada juga pengendara mobil yang memaki. Ross dan aku menyeberang kembali ke lokasi karena ada perintah dari koordinator aksi.

Hujan turun rintik-rintik, kadang deras. Kami semua pakai payung masing-masing karena payung hitam habis dibagikan untuk keperluan aksi. Sore itu beberapa orang berorasi, antara lain Usman Hamid, Taufik Basari, Ulin Yusron, dan J.J. Rizal. Diluncurkan juga situs AksiKamisan.Net. Aku khususnya terkesan pada orasi Usman. Menurut dia, sebenarnya anak-anak Munir dan Wiji Thukul itu sama dengan anak-anak Jokowi dan JK: ingin melihat ayahnya membanggakan keluarga. Dan Ibu Sumarsih juga Suciwati juga tak ada beda dengan Iriani dan Mufidah: mau anaknya tumbuh sehat jadi orang hebat; mau melihat suaminya berjuang untuk bangsa dan negara.

Kupikir itu strategi yang bagus. Kalau bicara politik, semua orang boleh sinis. Tapi kesedihan yang dirasakan para keluarga yang ditinggalkan (yang anaknya ditembak, yang suaminya diracun, yang bapaknya hilang) semuanya adalah kesedihan yang asli dan tulus. Hanya manusia yang tak punya nurani yang tak bisa ikut merasakannya.

Bang Usman dipayungi saat orasi

Ulin Yusron baca puisi yang menurut Aulia "sangat Rendra". J.J. Rizal yang berpenampilan ala abang-abang JakMania sore itu juga berorasi, mengutip cerpen Seno Gumira Ajidarma. Ceritanya tentang telepon yang beratus-ratus tahun tidak diangkat. Telepon itu dari rakyat, ditujukan untuk wakil rakyat. "Kadang saya pikir, pemerintah itu cuma menunggu kami semua mati satu-satu," kata Bu Marsih padaku suatu kali. Aku ngeri membayangkan Aksi Kamisan akan bernasib mirip telepon itu: dianggap sepi. Semoga tidak.

Saat hendak menutup aksi dengan berdoa, tiba-tiba hujan turun dengan sangat deras. Kami semua basah kuyup. Payung sudah sejak tadi dilipat, buru-buru dibuka lagi. Aulia mengomel karena kamera dan laptopnya kena air. Hebatnya, tidak ada yang berhenti atau lari kocar-kacir. Doa jalan terus. Satu payung dipakai sama-sama oleh 2-3 orang. Semua merapat, berdesak-desakan dalam hujan. Kupikir ini mengharukan. Aku selalu takjub bagaimana perasaan saling mencintai sesama manusia bisa membuat kita lebih berani dan lebih kuat.


Stefani, aku, Hana, Aya, dan Daniel

Kuharap murid-muridku bisa memahami ini. Dan, jadi apapun mereka nanti, rasa peka terhadap penderitaan orang lain akan menggerakkan mereka untuk melakukan sesuatu bagi kemanusiaan. Kupikir, ini salah satu sumbangsih yang bisa kuberikan. Mungkin murid-muridku tidak jadi aktivis atau kerja di LSM, tapi setidaknya mereka akan jadi orang dewasa yang punya kepedulian sosial.

Nah, kalau ngomongku begini, baru aku merasa jadi dosen beneran. Hehehe...

No comments