Ketika kedua kakimu tidak mau melangkah
18 March, 2011
Barangkali karena hujan turun tanpa henti, atau pilek berat yang membuat kedua lubang hidungnya hanya berfungsi separuh, tetapi gadis itu seharian terus saja uring-uringan. Ia tidak bisa lagi membaca buku yang disukainya. Musik pun tak lagi menghiburnya. Ia sudah bolak balik dari John Lennon, Nina Simone, bahkan Santana yang biasanya selalu bisa membuatnya tersenyum, kembali ke John Lennon lagi, tapi tetap saja tak membantu.
Ia bahkan tidak ingin menyesap kopi, minuman yang ia pernah bersumpah tak dapat hidup tanpanya. Kepalanya pusing, tetapi bukan jenis pusing hebat yang bisa sembuh dengan menenggak Panadol Extra dua kaplet sekaligus; ini jenis pusing yang merayapi dahi samar-samar, lalu menyebar ke kedua alis, bahkan mata berkedut-kedut dibuatnya. Pusing yang susah diusir seperti sales kartu kredit.
Suasana hatinya sudah buruk sejak siang, memburuk di sore hari, dan akhirnya mencapai puncaknya malam ini, pukul delapan. Aku duduk di sebelahnya, di beranda rumah yang tidak menjanjikan pemandangan apa pun kecuali katak coklat kecil-kecil yang berlompatan di antara gerumbul semak-semak yang ibunya sebut tanaman. Aku menunggunya berbicara sambil menyesap teh tarik. Kukira ini hanya penyakit lama. Ia memang senang merajuk jika badannya tak sehat. Atau mungkin dia sedang akan menstruasi.
"Katakan padaku, apa makna hidup ini?" Ia menyalakan rokok, mengisapnya, batuk-batuk sebentar, lalu memeganginya dengan profesional. Aku tersenyum. Kukenal dia seperti kukenal telapak tanganku sendiri, dan aku tahu persis sejak berhenti merokok tiga bulan lalu, sesungguhnya merokok lebih serupa siksaan baginya. Tetapi merasa galau dan memegang rokok memang pemandangan yang cocok.
"Kukira kau lebih tahu." Aku memilih jalan aman. Nanti ia cerita sendiri.
Ia terbahak. "Aku? Aku, katamu, lebih tahu? Huh! Kawan, aku sama tak tahunya seperti katak-katak yang berlompatan di hadapan kita ini.."
Lalu meluncurlah kata-kata dari mulutnya seperti mitraliur. Ia merasa hidup ini sangat memuakkan. Orang lahir, sekolah, bekerja, kawin, dan punya anak--untuk apa? Ingin membuktikan diri dalam karier--untuk apa? Ingin dibilang berhasil, sukses, dan berprestasi--untuk apa? Ingin dibilang orang baik--untuk apa?
Ia ingin hidup hanya agar bisa menikmati angin dan cahaya matahari, tanpa harus berpikir mau jadi apa jika besar nanti. Ia ingin bisa pergi ke mana pun ia ingini, tanpa repot berpikir kapan harus kembali. Ia ingin bisa mengakrabi dirinya sendiri, tanpa susah-susah berpikir lelaki seperti apa yang perlu ia kawini.
"Salahkan modernitas! Ia yang membuat kita berpikir hidup ini harus diisi dengan pencapaian, prestasi, dan segala macam penghargaan. Apa sih yang disebut gagal? Apa salahnya tidak jadi siapa-siapa?"
Ia mengoceh sambil memegangi rokoknya. Nah kan, dihisap pun tidak. Pandangannya menerawang ke sinar lampu dekat pagar yang menerangi jalanan. Di luar, kentongan dipukul satu kali. Jam setengah sembilan malam. Setengah jam lagi aku harus pulang. Semoga ia tidak rewel dan menahan-nahan. Aku meregangkan tubuh, lantas bertanya dengan nada setengah melamun,
"Apa kamu mau jadi bukan siapa-siapa?"
Ia terlihat bingung dengan pertanyaanku. Dahinya mengernyit. Ia sedang berusaha mencari kata yang tepat, aku tahu itu, sebab ia tidak suka salah berkata-kata, atau salah mengeluarkan kalimat yang membuatnya terlihat tidak cerdas. Diam-diam ia juga selalu melakukan pencitraan, seperti Sang Presiden yang selalu dicibirnya dalam obrolan-obrolan warung kopi.
Ia malah berceloteh tentang novel Kappa-nya Ryunosuke Akutagawa. Kappa adalah sejenis monster Jepang yang hidup di dua alam. Dalam dunia kappa, setiap bayi yang akan lahir diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya: apakah dia ingin dilahirkan atau tidak? Pertanyaan ini akan diajukan sang ayah lewat vagina ibunya. Jika si anak menjawab tidak, maka ia akan disedot dengan alat semacam penghisap debu, dan semua pihak tidak ada yang sedih--mereka menghormati keputusan si bayi.
"Jika aku adalah bayi kappa, aku akan minta tidak usah dilahirkan saja. Buat apa hidup dari hari ke hari hanya memikirkan sudah sampai mana target hidupku, habis ini harus kerja di mana, sekolah apa, menghasilkan duit berapa, menikahi siapa, punya anak berapa, wahai! Sungguh aku ingin muntah dibuatnya!"
Lalu wajahnya jadi agak pucat sehingga aku jadi agak cemas jangan-jangan ia sungguh akan mengeluarkan isi perutnya--aku tidak bawa tisu basah atau kantung kertas. Tapi beberapa detik kemudian wajahnya sudah normal kembali dan aku jadi lega.
Ia kini paham mengapa ada orang-orang yang bunuh diri. Barangkali mereka merasa sudah tidak ada lagi yang bisa mereka lakukan di dunia. Tidak ada hal yang diinginkan, tidak ada target yang ingin dicapai, tidak ada peristiwa yang dinantikan--lantas apa lagi yang tersisa dari kehidupan? Akhiri saja. Putuskan saja. Langsung saja gelap. Pekat. Itu seperti mem-fast forward DVD yang di tengah jalan sudah tak menarik lagi. Atau langsung meng-eject dan mematikan player-nya.
"Kau berminat bunuh diri?"
"Tidak tahu. Belum pernah kupikirkan dengan serius. Kau?"
"Akhir-akhir ini semakin sering."
"Mamamu bisa mampus kalau kau gantung diri."
"Kalau begitu aku tidak akan gantung diri. Aku akan lompat dari lantai lima."
"Kau gadis gila."
"Dan jangan gunakan kata mampus untuk mamaku."
"Oke, oke, kenapa sih galak sekali?"
Lalu kami berdiam diri. Ia mematikan rokoknya dan aku meneguk tehku. Tegukan terakhir. Mantap dan menyisakan rasa pahit yang nikmat. Oh, tidak bolehkah orang bahagia dalam hidup karena segelas teh? Apakah kita harus punya apartemen, perusahaan, dan mengoleksi mobil, baru boleh berbahagia? Apakah harus menang penghargaan tertentu baru boleh senang? Apakah harus sukses dulu supaya bisa mati dengan tenang?
Nah, aku jadi ketularan cara berpikirnya. Memang kami sangat dekat, dan kadang-kadang bila duduk bersebelahan, suasana hatinya mempengaruhiku seolah-olah ia memancarkan radiasi sinar tertentu yang mengubahku jadi mirip dia. Ini berbahaya, sebab ia bisa jadi sangat menyebalkan dan temperamental, dan aku sedikit pun tidak ingin jadi pemuda yang menyebalkan dan temperamental. Tapi aku mencintainya, jadi peduli setan. Di dunia ini tidak ada gadis sepertinya. Aku mencintainya, meski aku tidak pernah bilang apa-apa. Dan barangkali memang tidak perlu bilang apa-apa.
Aku memandangnya, dan sorot matanya seperti memancarkan kekalahan. Ia tersenyum letih padaku. Kedua matanya menggelap dan seperti ada lingkaran hitam besar di bawahnya. Ia jadi tampak seperti panda.
"Kau tahu, pada akhirnya selalu Chairil yang menang. Hidup memang hanya menunda kekalahan.."
Aku menggeleng-geleng. Kekalahan dari siapa? Kalah oleh apa? Hidup tinggallah hidup yang selamanya akan menjadi hidup yang begitu-begitu saja tetapi terpaksa harus dijalani sebab kita bukanlah bayi kappa. Aku ingin berkata padanya bahwa selama ia bisa menikmati embusan angin, dan cahaya matahari yang menyelinap melalui jari-jari tangan yang diregangkan, dan teh tarik yang manis dan hangat, dan Santana dan Akutagawa, maka sesungguhnya hidup ini tak buruk-buruk amat. Jika ia bisa menghargai keberadaanku di beranda, seperti aku menghargai keberadaannya di sampingku, maka tak perlu terlalu diributkan apa maknanya. Aku ingin bilang semua itu padanya sambil menatapnya dalam-dalam.
Tetapi terdengar kentongan dipukul sekali lagi dan aku ingat janjiku untuk pulang jam sembilan malam.
Cendana, 18 Maret 2011, 23.15 WIB
Tags
daily life
Andina is an Indonesian author. Her debut novel, "Semusim, dan Semusim Lagi" (GPU, 2013) won Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2012. Her second novel, "Lebih Senyap dari Bisikan" (GPU, 2021) was nominated for Penghargaan Sastra Badan Bahasa 2021. She is also a lecturer at the School of Communication, Atma Jaya Catholic University, Indonesia.
loading..
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
ini cerpen yang menarik... salut!
ReplyDeleteSebenarnya... ini hanyalah curahan hati menjelang tengah malam... *tersipu sipu* - thanks anyway.
ReplyDeletesejak awal kenal memang sudah begini dan semakin menjadi, selalu membuat aku kagum.
ReplyDeleterelfeksi yang menarik.
two thumbs Ndin.
"Salahkan modernitas! Ia yang membuat kita berpikir hidup ini harus diisi dengan pencapaian, prestasi, dan segala macam penghargaan. Apa sih yang disebut gagal? Apa salahnya tidak jadi siapa-siapa?"
ReplyDeleteD4mn, saya suka cerita ini, dan gaya menulis, dan pikiranmu
seperti mengingatkanku pada kenyataan
ketika orang menganggap aku adalah 'siapa-siapa'
tapi aku justru menganggap diriku sendiri bukan siapa siapa
(jika di compare dengan imajinasi yang ada di diriku sendiri)
membuatku pengen menulis lagi setelah sekian lama vakum karena stagnasi
salut
@danang: terimakasih ya, eh profile kamu nggak bisa dibuka lho.
ReplyDelete@ronitoxid: iya, persoalan "siapa-siapa" dan "bukan siapa-siapa" memang masalah wacana. tapi nulis lagi itu ide yang bagus lho :)
ReplyDelete