Dari Twitter aku baru tahu kalau hari ini adalah hari Blogger Nasional. Enggak terasa, sudah 6 tahun blog Catatan yang Tercecer ini online bagi segenap pembaca setianya (ciyeh). Blog ini istimewa karena merupakan blog terlama yang aku punya. Dulu blog pertama kubikin waktu awal kuliah dengan judul Healthy Mind. Sudah lupa juga kenapa judulnya begitu (mungkin aku lagi berusaha supaya tetap waras?) tapi yang jelas bikinnya di Blogspot. Dan seperti cinta pertama, blog itu hanya kucecap manisnya sebentar lalu kucampakkan. Cih. Setelah sempat pindah agama ke Wordpress dan Tumblr, akhirnya mulai 2008 balik lagi ke Blogspot dan alhamdulillah, sakinah mawadah wa rohmah sampai sekarang.
Baca arsip catatan yang dulu-dulu, aku jadi sadar dulu pernah alay, pernah galau, pernah rajin banget nulis kolom, pernah gandrung filsafat, pernah maki-maki Tuhan, pernah terobsesi nulis cerpen, pernah patah hati, pernah jatuh cinta, dan segenap pernah-pernah lainnya. Mungkin itu salah satu fungsi blog yang paling seru: dokumentasi hidup. Mesin waktu. Seperti diary, tapi minus gembok--fitur yang justru bikin kita kreatif menulis dengan teknik tertentu agar bisa tetap curhat dengan elegan (misalnya: gimana cerita tentang gebetan tanpa sebut nama, tapi kalau yang bersangkutan baca, bisa tahu yang kita maksud itu dia.... awww~)
Lewat blog ini aku juga jadi kenal teman-teman baru. Ada yang jadi kirim-kiriman CD, email-emailan, tuker-tukeran referensi buku, update info konser, film, dan lain-lain. Memoderasi komentar dan membalasnya jadi salah satu momen paling mengasyikkan. Rasanya senang, pikiran dan gagasan kita dibaca dan dikomentari orang lain. Seperti punya banyak teman diskusi, yang bahkan kita enggak perlu tahu siapa nama aslinya dan seperti apa penampakannya.
Saking terpesonanya sama blog, aku menjadikannya topik penelitian untuk tesisku. Premisnya sederhana: bagaimana blogger bisa menjadi watchdog watcher media mainstream. Kenapa tidak? Meskipun bloggers sering dituduh enggak kredibel, seenaknya, penebar fitnah dan isu yang enggak jelas, blog tetap sarana paling mudah diakses oleh warga untuk menuangkan pikirannya. Lagian, siapa bilang bloggers enggak bisa diandalkan? Kasus plagarisme Anggito Abimanyu di harian Kompas, misalnya, itu ketahuan dari postingan blogger Kompasiana, lho. Meski akunnya anonim, toh informasi yang disampaikan cermat dan akurat.
Baca arsip catatan yang dulu-dulu, aku jadi sadar dulu pernah alay, pernah galau, pernah rajin banget nulis kolom, pernah gandrung filsafat, pernah maki-maki Tuhan, pernah terobsesi nulis cerpen, pernah patah hati, pernah jatuh cinta, dan segenap pernah-pernah lainnya. Mungkin itu salah satu fungsi blog yang paling seru: dokumentasi hidup. Mesin waktu. Seperti diary, tapi minus gembok--fitur yang justru bikin kita kreatif menulis dengan teknik tertentu agar bisa tetap curhat dengan elegan (misalnya: gimana cerita tentang gebetan tanpa sebut nama, tapi kalau yang bersangkutan baca, bisa tahu yang kita maksud itu dia.... awww~)
Lewat blog ini aku juga jadi kenal teman-teman baru. Ada yang jadi kirim-kiriman CD, email-emailan, tuker-tukeran referensi buku, update info konser, film, dan lain-lain. Memoderasi komentar dan membalasnya jadi salah satu momen paling mengasyikkan. Rasanya senang, pikiran dan gagasan kita dibaca dan dikomentari orang lain. Seperti punya banyak teman diskusi, yang bahkan kita enggak perlu tahu siapa nama aslinya dan seperti apa penampakannya.
Saking terpesonanya sama blog, aku menjadikannya topik penelitian untuk tesisku. Premisnya sederhana: bagaimana blogger bisa menjadi watchdog watcher media mainstream. Kenapa tidak? Meskipun bloggers sering dituduh enggak kredibel, seenaknya, penebar fitnah dan isu yang enggak jelas, blog tetap sarana paling mudah diakses oleh warga untuk menuangkan pikirannya. Lagian, siapa bilang bloggers enggak bisa diandalkan? Kasus plagarisme Anggito Abimanyu di harian Kompas, misalnya, itu ketahuan dari postingan blogger Kompasiana, lho. Meski akunnya anonim, toh informasi yang disampaikan cermat dan akurat.
Guy Fawkes bangga padamu, Nak.. |
Aku menaruh harapan pada Pak Menkominfo yang baru untuk tidak menutup akses media sosial atau mengatur blogosphere seketat skinny jeans kaum muda hipster Jekarda. Seorang kawan blogger di Filipina mengeluhkan Undang-Undang online libel yang berlaku di sana. Mudahnya, siapapun yang merasa dicemarkan nama baiknya di internet, berhak menuntut dan hukuman maksimalnya 7 tahun penjara. Buat kawan blogger Filipina tadi, UU itu tak masuk akal dan menyesatkan. Dan aku sepakat. Rezim yang takut pada suara rakyat, anonim atau bukan, sudah pasti fasis dan otoriter. Percayalah bahwa kami tak sebodoh yang dikira pemerintah. Pada akhirnya, kredibilitas seorang blogger-lah yang akan menentukan apakah blognya diminati atau tidak. Artinya, kalau dia lucu, ya dia lucu beneran. Kalau dia jago nulis gadget, otomotif, budaya, travelling, sosial politik, atau apapun, ya dia istiqomah di jalur itu, dengan sumber-sumber dan quotes yang bisa dipertanggung jawabkan.
Kita butuh blog karena kita perlu berlatih mengungkapkan gagasan. Selain supaya tidak pikun, ini penting untuk merawat demokrasi. Belajar berpendapat dan saling menanggapi bukan dengan otot, tapi otak dan hati. Aku sih yakin, meskipun mungkin akan memakan waktu tak sebentar, netizens Indonesia akan makin dewasa dalam mengemas, menyaring, dan mengonsumsi informasi. Memang, dalam prosesnya, pasti akan ada yang tersinggung, sensi, dan makan hati--kepada orang-orang itu aku hanya bisa bilang,
Sebats dulu vroh... |
Tulisan yang enak dibaca dan wajib dibaca oleh mereka yang mengaku blogger
ReplyDelete@Adhi Ksp: Thanks!
ReplyDeleteSaya juga baru tahu dari Twitter kalau ada Hari Blogger Nasional.
ReplyDelete