Beberapa tahun lalu, tak banyak yang mau meluangkan waktunya untuk memedulikan isu seputar lingkungan hidup. Barangkali hanya beberapa. Itu pun sebatas komunitas: mereka yang tergabung dalam organisasi kemasyarakatan atau LSM ‘bawah tanah’, tak mesti Greenpeace.
Kini, ujaran “stop global warming” terdengar begitu akrab di telinga. Gelaran konser musik dan pentas seni anak-anak sekolah lalu mengalami keseragaman tema: hijau. Mengirit BBM dengan naik sepeda ke kantor kembali menjadi tren. Komunitasnya naik daun. Bukan hal yang aneh bila orang-orang bersepeda ini sering diwawancara media untuk liputan, kalau perlu dibikinkan penelitian.
Isi koran dan majalah pun tak jauh-jauh dari isu peduli bumi. Aneka tips menghemat energi yang sebenarnya itu-itu saja dikemas dalam berbagai artikel menarik dengan
Bagaimana ini semua bisa terjadi? Bagaimana isu lingkungan hidup bisa begitu naik daun? Di titik ini, barangkali, kita bisa ‘menyalahkan’ televisi. Sebagai bangsa yang kultur menontonnya jauh lebih kental daripada kultur membaca, adalah terpaan si kotak ajaib yang membuat kita semua jadi sering ikut-ikutan dalam berbagai hal.
Tak hanya pemanasan global, tema-tema lain pun bisa dengan mudah diagendakan oleh televisi. Pemakaian bahasa gaul, misalnya. Panggilan ‘gue’ dan ‘elu’, serta istilah-istilah ‘capek deh’, ‘secara’, dan ‘kasian deh lu’ yang sempat sangat terkenal itu, juga dipopularkan lewat televisi.
Melalui acara-acara talkshow macam Ceriwis dan berbagai sinetron prime-time yang kebanyakan mengambil latar belakang pergaulan
Nah, hal ini kemudian berakibat pada banalitas hal yang sebenarnya berpotensi untuk memperoleh pemaknaan yang lebih. Jika saya aktivis lingkungan hidup, saya akan sakit hati melihat “stop global warming” diucapkan dimana-mana dengan gaya keren ala VJ MTV, padahal yang mengucapkan itu belum tentu tahu apa sih pemanasan global itu sebenarnya.
Saya juga pernah membaca sebuah artikel yang mengkritisi fenomena bahasa gaul yang ke-Jakarta-Jakarta-an. Si penulis gemas: kok bisa-bisanya remaja dari berbagai daerah di
Disinilah letak kehebatan konsensus yang diciptakan manusia. Ketika satu istilah sudah popular digunakan dengan arti tertentu oleh sekelompok orang, apalagi diberi label tren, dengan mudah yang lain akan mengikutinya. Tak peduli apakah itu isu lingkungan hidup atau sekadar pemakaian bahasa.
Mengapa kita mau repot berpakaian sesuai mode terbaru? Mengapa kita selalu ingin menggunakan
Sepintas mungkin kedengarannya aneh. Kenapa kita bahagia ketika sama dengan orang lain? Jawabannya mudah: kenyamanan dalam kerumunan selalu membuat kita merasa lebih aman. Bukan rahasia bahwa berbeda selalu lebih sulit dan berbahaya, terlebih ketika kita sudah bicara tentang konstruksi sosial atas realitas yang selalu mengandung unsur kepentingan kelompok dominan.
Dianggap nggak gaul hanya salah satu konsekuensi ringan yang mungkin terjadi. Masih banyak konsekuensi lain yang jauh lebih berat. Bukankah diskriminasi atas kaum yang berbeda masih terus terjadi di seluruh penjuru dunia? Penolakan terhadap kaum penyuka sesama, perempuan yang menjadi ibu tanpa pasangan sah, pasangan-pasangan yang hidup bersama tanpa ikatan pernikahan, dan masih banyak lagi. Di Indonesia, kita masih ingat banyak tindak kekerasan terhadap aliran-aliran sempalan yang serta merta dituduh sesat. Semua itu terjadi hanya karena manusia enggan berpikir mandiri.
Soren Kierkegaard, sang Bapak Eksistensialisme, terang-terangan mengatakan bahwa di tengah kerumunan manusia kehilangan otentisitasnya. Namun, tampaknya itulah yang ternyata diinginkan manusia: kehilangan dirinya yang otentik, dan mengikuti arus atas nama kenyamanan semu.
Maka, sederas apapun televisi menerpa kita dengan sekian banyak tren yang silih berganti, sebuah sikap tegas harus diambil untuk menghindari banalitas. Jangan pernah mengikuti sesuatu tanpa alasan yang kuat. Dari itu, mudah-mudahan, ada otentisitas yang bisa kita pertahankan alih-alih membebek zaman.
kehilangan dirinya yang otentik, itulah yang terjadi. Karena kekuatan media masa, internet, dan film, dan yang sering adalah buku-buku yang dibaca. Kita otentik ga ya Andien?
ReplyDeleteotentik sejauh kita sadar terhadap semua tindakan/pikiran kita pak. i think thats the point. he he
ReplyDeletekita nggak pernah otentik tulen. identitas seorang dibentuk dari pengalaman masa lalu; dari berteman, baca buku, merenung, dan berpikir, yang kita saring dan endapkan secara ekletik. ini komentar juga tidak otentik, lho nDin! hehe (Zaenal, ant.)
ReplyDeletewah, komen pak zaenal sangat berbau posmodern. aku suka. hehe
ReplyDelete