Bahagia itu Sederhana (bersama Hobbes, Locke, dan Rousseau)

Semester ini, kehidupan saya benar-benar gila. Kuliah, bekerja, mengajar, belajar, menyusun proposal tesis yang sampai sekarang belum jelas apa topiknya, menjadi juri beberapa kompetisi penulisan, proyek kurasi cerita pendek, web Kuping Hitam bersama kawan-kawan,.. kadang saya berharap satu hari itu ada 36 jam. Dua belas jam sisanya dipakai untuk.. tidur! :)

Tadinya saya enggak begitu ngeh kesibukan macam apa yang akan saya hadapi. Libur semester yang alangkah panjangnya membuat perasaan jadi santai, ringan, senang, sehingga saya cenderung mengiyakan setiap tawaran yang datang. How bad could it be, kata saya polos di dalam hati. Paling-paling sibuk sedikit.

Dan ternyata...

Saya sudah sangat bersyukur kalau semester ini tidak kena tipes. Aduh mudah-mudahan jangan ya. Tipes itu salah satu penyakit paling enggak enak di dunia, nomor dua setelah sakit gigi. Sekarang baru masuk minggu pertama bulan September dan saya mulai merasa kewalahan. Sepertinya harus belajar menentukan prioritas. Seorang teman di pascasarjana UI berkomentar bahwa saya terlalu ambisius sehingga menerima segala tawaran. Saya tidak berani bilang padanya bahwa ini semua hanya karena saya sangat buruk dalam berkata "tidak" ke orang lain. How I hate being a Virgo sometimes.

Catatan diri: seni bilang tidak adalah salah satu skill terpenting yang harus dikuasai dalam bertahan hidup.

Nah, di antara aktivitas yang kadang bikin ingin menenggelamkan diri  pingsan menghela napas panjang itu, ada satu yang selalu membahagiakan, yaitu Extension Course (EC) di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara. Jadi STF Driyarkara ini tiap semester membuka kelas filsafat untuk umum. Kuliahnya seminggu sekali dan tiap semester berbeda tema. Kali ini topiknya "Demokrasi dan musuh-musuhnya (Filsafat Politik)" dan kuliah diadakan tiap Senin jam 18 WIB.

Kuliah di STF adalah cita-cita terpendam saya. Dulu sempat memberanikan diri bilang ke mama dan jawaban beliau hanyalah, "Silakan aja tapi mama enggak mau bayarin kamu." Glek. Rupanya dulu (dan rasanya masih sampai sekarang) mama menganggap belajar filsafat bisa bikin orang jadi atheis dan mikir aneh-aneh.

Tapi sekarang saya sudah besar dan sudah punya duit sendiri. Walaupun baru EC, tapi Driyarkara gitu lho! Iya, saya tahu, ini norak-norak bergembira. Pertama kali datang untuk mendaftar, saya sampai menyeret teman-teman untuk foto bareng di depan kampus.



Satpam kampus menatap kami penuh rasa iba.

EC baru berjalan dua kali. Senin malam lalu kami diajar oleh Romo B. Herry Priyono tentang kontrak sosial; mengapa manusia mau berpindah dari keadaan asali (state of nature) menuju kehidupan bertata negara (civil society)? Romo Herry menerangkannya dari sudut pandang Thomas Hobbes, John Locke, dan J.J. Rousseau.

Hobbes bilang, segalanya dimulai dari kelangkaan. Kondisi perang satu melawan yang lain menyebabkan manusia menjadi serigala bagi sesamanya, alias homo homini lupus -- karena itulah mereka berpindah dari keadaan asali menuju kehidupan bertatanegara. Mereka membutuhkan hukum yang ditaati bersama agar tidak selalu merasa takut atau terancam.

Locke lain lagi. Menurut dia, sebenarnya manusia nyaman-nyaman saja berada dalam keadaan asali. Negara itu tidak harus ada, kok. Tapi, begitu manusia rimba mengenal "alat tukar" (enggak harus uang, bisa kerikil, keong, cangkang, dst) mereka mulai berhasrat menumpuk. Dari sini kemudian muncul tuntutan adanya tata negara, artinya orang-orang mempersatukan diri sebagai "rakyat" dan menunjuk penguasa.

Sedangkan Rousseau berpendapat, akar permasalahan adalah waktu senggang alias leisure time. Tadinya nih, kata Rousseau, manusia rimba hidup soliter. Begitu mereka tahu perburuan berkelompok lebih efektif, mulailah mereka mengenal hidup bersama. Dari sini muncul kebutuhan merasa lebih atau hidup berdasarkan penilaian orang lain. Rousseau menyebutnya corrupted needs. Melalui kontrak, mereka lalu menyerahkan kehendak individual menuju kehendak bersama. Makanya bagi Rousseau, yang sahih hanyalah demokrasi langsung, bukan demokrasi perwakilan.

Ini cuma pengetahuan sederhana sekali dalam bidang filsafat politik. Tak urung pemahaman malam itu membuat saya tersenyum lebaaaarr. Sesuatu dalam hati saya selalu bergerak-gerak gembira tiap kali saya memperoleh pengetahuan baru, sekecil apapun itu. Kamerad Vito Frasetya yang duduk di sebelah saya juga ketawa sama lebarnya. Pulang kuliah, ketika menunggu kereta di Stasiun Kramat, kami mengobrol.

"Kenapa ya belajar filsafat selalu bikin senang?"
"Padahal baru sedikit yang kita pahami."
"Dan semakin belajar, semakin sadar banyak sekali yang kita tidak tahu."
"Kayak waktu itu kita datang colloqium disertasi dan baru tahu AST itu singkatan dari Adaptive Structuration Theory."
"Dan sebenarnya enggak tahu juga definisinya, hahaha.."
"Rasanya sekarang gue ngerti kenapa kita sering dianggap aneh sama anak-anak."
"Kenapa?"
"Mungkin karena kita bisa bahagia dengan pengetahuan-pengetahuan kecil yang buat orang lain memusingkan atau enggak penting."

Saya tersenyum. Ternyata jargon yang dipopulerkan Farid Stevy Asta benar adanya: bahagia itu sederhana.   

No comments