Bisakah Tanpa Teriak?
31 May, 2009
Aulia Muhammad suatu kali pernah menulis bahwa mengumbar kisah pribadi bukan lagi monopoli selebriti negeri. Warga biasa juga sudah bisa melakukannya lewat acara reality show di layar kaca. Yang laris jadi sorotan biasanya masalah cinta, persahabatan, dan keluarga. Pacar yang berselingkuh dan orangtua yang tidak perhatian hanyalah dua dari sekian banyak contohnya.
Jadi, meskipun bukan pesohor, si Anu atau si Itu boleh menceritakan kisah hidupnya dari A-Z sambil disorot kamera, dengan perhatian penuh dari kita para pemirsa. Kalau ia menangis, kita ikut terharu. Ketika suasana tegang, hati kita juga ikut berdebar-debar. Rasanya bagai dicurhati teman lama.
Nah, untuk menyemarakkan suasana curhat-curhatan itu, sekarang muncul alternatif format baru: acara bincang-bincang. Pembawa acaranya biasanya pesohor negeri yang sudah agak lama tidak muncul. Misalnya pasangan suami istri Anjasmara – Dian Nitami, atau Desy Ratnasari. Jika Anjas mengasuh acara Curhat Bersama Anjasmara di TPI, maka sang istri menemani Helmy Yahya dalam acara Masihkah Kau Mencintaiku di RCTI. Desy Ratnasari mulai mengudara lewat acara D’ Show (Trans TV) yang konon ‘merampok’ jam tayang Dorce Show milik seniwati Dorce Gamalama.
Dengan atau tanpa topeng, acara bincang-bincang ini maunya mengadopsi talk show ala Barat seperti Oprah Winfrey atau Ricki Lake yang berprinsip bahwa “semua masalah bisa dibicarakan dengan kepala dingin”. Rasio jadi prasyarat utama. Masalah harus didiskusikan sebagaimana layaknya orang dewasa. Emosi dipinggirkan untuk sementara.
Sayangnya, masyarakat kita sudah terlanjur punya pameo bahwa di layar kaca kita harus senantiasa tampil heboh. Kalau marah atau emosi tidak boleh diam-diam saja. Harus teriak! Dorong-dorongan! Kalau perlu, dorong juga pembawa acaranya sehingga kru di balik layar harus ikut turun tangan. Setelah itu, jangan lupa menitikkan air mata tanda sesal, lalu ucapkan, “Maaf, saya terbawa perasaan.”
Dalam salah satu episode Masihkah Kau Mencintaiku, saya dibuat terpana oleh suasana yang panasnya luar biasa. Padahal jika dipikirkan masalahnya sederhana saja, sepasang suami istri yang sedang mencoba menyelamatkan pernikahan mereka. Namun, dengan kehadiran keluarga (ayah, ibu, saudara) dari masing-masing pihak, keadaan jadi kacau bin balau.
Beberapa kali masing-masing ibu saling serang kata-kata. Belum lagi si adik yang masih bau kencur (artinya, belum pernah menikah) menghakimi saudara iparnya dengan nada yang bisa membikin merah telinga. Psikolog dan guru kepribadian yang sengaja didudukkan dalam posisi seperti dewan juri hanya bisa geleng-geleng kepala.
Yang saya ingat betul dari episode itu adalah tepuk tangan penonton yang membahana ketika keributan mulai terjadi. Bayangkan, ketika masing-masing ibu dorong-dorongan sambil caci-mencaci, penonton justru bersorak-sorai! Bukankah ini sangat aneh? Menyaksikan manusia-manusia dewasa menyelesaikan problem hidup rasanya kok seperti sedang menonton pertunjukan sirkus.
Acara Curhat Bersama Anjasmara tanpa perlu banyak dikomentari sudah disemprit oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Alasannya, terlalu banyak kekerasan verbal dan fisik di sana. Anjasmara sendiri lebih mirip wasit tinju daripada pembawa acara karena setiap kali ia mesti memisahkan orang-orang yang adu otot oleh sebab terbakar emosi.
Apa yang salah dari deretan acara tersebut, dan orang-orang yang terlibat di dalamnya? Porsi emosi, tentu saja. Entah itu dituntun skenario atau luapan spontan, emosi yang meledak-ledak terasa begitu salah dan berlebihan. Seolah-olah masyarakat Indonesia gelap mata semuanya, sehingga sedikit saja berkonfrontasi harus diselesaikan dengan otot dan caci maki.
Di sinilah acara bincang-bincang mengebiri habis potensi edukasinya. Seharusnya ia bisa menjadi ‘guru’ bagi kita dalam menghadapi perbedaan. Misalnya seperti salah satu episode D’ Show tentang pasangan homoseksual. Satu pasangan gay, dan satu pasangan lesbian. Masing-masing menceritakan kisah cintanya. Tanpa air mata, tanpa teriakan. Penonton juga diberi kesempatan bertanya. Ada beberapa yang emosi, tapi si narasumber tidak terpancing.
Bayangkan apa jadinya kalau episode itu juga menggunakan bumbu otot dan caci maki sebagai penyedap! Kaum lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) akan makin terpinggirkan dan tercitrakan salah. Saya tidak sedang memuji habis D’ Show dan menyalahkan kompetitornya. D’ Show sendiri juga kena semprit KPI karena menayangkan episode tentang incest di siang hari, tanpa merahasiakan identitasnya. Namun, di tengah terpaan acara bincang-bincang yang rusuh bukan main, ia memberi contoh bagaimana membicarakan permasalahan pribadi tanpa harus ngotot atau emosi.
Inisiatif untuk membicarakan masalah pribadi di layar kaca untuk berbagi atau mencari solusi sebenarnya tidak salah. Kita tidak bisa alergi dengan keterbukaan dengan beralasan bahwa semua itu tidak sesuai dengan budaya ketimuran. Hanya, bisakah semua itu dilakukan tanpa berteriak-teriak, saling dorong, saling pukul, atau saling memaki?
(dimuat di Suara Merdeka edisi Minggu, 31 Mei 2009)
Tags
kajian budaya
komunikasi
Andina is an Indonesian author. Her debut novel, "Semusim, dan Semusim Lagi" (GPU, 2013) won Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2012. Her second novel, "Lebih Senyap dari Bisikan" (GPU, 2021) was nominated for Penghargaan Sastra Badan Bahasa 2021. She is also a lecturer at the School of Communication, Atma Jaya Catholic University, Indonesia.
loading..
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments