Are you in the mood for love?

Jika yang kamu cari adalah sebuah kisah cinta yang indah bagai puisi, jawabannya adalah film berikut ini.

Sebenarnya telat banget sih baru ngomongin In The Mood For Love (ITMFL) sekarang, soalnya film besutan Wong Kar Wai ini sudah rilis 12 tahun lalu. Persisnya, di festival film Cannes tahun 2000 sebagai nominator Palme d'Or. Konon ITMFL adalah bagian kedua dari soft trilogy bersama Days of Being Wild (1991) dan 2046 (2004).

Disebut soft trilogy karena sesungguhnya ketiga film ini enggak nyambung-nyambung amat. Bahkan 2046 rada berbau sci-fi, di mana salah satu tokohnya berpacaran dengan makhluk android. Entah apa yang ingin disampaikan Wong Kar Wai. Mungkin dia sudah memprediksi akan datang masa di mana manusia mulai pacaran beda spesies, seperti Bella dan Edward.

Tapi sudahlah. Mari kita bicarakan ITMFL saja, sebagai salah satu film yang menurut saya wajib banget ditonton sebelum mati. Ini bukan kisah drama romantik biasa, meskipun idenya sih enggak baru-baru banget. Tony Leung dan Maggie Cheung dikisahkan diselingkuhi pasangan masing-masing, dengan pasangan masing-masing. Eh gimana sih? Jadi istrinya Tony Leung pacaran sama suaminya Maggie Cheung, gitu deh.

Kalau kamu pikir tema ceritanya enggak istimewa, maka perhatikanlah eksekusinya. Wong Kar Wai memang selalu tersohor dengan gaya berceritanya yang fragmentaris, alias sepotong-potong, tak pernah utuh. Dan ketika itu digabungkan dengan rasa sakit akibat perselingkuhan, dan rasa bersalah atas cinta yang datang tanpa diundang, wah jadinya mejik sekali.

Tony Cheung memerankan tokoh Chow Mo-wan, seorang jurnalis surat kabar. Chow punya istri seorang pekerja kantoran yang sangat hobi lembur. Maggie Cheung berperan sebagai Su Li-zhen, sekretaris. Nasibnya sama seperti Chow, sering ditinggal pasangannya kerja sampai malam. Kadang-kadang ke luar kota tanpa pemberitahuan.

Jadilah Chow dan Su dua orang yang kesepian. Bagaikan lagu dangdut, "makan, makan sendiri--cuci baju sendiri--tidur pun sendiri". Mereka sering papasan di jalan, tapi selalu cuma bertukar senyum sopan. Sampai akhirnya Su memergoki suaminya berselingkuh dengan istri Chow. Su lalu mengajak Chow makan di luar. Dengan cara yang sangat sangat halus, mereka berdua menyadari sudah diselingkuhi pasangan masing-masing.

Hubungan Chow dan Su pun dimulai dengan permainan kira-kira. Ada satu adegan di mana mereka jalan berdua dan saling menduga seperti apa perselingkuhan itu dimulai. Apakah istri Chow yang menggoda duluan? Atau suami Su yang berinisatif? Yang mana pun, affair itu sudah dimulai dan hati mereka sudah sama-sama hancur.


Aku pulaaaang. Tanpa dendaaaam.

Karena keseringan curhat, tanpa disadari mereka berdua jadi dekat. Chow dan Su sama-sama hobi baca cerita silat. Chow yang sudah lama pingin nulis, dapat dukungan penuh dari Su. Mereka pun menulis berdua. Makan berdua. Tertawa berdua. Tapi sayang, Hong Kong tahun 1962 belumlah semoderat sekarang. Persahabatan dua orang yang sudah menikah cepat mengundang gosip dan ketidaknyamanan. Su ditegur ibu kontrakannya. Chow pun memutuskan menyewa kamar hotel khusus.

Sampai akhirnya suatu hari suami Su pulang. Su bilang enggak mau ketemu lagi sama Chow. Meski kaget, Chow sudah mengira. Sekalian saja dia sampaikan kabar dapat tawaran kerja di koran Singapura. Gantian Su yang kaget. Dan saat Chow menggenggam tangan Su sebagai tanda perpisahan, Su menangis tersedu-sedu. Chow mengelus bahu Su sambil meralat, "Tenanglah. Ini hanya latihan."

Dari situ, Chow sadar bahwa Su juga jatuh cinta sama dia. Chow pun menawarkan Su ikut ke Singapura. Di sinilah dilema dimulai. Kalau mereka pada akhirnya memutuskan untuk bersama, bukankah jadinya mereka tak ada bedanya dengan pasangannya? Kalau mereka bercerai dengan pasangan masing-masing dan kemudian menikah, masihkah mereka menjadi korban? Siapa yang jahat sekarang?


Kita enggak kayak mereka, kan?

Endingnya...
.....
.....
ah, nonton sendiri deh. Hehe. Yang saya kagumi habis-habisan dari film ini adalah cara-caranya yang subtil untuk menjelaskan segala sesuatunya. Enggak kayak film drama romantis Hollywood-like yang serba meledak-ledak dan dramatis, ITMFL begitu tenang, lembut, dan simbolik. Dering telepon, hujan, senyuman tipis, asap rokok, semua bisa jadi penanda atas apa yang sedang terjadi.

Dengan cara ini, kita (penonton) enggak seperti disuapin terus tinggal kunyah dan telan. Kita diajak untuk berpikir dan berempati sama apa yang terjadi pada para tokoh. Belum lagi OST-nya benar-benar juara. Perih, Jendral! Buat yang belum pernah dengar dan agak males youtube-ing sendiri, sila klik di sini.

No comments