Metafora Paman Gober
01 December, 2010
*ini artikel pendek yang saya tulis sebelum Soeharto meninggal.
Dalam salah satu cerita pendeknya yang berjudul Kematian Paman Gober, Seno Gumira Ajidarma membuat semacam persimbolan (metafora) mengenai tokoh pemimpin paling berkuasa saat itu.
Ya, siapa lagi kalau bukan Soeharto. Lewat cerpen yang dimuat dalam buku Iblis Tak Pernah Mati (Galang Press, 2001) itu, Seno menceritakan bagaimana warga seantero Kota Bebek tiap hari menunggu-nunggu kapan Paman Gober mati. Semua bebek membenci Paman Gober karena kerakusannya yang tak kenal belas kasihan. Diceritakan juga keprihatinan Donal melihat sosok pamannya yang lalim itu justru diidolakan kanak-kanak bebek. Toh, tak ada yang berani berteriak atau melawan. Hanya menunggu.
Begitu pas-nya cerpen yang ditulis Seno pada tahun 1994 tersebut dengan situasi yang tengah dihadapi masyarakat Indonesia sekarang, sampai-sampai Butet Kertaradjasa pun mementaskannya dalam salah satu monolognya. Sama seperti warga kota Bebek, masyarakat Indonesia juga “menunggu-nunggu” kapan Soeharto wafat.
Kata “menunggu-nunggu” diberi tanda petik karena terdengar sangat vulgar diucapkan, terlebih karena yang sedang “ditunggu-tunggu” kematiannya adalah seorang Soeharto, mantan presiden yang pernah memimpin Indonesia selama tak kurang 32 tahun, bukan sekadar tokoh rekaan yang mudah dihidupkan dan dimatikan melalui lembaran komik seperti Paman Gober.
Memang, jejak-jejak Machiavelis yang dilakukan Soeharto masih dan akan terus membekas pada sebagian rakyat Indonesia. Mereka yang keluarganya hilang tiba-tiba, ibu-ibu yang anaknya diculik lalu lenyap tak ketahuan rimbanya, kematian aktivis yang lebih banyak berbau rekayasa, koran-koran yang dibredel, film-film yang dilarang, adagium “asal bapak senang”, budaya uang pelicin untuk memperlancar birokrasi yang menyulitkan, dan masih banyak lagi- semuanya membekas dalam ingatan kita, rakyat Indonesia dari segala usia.
Tetapi kita ingat bensin sempat juga berharga murah. Rupiah sempat punya nilai tawar sampai dua ribu terhadap dolar. Negara kita juga sempat berjuluk “negeri swasembada pangan”. Kemakmuran dan kesejahteraan yang memberi cap “bapak pembangunan” pada Soeharto. Setelah ketahuan bahwa ia membangun semuanya itu di atas tumpukan hutang, barulah nama Soeharo jatuh berkeping-keping. From hero to zero.
Kini, menghadapi penghujung usianya, bagaimana seharusnya sikap rakyat Indonesia pada Soeharto? Sungguh dilematis. Ajakan Presiden SBY untuk tidak mengungkit-ungkit dosa Soeharto pada saat ia sedang terbaring sakit, lebih berbau moralistis. Sebagai presiden, memang setiap kata-katanya dinilai oleh dunia. Wajar bila ia mencoba berkomentar bijaksana, meskipun besar kemungkinan bahwa ajakannya itu akan terdengar sangat memuakkan di telinga bapak para aktivis yang anaknya hilang tak tentu rimbanya.
Ungkapan relijius bahwa tidak usahlah Soeharto diadili di dunia, karena ia pasti akan diadili oleh seadil-adil peradilan ketika meninggal, pun sama naifnya. Kejahatan yang dilakukan Soeharto dilakukannya di dunia, menyisakan darah dan luka yang fana, menimbulkan kerugian yang sungguh-sungguh nyata bagi sebagian rakyat Indonesia. Tak terhitung orang-orang yang sepanjang hidup menanggung derita sebagai akibat tangan besi Soeharto. Lantas mengapa pembalasannya harus di akhirat, sebuah fase yang kita bahkan belum tahu seperti apa wujudnya?
Meskipun demikian, keadilan buat mereka yang pernah tertindas oleh Soeharto nampaknya tetap sulit dilakukan. Seperti kata O.C. Kaligis, semua perkara yang melibatkan Soeharto sampai kini tidak menemukan bukti yang cukup. Solusi penyelesaian masalah perdata di luar pengadilan juga terdengar utopis. Penyelesaian seperti apa yang dimaksud? Bagaimana perhitungan nominalnya? Akan disalurkan pada siapa ‘x’ rupiah hasil tuntutan perdata itu? Tak jelas, dan mungkin tak akan pernah jelas.
Agaknya, kita memang harus menerima kenyataan: dengan atau tanpa kesehatan, Soeharto memang akan selalu menjadi the untouchable.
Tags
kajian budaya
Andina is an Indonesian author. Her debut novel, "Semusim, dan Semusim Lagi" (GPU, 2013) won Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2012. Her second novel, "Lebih Senyap dari Bisikan" (GPU, 2021) was nominated for Penghargaan Sastra Badan Bahasa 2021. She is also a lecturer at the School of Communication, Atma Jaya Catholic University, Indonesia.
loading..
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
dalam politik Machiavelis harus ada yang dipersalahkan, kalau dulu Komunisme, sekarang Soeharto...
ReplyDeleteKalau itu jadi mitos bisa jadi bom waktu buat kita sendiri...
@Anon: Seorang pelukis yang pernah saya wawancara cerita, tahun lalu ia ditawari pameran di sebuah negara di Asia Tenggara dengan tema revolusi. Ia mengikutsertakan karyanya yang bergambar Soeharto. Eh, rumah seni yang menawarinya tak berani ambil gambar itu karena takut dituntut. Kata mereka,
ReplyDelete"We won't fight against the man who won the battle versus TIME."
Kawan pelukis bilang,
"But he's dead."
"Even worse."
Makanya jangan sampai jadi mitos. Justru kita harus selalu ingat pernah punya pemimpin bernama Soeharto yang kalau ia tersenyum hari Rabu, Kamisnya akan ada orang hilang..