Halte


Photo by Matus Karahuta on Unsplash



Oleh Andina Dwifatma

Seorang lelaki tua pelan-pelan melangkahkan kakinya memasuki sebuah bus yang penuh sesak di suatu malam Rabu yang basah. Hujan telah turun sejak satu jam yang lalu, persis ketika ia mulai menunggu bis di dalam halte. Bus penuh sesak sebab kota ini memang penuh manusia.

Tapi seorang anak muda dengan anting mas di hidungnya (dan rambut model paku-paku yang aneh) memberinya tempat duduk. Ia mengucapkan terima kasih sambil tersenyum, dan anak muda itu membalasnya, dari balik bibir yang bagaikan terbelah dua oleh sebuah duri metalik. Betapa anehnya selera berdandan anak-anak muda zaman sekarang, pikir sang lelaki tua, di eraku dulu satu-satunya yang beranting di hidung hanyalah kerbau.

Lelaki tua itu masih sibuk berpikir ketika seorang gadis melangkah masuk. O, gadis yang teramat manis. Bibirnya merah, melengkung tipis. Matanya sipit. Kulitnya kuning seperti memancarkan cahaya. Pria tambun di sampingnya nyaris melompat memberikan tempat duduk untuk si gadis. Hidup ramah padamu jika kau cantik, kata si lelaki tua dalam hatinya.

Gadis itu duduk, merogoh sesuatu dari dalam tasnya, mengeluarkan semacam kabel berujung dua, mencolokkannya pada benda tipis berlapis karet merah, lalu memasang kedua ujungnya di kedua lubang telinganya. Sebuah pemutar musik. Gadis itu lalu seperti tenggelam dalam dunianya sendiri. Ia menatap ke kejauhan, ke luar jendela.

Lelaki tua merasakan dadanya berdegup kencang. Ia memerhatikan wajah manis si gadis. Apa yang sedang dipikirkannya, o, atau siapa? Siapa penyanyi yang sedang ia dengarkan sekarang? Lagu apa? O, gadis, gadis, palingkanlah wajahmu sebentar, lihatlah aku tersenyum memandangimu.

Lelaki tua terbawa pada kenangan masa lalu. Gadis itu membangkitkan perasaan romantis dalam dirinya. Dia dulu adalah seorang penyayang, pecinta ulung yang tahu bagaimana membuat seorang perempuan tersenyum. Ia akrab dengan bunga dan cokelat dan surat. Tapi sekarang sudah hampir tujuh puluh lima usianya. Tidak ada lagi bunga dan cokelat dan surat (lagipula istrinya sudah lama tiada)--ia hanya punya obat dan balsam dan baju hangat.

Ia terus memandangi gadis itu sambil tersenyum. Lelaki tua berharap si gadis akan menoleh padanya sebab orang tahu jika orang lain berlama-lama memandanginya, lantas memberinya sebuah senyum manis yang akan dibawanya hingga tidur. Barangkali ia bisa bermimpi tentang gadis manis itu, gadis manis berbibir merah tipis dan mata sipit dan kulit kuning yang cantik.

Berapa umur gadis itu? Tak mungkin lebih dari dua puluh lima.

Lelaki tua itu menggenggam erat tasnya. Ia membersihkan kerongkongan, berharap dapat menyapa sang gadis untuk sekadar mendengar suaranya. Barangkali ia bisa menanyakan rute bus ini, meski sebenarnya ia sudah hapal di luar kepala. Waktu masih muda, ia paling jago mengajak perempuan bercakap-cakap, lalu memperoleh alamat rumahnya.

Bagaimana kalau ia sentuh bahu si gadis agar ia menoleh? Musik di pemutar lagunya terdengar keras. Ia tidak akan dengar jika aku berbisik, kata si lelaki tua. Kapan? Sekarang kah waktunya?

"Kakek," tiba-tiba saja gadis manis itu membuka penyumbat telinga kanannya. Wajahnya menampakkan kekesalan. "Bisa geser sedikit? Tas Kakek sedari tadi menyenggol tanganku."

Lelaki tua dengan gugup segera menggeser tasnya. Ia lalu turun di halte tujuan. Sambil melewati pintu bus, lelaki tua mengusap air yang menetes dari sudut matanya.

Jakarta, 19 Februari 2012

No comments