Apa Guna Tukar Nasib


Zaman sekarang, yang bisa ditukar bukan hanya benda mati. Dari Moammar Emka kita tahu bahwa teman tidur juga bisa ditukar. Rupanya masyarakat kita sedang terkena kebosanan akut, maka itu senang icip-icip. Tapi kalau yang ditukar itu adalah nasib, masihkah alasannya sekadar ingin ganti suasana?
Mestinya bukan. Nasib adalah perkara yang jauh lebih serius daripada koleksi perangko ataupun pacar gelap. Nah, untuk menjawab pertanyaan itu para penonton televisi di Indonesia sudah sepantasnya berterimakasih pada SCTV. Stasiun televisi dengan jargon ‘satu untuk semua’ itu kini meramaikan akhir pekan pemirsanya dengan menghadirkan reality show mengenai pertukaran nasib.
Judulnya, ya, apalagi kalau bukan Tukar Nasib. Jam tayangnya sore hari, tepatnya pukul 16.30 WIB, setiap hari Sabtu dan Minggu. Acaranya tentang keluarga kaya dan keluarga miskin yang bertukar nasib selama tiga hari. Pertukaran ini mencakup rumah, fasilitas, gaya hidup, dan pekerjaan.
Menurut SCTV seperti dikutip dari situs resmi mereka, acara ini hadir untuk melebur jurang pemisah antara kekayaan dan kemiskinan. Si kaya hidup mapan dengan segala fasilitas yang tersedia, sementara si miskin harus bekerja keras demi sesuap nasi. Bagaimana bila si miskin mencicipi kemewahan dan berleha-leha seperti layaknya keluarga berada? Bagaimana pula rasanya si kaya hidup dalam keterbatasan ekonomi?
Sepintas ide ini memang terkesan mulia. Kata pepatah, kita tidak akan tahu apa yang kita miliki sampai kita kehilangannya. Demikian juga dengan nasib. Setelah tahu seperti apa rasanya menjalani nasib orang lain, kita lalu sadar bahwa nasib kita sendiri sudah patut disyukuri.
Saya menonton salah satu episode acara ini pada suatu sore. Ceritanya tentang sebuah keluarga kontraktor yang bertukar nasib dengan keluarga nelayan pinggiran. Formasi keluarganya sama, satu ayah dan satu ibu dengan dua sepasang anak laki-laki dan perempuan.
Sejak persiapan pindah, perbedaan kedua keluarga ini sudah ditonjolkan. Keluarga kaya menaiki mobil mengilat menuju rumah gubug keluarga miskin, sementara keluarga miskin naik andong sampai ke kota. Ibu kaya histeris melihat jeleknya gubug yang harus mereka tempati selama tiga hari, sedangkan ibu miskin bengong melihat betapa megah rumah keluarga kaya.
Bapak kaya bersama anak lelaki mencari ikan di malam hari, sementara ibu kaya dan anak perempuan memasak bersama dengan peralatan dapur seadanya. Mereka makan dengan suasana hangat. “Sudah lama ya Mama nggak masak.” kata sang ibu kaya sambil memandangi anak-anak dan suaminya makan dengan lahap. Mengharukan.
Sementara di rumah keluarga kaya, bapak miskin masuk angin. Ibu miskin mencari-cari uang logam untuk mengeriki punggung suaminya, tapi tidak menemukan koin seratusan. Ia lalu membuka dompet bapak kaya yang ditinggalkan di meja makan, lalu menemukan ATM.
“Ini apa duit juga ya, Pak? Tapi duitnya dari plastik.” istri miskin membuat kesimpulan yang segera disetujui suaminya. Maka digunakanlah ATM itu untuk mengeriki tubuh sang suami! Tak ada gunanya menyangkal kelucuan adegan ini, bahkan latar musik juga dibuat seperti di film-film komedi.
Untuk melengkapi bumbu acara, nuansa drama dihadirkan di hari ketiga. Ibu kaya sudah tidak tahan lagi dengan kehidupan miskin yang dijalaninya. Ia mengajak anak perempuannya pergi, ‘untung’ ketahuan sang suami. “Menjalani kehidupan seperti ini membuat kita lebih bersyukur, Ma.” kata bapak kaya pada istrinya yang menangis tersedu-sedu.
Sementara di rumah megah, bapak miskin juga sedang menasihati hal yang sama pada keluarganya. Sambil duduk-duduk di sofa empuk, bapak miskin berkata, “Kita diberi kesempatan merasakan tinggal di rumah mewah, tapi lebih enak rumah sendiri.” Tampak bahwa kedua keluarga sudah bisa mensyukuri nasib masing-masing. Misi berhasil.
Memang menyedihkan bagaimana siaran televisi kita bisa menjadi begitu eksploitatif. Barangkali acara Tukar Nasib ini memiliki pesan yang demikian mulia, tapi cara penyampaiannya sungguh membuat hati miris. Sampai kapan kita akan menolerir eksploitasi kemiskinan (juga kekayaan) atas nama industri hiburan?
Kegugupan dan kelucuan yang dilakukan keluarga miskin di rumah orang kaya adalah komoditas dagang yang jenaka, demikian juga dengan mengharu-birunya keluarga kaya yang hidup sederhana di gubug keluarga miskin yang reyot minta ampun. Harus kita sadari bahwa tidak ada niat baik yang murni di balik produksi acara reality show seperti Tukar Nasib ini. Uang campur tangan di dalamnya.
Jurang pemisah antara kekayaan dan kemiskinan di negara ini memang nyata. Ada orang Indonesia yang tidak bisa makan nasi tiga kali sehari, tapi ada juga pengusaha Indonesia kaya yang masuk jajaran orang termakmur se-Asia. Namun, apakah cara untuk melebur jurang ini harus dengan menertawakan kemiskinan?
Kita berharap jawabannya adalah tidak. Sembari terus bekerja keras untuk mengusahakan perekonomian yang lebih baik, ada baiknya kita tidak memberi tempat untuk acara-acara eksploitatif semacam Tukar Nasib ini. Mensyukuri nasib sendiri toh tidak harus kita tunjukkan dengan menertawakan nasib orang lain di televisi.

(dimuat di Suara Merdeka edisi Minggu, 26 April 2009)

No comments