Mengapa jurnalis bisa jadi 'orang PR' yang baik




Photo by Volodymyr Hryshchenko on Unsplash


"Because when they own the information, they can bend it all they want." (John Mayer, "Waiting on the World to Change")

Pekerjaan pertama saya adalah account executive (yang sampai sekarang tidak saya ketahui makna sesungguhnya, dan padanannya dalam bahasa Indonesia) di sebuah firma konsultan public relations (PRmultinasional. Mengapa saya diterima di sana sungguh suatu misteri. Saya merasa tidak terlalu pandai dalam aktivitas komunikasi interpersonal, keramah-tamahan, dan yang paling utama: saya tidak jago pakai sepatu hak tinggi dan nge-blow rambut.

Sebagai mahasiswa yang baru lulus, saya memang mendaftar di hampir semua bidang yang sesuai dengan jurusan saya, kecuali pertelevisian dan radio sebab saya tidak senang dunia broadcasting. Saat itu yang terbayang di pikiran adalah jurnalistik dan periklanan. Saya sempat tes jadi copywriter sebuah biro iklan, tapi kantor pertama sayalah yang duluan memberikan kepastian.

Jadilah selama dua bulan saya bekerja sebagai 'orang PR'. Yep, dua bulan. Saya bahkan tidak menyelesaikan masa percobaan. Tetapi, meskipun singkat, ada banyak hal yang saya pelajari di sana. Luwi Ishwara tidak salah ketika menyebut konferensi pers sebagai aktivitas pseudo-journalism alias jurnalisme semu.

Kami di biro PR mengerjakan hampir semua aktivitas kampanye produk, termasuk konferensi pers dan rilis media. Semua poin penting alias key message dimasukkan di sana, disarikan dari visi dan misi perusahaan, inti kampanye, dan disusun rapi agar termaktub di dalam pers rilis, bagaikan undang-undang.

Nah, ketika kemudian rilis media ini 'naik cetak' dalam bentuk tulisan para jurnalis di koran masing-masing, kami di biro PR akan melihat sejauh mana poin penting itu tersampaikan. Hal ini sempat membuat saya berpikir bahwa sesungguhnya gatekeeper informasi adalah orang-orang PR. Merekalah jembatan antara narasumber dan jurnalis, yang dengan bahasa tertentu dapat menentukan poin mana yang dapat--dan perlu--diketahui publik, dan mana yang tidak.

Tetapi, ternyata tidak selalu begitu.

Para wartawan harian dan media online seringkali memang menjiplak bulat-bulat apa yang tertulis di rilis media, barangkali karena waktu yang sempit dan tenggat waktu yang ketat. (Tentu tidak semua. Saya membuat stereotype berdasarkan pengamatan di lapangan.) Namun, bagi kami para jurnalis majalah yang dituntut untuk menulis features yang bersifat in-depth, rilis media adalah sesuatu yang 'mentah'. Bahan yang masih harus diolah, dipandang dengan skeptis, dicari aspek so-what-nya, dan diperlebar konteksnya sehingga dapat menjadi sebuah tulisan yang bermanfaat, alih-alih media promosi numpang lewat.

Buat saya ini berkah. Jurnalisme tidak selalu tentang bad news is good news, tapi sekurang-kurangnya ia memberi masukan buat pembaca, tidak sekadar pamflet belaka. Nah, dalam rangka inilah sebagai reporter saya banyak melakukan wawancara dengan para perusahaan (omong-omong, Luwi Ishwara juga memasukkan wawancara sebagai aktivitas jurnalisme semu)-- dan menemukan kelucuan di sana-sini.

Kelucuan nomor satu adalah jika kebetulan yang diwawancara adalah kepala humas atau sekretaris perusahaan. Biasanya mereka punya kecenderungan untuk menyampaikan key messages dalam wawancara, hanya kadang caranya tidak smooth sama sekali. Ada yang pernah bilang begini,

"Semua ini kami lakukan untuk mencapai apa yang kami sebut visi dan misi perusahaan, yakni menciptakan nilai lebih dari konsumsi makanan dan minuman, memastikan kebutuhan gizi masyarakat Indonesia tercukupi, dan menyehatkan bangsa."

Meskipun yang ia maksud sebenarnya begini,

"Semua ini kami lakukan untuk mencapai apa yang kami sebut visi dan misi perusahaan, yakni menciptakan nilai lebih dari aset dan modal, memastikan kebutuhan untuk pengembangan korporat tercukupi, dan menyehatkan perusahaan."

Tidak semua narasumber melancarkan aksi PR-ing seperti itu. Ada kalanya saya bertemu narasumber yang bicara terang-terangan dan apa adanya. Tujuan utama bisnis mereka adalah memang menjadi besar dan kaya. Jika pun nanti ada aksi sosial, itu bagian dari mengembalikan apa yang sudah mereka ambil dari masyarakat. Dan saya jauh lebih menghargai narasumber seperti ini.

Jadi, seorang jurnalis sudah terlatih membedakan mana pernyataan yang menarik dikutip dan mana yang sekadar aksi PR-ing. Banyak eks jurnalis yang menyeberang ke dunia PR, dan saya yakin sekali mereka akan jadi PR yang baik. Apakah berlaku sebaliknya? Saya tidak tahu. Sebab di dunia PR saya hanya bertahan dalam hitungan beberapa puluh hari, dan menjadi jurnalis pun baru satu tahun. Masih sangat hijau.

Tetapi saya sudah tahu apa yang akan saya lakukan ke depan. Media, dengan segala dinamikanya, tidak lebih dari permainan informasi. Masing-masing pihak muncul dengan agendanya sendiri, siap membungkusnya dengan cara masing-masing. Kami para pekerja media dan semua yang berhubungan dengan penyampaian informasi, adalah tukang-tukang kibul profesional dan berkelas. Apakah itu sesuatu yang salah? Tentu tidak, sebab memang seperti itulah natuur pekerjaan ini.

Saya akan jadi pengajar suatu hari nanti.

3 comments