Agenda Syekh Puji


Iring-iringan mobil mewah warna merah dengan plat H 1 CW dengan sejumlah kendaraan bermotor roda dua melintasi jalan raya. Di sebelah seorang pria berpeci yang sedang menyetir, berdiri sesosok pria berjubah putih. Lehernya berkalung tasbih. Ia mengenakan kacamata hitam dengan pinggiran warna merah. Sepanjang perjalanan, ia melambaikan tangan ke kiri dan ke kanan.
Kamera televisi secara konstan menyoroti tingkah polah pria berjubah putih tersebut. Ini agak lucu, karena ketika kamera sedikit ‘bergoyang’ penonton jadi bisa melihat bahwa tidak ada gerombolan massa yang menyemut di kanan dan kiri jalan. Lho, jadi syekh tadi itu dadah-dadah ke siapa?
Ya, kelakukannya nyentrik, berpakaian ke-Arab-Arab-an, mukanya jelek, tapi banyak duit. Di berbagai kesempatan sering menegaskan kekayaannya dengan berfoto bersama tumpukan uang dan pajangan mobil mewah segala merek. Itulah Pujiono Cahyo Widianto. Ada yang menyematkan ‘syekh’ di depan namanya, ada pula yang menolak karena menganggap Pujiono bukan tokoh agama. Namanya jadi terkenal sejak ia menikahi gadis yang baru lulus SD sebagai istri kedua.
Nah, tindakannya yang terakhir ini yang mengguncang hati orang banyak. Bagaimana mungkin seorang lelaki tua bisa menikahi gadis 12 tahun? Alasan meniru Nabi Muhammad yang –menurut hadis- menikahi istrinya Aisyah ketika berumur 7 atau 9 tahun dicibir banyak orang. Di internet bahkan muncul banyak sekali analisis dari segi agama yang intinya mempertanyakan keabsahan hadis tersebut.
Saya tak hendak memperbincangkan pernikahan Pujiono dari sisi agama. Biarkan itu menjadi polemik di kalangan mereka yang berkepentingan. Sering melihat tingkah polah syekh kita ini di layar televisi membuat saya lebih tertarik melihat kelakuannya dari sudut pandang yang lain.
Satu benang merah yang selalu tampak dari setiap aksi Pujiono adalah kecenderungannya untuk menentang aturan. Kita tidak tahu apa yang menyebabkan ia begitu mbalelo, tapi yang jelas apa yang dilakukannya hampir selalu merupakan lawan dari apa yang digariskan oleh peraturan dan undang-undang.
Dari pernikahannya dengan Ulfa, misalnya. Pujiono sama sekali tidak mempedulikan deretan pasal dan ayat yang siap menjeratnya. Kak Seto dan Arist Merdeka Sirait dari Komisi Perlindungan Anak (KPA) pun dibuat menganga dengan ucapan Ulfa yang bilang bahwa ia mencintai Pujiono, karena itu mau dikawin olehnya.
“Kalau semua setuju, apa yang salah?. Nggak ada masalah apa-apa kok,” kata Pujiono seperti dikutip salah satu situs penyedia berita di internet. Pujiono seolah ingin ‘mengejek’ KPA, bahwa tidak perlu repot-repot membela Ulfa, karena yang bersangkutan rupanya tidak ingin dan tidak perlu dibela.
Baru-baru ini ia juga membuat penjara nikah siri sendiri. Wartawan dipandunya sendiri mengelilingi penjara home made itu. Bagai seorang pemandu wisata handal, ia menerangkan fungsi setiap ruangan itu. Ia bahkan memperagakan cara buang air di salah satu sudut yang rencananya akan difungsikan sebagai toilet jongkok.
Untuk apa semua itu? Ya, melawan. Pujiono pernah bilang bahwa ia tidak takut dengan ancaman hukuman yang akan menimpanya. “Jangankan 4 tahun, seribu tahun saja nggak apa-apa!” ia menegaskan. Nah, sebagai ekspresi ketidaktakutan itulah, ia lalu membuat hotel prodeo sendiri.
Dalam teori media, ada yang dinamakan dengan agenda setting. Secara sederhana, teori ini mau menyampaikan bahwa media sebenarnya tidak menyampaikan realitas secara utuh, melainkan sepotong-sepotong saja. Media memilih-milih peristiwa-peristiwa tertentu untuk disiarkan pada khalayak. Tentu saja disesuaikan dengan kepentingan media dong.
Nah, dalam semangat mengkritisi syekh kita yang senang melawan ini, tidakkah ia juga bisa dibilang sedang melakukan agenda setting versinya sendiri? Kita tidak tahu realitas sebenarnya yang dihadapi oleh dia, tapi dengan lihai Pujiono memberikan sensasi demi sensasi yang menyedot atensi masyarakat lewat layar kaca.
Pencitraan nyentrik secara konstan dipelihara oleh Pujiono untuk mengendalikan perhatian masyarakat terhadap dirinya, dan ini dilakukannya dengan melawan. Ia mengejek siapa saja. KPA yang tampil seperti dewa, seolah masa depan dan kebahagiaan semua anak Indonesia berada di tangan Kak Seto, ditampar oleh Pujiono dengan menampilkan Ulfa yang bilang cinta pada dirinya.
Undang-undang yang tampak serem, yang baru mendengar nomor-nomornya saja sudah bisa membuat berkeringat dingin, ditertawakan oleh Pujiono. Ancaman penjara yang normalnya ditakuti setiap warga negara, dilawannya dengan membuat penjara sendiri, khusus untuk nikah siri. Gelar syekh yang diperdebatkan para ulama dengan ringan dipakainya, sambil tetap mengaku bahwa ia toh bukan tokoh agama, terus kenapa?
Redefinisi demi redefinisi yang dilakukan Pujiono ini mau tak mau membuat publik jadi terpecah perhatiannya. Barangkali lain jika syekh yang mengawini anak SD ini syekh yang pendiam dan tak banyak bicara. Bisa jadi kasusnya selesai dengan cepat, tanpa banyak basa basi di layar televisi. Salahkah jika kita menduga hal ini bukannya tidak disengaja?

(dimuat di Suara Merdeka edisi Minggu, 15 Maret 2009)

No comments