In English, Please!


Sederet saluran televisi di Indonesia memilih menggunakan bahasa Inggris sebagai judul acara mereka. Dari satu acara ke acara lain, mata kita sudah sangat terbiasa melihat kosakata asing bertebaran di mana-mana. Ingin memenuhi tuntutan zaman, atau sekadar ingin tampak keren dan berwibawa?
Kita tidak mengatakan acara berjudul bahasa asing otomatis menjadi acara yang jelek. Banyak di antaranya yang justru bermuatan sangat positif. Kick Andy, misalnya. Ia adalah contoh acara yang mampu mengangkat penderitaan hidup (kemiskinan, keterbatasan fisik) dengan sangat humanis, jauh dari kesan merendahkan. Tapi mengapa pula judulnya harus pakai kick?
Ya, soal acara berjudul bahasa asing memang Metro TV juaranya. Sebut saja tayangan-tayangan macam Headline News, Indonesia Now, Enjoy City Living, The ABC of Cooking Adventure with William Wongso, Mobile Trend, Metro Speed, Spirit Football, Metro Sports, E-Lifestyle, Just Alvin, dan masih banyak lagi.
Seorang kawan berteori bahwa kecenderungan Metro TV inilah yang dengan jeli ditangkap TV One. “Acara-acara TV One hampir selalu menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar,” katanya. “Saat Pemilu Metro TV memakai jargon The Election Channel, TV One dengan ‘rendah hati’ menyebut dirinya TV Pemilu Anda.”
Betul juga. Metro TV memang agaknya selalu ingin tampil eksklusif. Dalam kacamata pemasaran, bisa jadi judulnya yang berbahasa asing ini disesuaikan dengan pangsa pasarnya yang berisi orang-orang intelek, berduit, dan karena itu jadi tampak lebih berbudaya.
Masalahnya, mengapakah kondisi intelek, berduit, dan (pura-puranya) berbudaya diidentikkan dengan kecenderungan pada bahasa Inggris? Seolah orang-orang kelas atas ini ogah menonton acara yang judulnya pakai bahasa sendiri. Seolah acara-acara yang judulnya berbahasa Indonesia secara kelas tercitrakan lebih rendah.
Di sini kita mau tak mau harus curiga bahwa sebenarnya bukan nilai guna yang diincar para perancang acara televisi ini, melainkan nilai citranya saja. Acara televisi kita pun menjadi belang-belang: pembawa acaranya orang Indonesia, saling berbicara dalam bahasa Indonesia, yang diceritakan juga tentang orang Indonesia, tapi judulnya sok Amerika.
Selain judul acara, para pelaku dunia hiburan juga gencar menggunakan bahasa asing dalam percakapan sehari-hari. Tentu saja bahasa asing yang dimaksud di sini bukan bahasa asing yang cakap dan apik, melainkan bahasa belang-belang. Reality show, acara gosip, sinetron, semua menampilkan orang-orang berkulit sawo matang yang bicaranya campur-campur tak karuan.
“Yah beginilah rasanya terjun di dunia entertainment, kita musti deal with many things yang kita nggak suka, jadi harus sabar, yah take it easy dan enjoy!” kata seorang artis ketika diwawancara wartawan gosip.
“Pemirsa, di sini keadaan udah semakin kacau. Pokoknya ruined banget, di sini kita hectic dan chaos banget. Jangan ke mana-mana, we’ll be back, keep on ngirim sms aja!” yang ini kata presenter sebuah reality show.
Sambil menulis artikel ini saya mendengarkan Helmy Yahya dikeroyok dalam acara Empat Lawan Satu di Anteve. Ia sedang diwawancara oleh Fira Basuki, Lula Kamal, dan kawan-kawan tentang posisinya di dunia politik, “Saya selalu mendahulukan kepentingan orang banyak, walaupun oppportunity banyak yang datang.” Rupanya ia segan mengucapkan kata ‘kesempatan’.
Efek bahasa belang-belang ini jangan dikira enteng. Ketika bahasa Inggris yang sepotong-sepotong dianggap keren dan hebat, diucapkan oleh pesohor-pesohor negeri di layar kaca, hanya tinggal masalah waktu sampai ia menjadi tren. Kita tidak boleh heran jika para remaja lantas juga bicara dalam bahasa yang belang-belang.
Bahasa sendiri yang tampak kurang hebat dibanding bahasa asing adalah gejala-gejala inferioritas bangsa. Ini memang bukan hal baru. Keminderan bangsa kita sebagai efek pascapenjajahan adalah sesuatu yang sudah sering dibahas. Meskipun demikian, inferioritas ini terus berlangsung.
Jejaknya banyak. Penggunaan bahasa hanyalah salah satunya. Kita tentu masih ingat betapa dunia hiburan kita begitu menyenangi wajah kebule-bulean. Nah, superioritas bahasa Inggris juga disebabkan oleh hal yang sama. Sindrom negara jajahan masih terus menggempur bangsa ini, memosisikan diri kita sebagai korban.
Untuk alasan inilah masyarakat kita jadi begitu gandrung pada bahasa asing. Kalaupun belum lancar, ya sepotong-sepotong. Acara televisi bagus pun harus ditempeli judul berbahasa asing agar terkesan lebih kelas atas. Terkesan memaksakan diri, tapi apapun bolehlah demi gengsi.
Yang dibutuhkan bangsa ini sekarang adalah contoh. Figur publik populis seperti pejabat dan artis sudah saatnya mengkampanyekan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Termasuk untuk Presiden SBY yang sering kita perhatikan suka menyelipkan kata-kata dalam bahasa Inggris, bahkan ketika pidatonya itu di hadapan rakyat sendiri.
Televisi adalah sumber inspirasi, bisa positif maupun negatif. Melalui judul acara, gaya bicara presenter, dan pilihan kata para pesohor, edukasi bahasa Indonesia yang baik dan benar harus dapat diwujudkan. Memang, bahasa internasional tidaklah jahat, hanya saja harus digunakan sebagaimana mestinya, apalagi di layar kaca.

(dimuat di Suara Merdeka edisi Minggu, 17 Mei 2009)

2 comments

  1. yah mbak, 90% bahasa indonesia itu juga nggak ada yg original, kata adopsi dan serapan semua tuh. piye? kalo belang sama bahasa jawa gimana? nggak papa ya kayaknya :D

    ReplyDelete
  2. wah kalo ngomongin soal asli, apa sih yang bener2 orisinil di dunia ini? :D

    saya cuma mau nimbrung aja, bahwasanya berbahasa inggris yang dicampur2 dan dipaksakan hanya agar terlihat keren dan mo-de-ren adalah percuma

    karena kita tidak boleh mengkelas-kelaskan bahasa :)

    thanks untuk komentarnya

    ReplyDelete