Dari Deddy Sampai Ponari


Malam Rabu minggu lalu, RCTI punya hajat: jadi tuan rumah duel-ulang catur Deddy Corbuzier dan Grand Master (GM) Utut Adianto yang dulu berakhir ricuh. Sebagai pembuka, RCTI menayangkan preview pertandingan pertama yang dihentikan karena Utut merasa Deddy main curang dengan merusak konsentrasinya. “Saya nggak tahu akan dipelototin seperti itu,” kesal Utut.

Kegeraman Utut tampak jelas dari wajahnya yang gusar. Ya, dipelototin membuat Utut merasa risih. Standar permainan catur internasional yang biasa ditaatinya jelas tidak memuat pasal tentang pelotot-pelototan. Di sisi lain, Deddy berargumen bahwa ia memang harus melotot sedemikian rupa demi membaca pikiran sang GM. “Saya harus begitu, soalnya Mas Utut setiap melangkah sudah berpikir sampai seribu langkah ke depan.” jelas Deddy.

Sampai di sini preview kericuhan duel pertama selesai. Kamera lantas berpindah menyorot panggung. Rupanya pertandingan sudah akan dimulai. MC mempersilahkan Deddy dan Utut naik ke atas panggung. Keduanya bersalaman. Sebagai antisipasi dari kejadian sebelumnya, Utut mengenakan kacamata hitam. Ini diandaikan akan membebaskan dirinya dari intimidasi mata Deddy.

Nah, kacamata hitam tersebut rupanya efektif. Utut menang telak dalam langkah ketigabelas. Penonton bertepuk tangan. Tapi bukan Deddy Corbuzier jika mau pasrah (di)kalah(kan). Ia bertepuk tangan dua kali, menyuruh asistennya membuka dekorasi di lantai yang ditutup kain.

Ternyata, isinya adalah langkah terakhir Utut ketika mengalahkan dirinya. Sama persis. Sambil meyakinkan penonton bahwa takada rekayasa antara dirinya dan Utut, dengan bangga Deddy memproklamirkan bahwa dia memang sudah tahu akan kalah dari sang GM , bahkan tahu persis di langkah keberapa dan dengan posisi seperti apa!

Selain Utut, malam itu Deddy juga mengajak duel Abel Brata, seorang pemuda pecinta Rubik’s Cube, sebuah permainan kubus berwarna-warni yang terkenal. Abel adalah pemegang rekor Museum Rekor Indonesia (MURI) untuk penyelesaian Rubik’s Cube tercepat. Ketika dicoba sebelum duel, Abel bisa menyelesaikan Rubik’s Cube dalam jangka waktu duapuluh detik saja.

Setelah pertunjukan kecil dari Abel tersebut, Deddy melangkah memasuki stage. Ia dan Abel diberi waktu untuk mempelajari Rubik’s Cube sebelum mulai memecahkannya dengan mata tertutup, yang dalam dunia per-Rubik-an dikenal dengan istilah blinfold solving. Hasilnya sudah bisa ditebak: Deddy menang.

Ia selesai lebih dahulu daripada Abel, si pemegang rekor MURI. Dengan ‘rendah hati’ Deddy berkata bahwa ia menang murni karena metode yang digunakan adalah blindfold solving. Ia meyakinkan pemirsa bahwa dengan mata terbuka Abel pasti akan mengalahkannya dalam sekejap mata.

Di akhir setiap aksinya malam itu, Deddy memang selalu menegaskan bahwa para master yang ditantangnya (Utut dan Abel) adalah master di bidangnya, sementara Deddy adalah master di bidangnya sendiri, yaitu dunia ilusionis. Dia menegaskan berulang-ulang bahwa keahlian yang dia miliki berbeda dengan keahlian para master yang lain, tetapi toh sama-sama ahli.

Ada hal menarik yang bisa kita lihat di sini. Melalui kalimatnya itu, tampak jelas bahwa Deddy sedang berusaha memperjuangkan kesetaraan hak untuk ilusionisme. Bahwa ia juga merupakan suatu hal yang sungguh-sunguh terjadi, sungguh-sungguh ‘ada’. Dengan kata lain, Deddy hendak mengguncang kemapanan pengetahuan yang berkata bahwa ilusi adalah hal yang remeh dan takrasional.

Tentu saja hal ini tidak mudah. Kita suka segala sesuatu yang berlogika. Kita suka dengan hal-hal yang jelas sebab dan akibatnya. Saking logis dan rasionalnya, kita jadi mudah menolak dan skeptis terhadap hal-hal yang bukan logis dan bukan rasional, tanpa mau mengakui bahwa logis-taklogis, rasional-takrasional adalah masalah perspektif umum.

Mau bukti? Tengoklah metode pengobatan dukun cilik Ponari asal Jombang. Sambil digendong dan makan chiki, Ponari mencelupkan jari-jarinya ke gelas-gelas berisi air yang kadang-kadang berisi KTP. Sebuah stasiun TV menyoroti betapa tidak higienisnya pengobatan ini dengan penuh emosi.

Toh, pasien bocah berusia delapan tahun itu bertambah banyak. Jumlahnya konon mencapai limabelas ribu orang sehari. Orang-orang ini mestinya sembuh, karena jika tidak, dukun cilik yang memperoleh kekuatannya setelah tertimpa batu bekas sambaran petir itu tidak mungkin sedemikian laris.

Nah, ketika seseorang percaya bahwa dengan meminum air bekas celupan tangan Ponari penyakitnya akan sembuh, apakah ia harus disalahkan karena tidak pergi ke dokter? Pemujaan terhadap akal, rasio, dan logikalah yang membuat tindakan pergi ke dukun alih-alih ke dokter terasa ‘salah’, bukan proses pengobatannya itu sendiri.

Di titik ini, kita boleh sedikit berbaik sangka pada Deddy Corbuzier dan riasannya yang menyeramkan itu. Ia memang tampak seperti ngibul, tapi ia justru menyadarkan kita bahwa rasional dan takrasional hanya masalah kuasa. Kita mencemooh hal yang taklogis bukan karena hal itu memang taklogis dari sononya, melainkan karena kita sudah terlanjur punya standar kelogisan dalam diri.

Lagipula, baik logis maupun taklogis sebenarnya tak jauh berbeda. Kita mau membayar mahal untuk pergi ke dokter, untuk sekolah, untuk kuliah, adalah contoh-contoh kecil bahwa hal-hal yang logis dan rasionalpun juga mengibuli kita dengan caranya sendiri. Begitulah!



(dimuat di Suara Merdeka edisi Minggu, 15 Februari 2009)

No comments